SAFRIZAL |
Banda Aceh - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Syedara Apa Karya menganggap revisi Qanun Pilkada Nomor 5 tahun 2012 hanya asal-asalan untuk menampilkan kekuatan politik anggota DPRA di parlemen, tapi mereka tidak berpikir rasional dalam hal tersebut. Contohnya kasus bendera Aceh saja tidak mampu mereka perjuangkan untuk berkibar di Aceh dan itu sudah dimuat dalam Qanun beberapa tahun lalu, akan tetapi sampai sekarang Qanun itu belum berfungsi sama sekali.
Jika Qanun Pilkada di revisi terkait syarat dukungan harus melalui per individu untuk calon perseorangan dan tidak secara kolektif, ini menunjukan bahwa DPRA masih berprinsip pada sistem orde baru dalam mempertahankan kekuasaan, dan hari ini telah lahir orde baru ala DPRA di Aceh dan siap-siap untuk menghadapi tantangan politik ke depan dengan propaganda politik murahan yang dilakukan selama ini untuk mencekal calon Gubernur dari jalur Independen.
Seharusnya calon yang diusung oleh Partai politik juga harus mendapatkan dukungan dari rakyat sebagaimana calon dari jalur independen. Itu yang seharusnya di revisi, dan mari kita sama-sama berjuang dan mencari dukungan dari Rakyat secara langsung tanpa harus melalui persentase jumlah anggota Dewan di parlemen, berani tidak mereka? Jika mereka berani dan siap, silahkan sahkan Qanun yang sedang di bahas saat ini dan kami mendukung.
Dengan demikian, calon yang di usung oleh partai politik tidak asal-asalan yang hanya mendukung demi mendapatkan jatah kepala dinas, bagi-bagi proyek dan kekuasaan semata jika kandidat mereka menang. Buktinya seperti yang kita rasakan saat ini, antara gubernur dan wakil gubernur tidak kompak dalam membangun Aceh bahkan saling menyalahkan, dan kehancuran di antara mereka sudah terlihat di tahun pertama kepemimpinan Zikir (Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf).
Jika pun revisi Qanun itu tetap disahkan, maka akan mendapat gugatan dari rakyat, khususnya mereka yang mencalonkan diri melalui jalur perseorangan, dan ini akan berefek pada buruknya kondisi dan situasi politik Aceh menjelang Pilkada 2017, dan DPRA harus bertanggung jawab penuh.
Jadi kenapa mereka tidak membuat peraturan bahwa siapa saja yang maju sebagai calon gubernur Aceh harus mendapatkan dukungan atau surat pernyataan bermaterai 6000 dari rakyat secara individu sebanyak-banyaknya, dan kemudian langsung ditetapkan sebagai gubernur Aceh terpilih bagi mereka yang mendapatkan dukungan terbanyak, dan ini tidak perlu lagi dilakukan pemilihan langsung, akan tetapi sudah cukup dengan surat pernyataan tadi dan juga bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum serta tidak banyak menguras biaya pilkada.(Rill)
Jika Qanun Pilkada di revisi terkait syarat dukungan harus melalui per individu untuk calon perseorangan dan tidak secara kolektif, ini menunjukan bahwa DPRA masih berprinsip pada sistem orde baru dalam mempertahankan kekuasaan, dan hari ini telah lahir orde baru ala DPRA di Aceh dan siap-siap untuk menghadapi tantangan politik ke depan dengan propaganda politik murahan yang dilakukan selama ini untuk mencekal calon Gubernur dari jalur Independen.
Seharusnya calon yang diusung oleh Partai politik juga harus mendapatkan dukungan dari rakyat sebagaimana calon dari jalur independen. Itu yang seharusnya di revisi, dan mari kita sama-sama berjuang dan mencari dukungan dari Rakyat secara langsung tanpa harus melalui persentase jumlah anggota Dewan di parlemen, berani tidak mereka? Jika mereka berani dan siap, silahkan sahkan Qanun yang sedang di bahas saat ini dan kami mendukung.
Dengan demikian, calon yang di usung oleh partai politik tidak asal-asalan yang hanya mendukung demi mendapatkan jatah kepala dinas, bagi-bagi proyek dan kekuasaan semata jika kandidat mereka menang. Buktinya seperti yang kita rasakan saat ini, antara gubernur dan wakil gubernur tidak kompak dalam membangun Aceh bahkan saling menyalahkan, dan kehancuran di antara mereka sudah terlihat di tahun pertama kepemimpinan Zikir (Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf).
Jika pun revisi Qanun itu tetap disahkan, maka akan mendapat gugatan dari rakyat, khususnya mereka yang mencalonkan diri melalui jalur perseorangan, dan ini akan berefek pada buruknya kondisi dan situasi politik Aceh menjelang Pilkada 2017, dan DPRA harus bertanggung jawab penuh.
Jadi kenapa mereka tidak membuat peraturan bahwa siapa saja yang maju sebagai calon gubernur Aceh harus mendapatkan dukungan atau surat pernyataan bermaterai 6000 dari rakyat secara individu sebanyak-banyaknya, dan kemudian langsung ditetapkan sebagai gubernur Aceh terpilih bagi mereka yang mendapatkan dukungan terbanyak, dan ini tidak perlu lagi dilakukan pemilihan langsung, akan tetapi sudah cukup dengan surat pernyataan tadi dan juga bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum serta tidak banyak menguras biaya pilkada.(Rill)
loading...
Post a Comment