Oleh: Analisa Svastika
Hai, aku Analisa. Aku akan berbagi cerita perjalanan bagaimana lingkungan keluargaku membesarkanku hingga ada di titik saat ini. Tentang bagaimana aku jatuh dan bangun, berkali-kali demi menemukan jati diri siapa aku dan akan bagaimana aku membentuk aku yang kuingini.
Dulu, ayah seorang yang berkecukupan di masa mudanya. Beliau lahir dan dibesarkan di Kota Tasikmalaya. Kakek, orang tua ayah adalah orang yang cukup terpandang. Seperti halnya bagaimana cerita sinetron tentang keberadaan orang-orang berpengaruh, selalu menjadi incaran seseorang untuk memiliki kesenangan tersebut.
Singkat cerita, kakekku menikah lagi, dengan seorang perempuan muda hingga mempunyai anak. Lalu, bagaimana nenekku? Nenek menderita gangguan jiwa dan tinggal di rumahnya sendiri ditempatkan persis di ruangan belakang dekat dengan dapur, melakukan aktivitas layaknya bukan seorang istri sah kakek. Kemudian terdengar kabar bahwa kakek meninggal, harta kakek dimiliki sepenuhnya oleh istri mudanya, dan nenek? meninggal dalam keadaan menderita gangguan kejiwaan.
Lalu, ayah? Seorang laki-laki kecil itu memiliki cukup harta warisan kakek, namun karena masa mudanya tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua, ayahku ikut serta dengan paman. Beranjak dewasa ayah lebih senang menjadi gelandangan, untuk mencukupi kebutuhan, ayah lebih memilih menjual rumah, tanah peninggalan kakek, berbagai barang pun dijualnya untuk menyenangkan dirinya di masa muda, mencari jati dirinya. Ayah merupakan seorang pekerja seni, singgah dari satu tempat pemutaran film satu dan lainnya menjadikannya lihai di dunia perfilman, sayangnya ayah tidak mendapatkan akses pendidikan sejak ditinggal kedua orang tuanya. Lebih tepatnya tidak pernah mencicipi bagaimana rasanya mendapat pendidikan formal dan diberikan akses pengajaran oleh para guru.
Mari beranjak cerita ke ibuku. Orang tua dari ibuku juga cukup terpandang di Beber, Cirebon. Bagaimana tidak, kakek dari ibuku begitu disegani. Ibu yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga sangatlah dimanja. Memiliki akses pendidikan, hanya nasib kurang beruntung padanya. Ibu hanya mengenyam bangku sekolah hingga jenjang sekolah dasar. Bagaimana nilai-nilai di sekolahannya? Sangat memuaskan, bahkan sampai detik ini aku masih memegang rapor ibu untuk membantuku mendaftarkan ibu pada program kejar paket kesetaraan B, dan C.
Sejak kecil ibu sangat disayang kakek dan nenek, semua keinginan ibu terpenuhi tanpa kata tidak, ibu pernah bercerita bahwa sejak kecil suka sekali dibelikan emas, anting-anting, gelang, cincin, kalung oleh kakek dan nenekku. Saat beranjak remaja, ketika ibu ingin melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, saudara-saudara jauh ibu menyarankan untuk ibu ikut sekolah jahit saja, jadi bukan pendidikan formal seperti yang ibu inginkan. Bisa jadi, pemikiran waktu dulu dipertimbangkan karena 'untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya dapur juga tujuannya'. Tidak seperti kakaknya ibu yang sukses hingga lanjut kuliah, ibuku? Pergi merantau ke Kota Tangerang.
Di masa ini, aku mendengar cerita langsung dari ibu, bahwa di masa remajanya ibu senang sekali bepergian dari satu kota ke kota lainnya, berbagai pulau disinggahi, kota-kota di daerah Jawa dan Sumatera terkhususnya. Ibu sangat aktif di usia remajanya. Hingga ibu dipilih menjadi ketua regu di tempat kerjanya. Masalah percintaan ibu, seorang kepala divisi menyukainya (ibu menyebutnya mandor, entah apa sebutannya sekarang). Namun, cinta mandor tersebut bertepuk sebelah tangan, yang disukai ibu adalah ayah, seorang yang bahkan tak jelas pekerjaannya, pun tidak pernah bercerita secara serius darimana asal-usulnya, hingga silsilah keluarganya.
Ibu dan ayah menikah di Cirebon, di tahun berikutnya 1984 lahirlah kakak pertamaku, ketika kakek dari mamah masih ada. Seorang yang sangat cerdas, namun lagi, hanya dapat mencicipi bangku sekolah hingga jenjang sekolah dasar. Satu tahun setelah kakak pertama lahir, tahun 1985 kakak keduaku lahir, seorang yang lebih berani, tegas dan atraktif dari kakak pertama, kakak keduaku dapat mencicipi bangku sekolah hingga jenjang MTs, dua tahun setelahnya, tahun 1987 kakak ketigaku lahir, seorang yang sering dianggap bungsu sebelum aku lahir ini sangatlah aktif, sejak kecil selalu terlihat yang paling lucu, kakakku yang ini dapat bersekolah hingga jenjang SMK.
Hingga hal ini, aku mengucap syukur, karena kedua orang tuaku begitu mengusahakan agar anak-anak dapat merasakan didikan dari pendidikan formal. Di tahun 1991, ibuku melahirkan seorang perempuan, seorang yang sangat cantik ini harus direlakan kepergiannya ketika dokter meminta pilihan antara "anak atau ibu yang akan diselamatkan", akhirnya ayah memilih ibu yang diselamatkan, dari sana sepertinya semua bermula, sebab orang tuaku sangat menginginkan anak perempuan, akhirnya dua tahun berikutnya aku lahir, ya seorang anak yang disenangi tetangga ketika berkunjung, yang selalui diciumi pipi, mencubit pipi bergiliran, seorang yang pandai di sekolah, yang selalu meraih juara pertama ini kini sedang menjalani perkuliahan di jurusan ilmu hukum.
Dua tahun setelahnya adikku lahir, seorang perempuan yang bertolak-belakang denganku, lebih pendiam, dan urusan prestasi jauh di bawahku, sejak sekolah dasar kami sering dibandingkan, tentu aku yang mendapat tekanan untuk terus mengajarkan adiknya dan adikku lebih pendiam dalam menanggapinya. Adikku bersekolah hingga jenjang SMA, tidak ingin kuliah, katanya pusing, di samping tidak cukup ilmu ujarnya. Empat tahun kemudian, lahirlah si bungsu, seorang yang aktif, cerdas dan disukai banyak perempuan, seorang yang lebih berani daripada si kakak pertama, sama denganku adikku di tahun ini merupakan tahun pertamanya menjadi mahasiswa jurusan hukum.
Bagaimana semua ini dapat mengkhawatirkanku? Untuk urusan pertama: pendidikan, orang tua kami meminta kami untuk bersekolah, jika tidak mau, tidak usah. Selepasnya kakak pertamaku putus sekolah, tak adalagi obrolan mengenai kelanjutan sekolahnya ke jenjang SMP dan SMA, kakak akhirnya ikut saudara, merantau ke daerah Jakarta di umur anak kecil yang baru lulus sekolah dasar, 11-12 tahun umurnya kala itu. Hingga kini, di usia kakak 36 tahun, belum berkeluarga. Aku harus sering mengingatkan agar lebih sedikit peduli pada urusan jodoh yang harus dipersiapkan jika sudah siap dan cukup mapan. Lalu, kakak keduaku, tiga tahun lalu menikah dengan rekan kerjanya, dan kini sudah memiliki seorang balita, lucu, semakin bertambah pula keluarga kami.
Kakak ketigaku, dia yang paling aktif, sejak kecil hingga SMK ternyata sudah rajin mencari uang sendiri, selalu yang memperjuangkan agar dapat sekolah di tempat yang diingini, termasuk di jenjang SMK yang terletak di pusat kota, sejak kecil kakakku ini sering membantu di tempat pencucian mobil milik guru SMP nya. Kemudian aku? Aku dari kecil terkenal pendiam, beranjak SMP dan SMA kerjaanku hanya di perpustakaan, di tahun kuliah pertamaku setelah gap year 3 tahun, namun lagi aku harus mencari biaya kuliah sendiri dan sampai harus diberhentikan urusan akademiknya karena tercatat tidak dapat membayar biaya asrama selama 6 bulan, padahal aku seorang mahasiswa berprestasi peringkat 2, awardee program pertukaran mahasiswa se-tanah air nusantara dari Kemenristekdikti, berkuliah di salah satu universitas di Pulau Lombok selama satu semester, pun mengikuti berbagai organisasi dengan posisi strategis. Nasibku belum baik, aku memilih berhenti kuliah dan bekerja di kedai kopi, bekerja dari satu kedai dan kedai lain hingga aku cukup dikenal sebagai seorang peracik kopi handal di lingkaranku.
Dua tahun kemudian, aku mendaftarkan diri ke salah satu universitas, sayangnya, karena belum memegang cukup uang untuk membayar biaya mata kuliah, di tahun berikutnya baru memulai perkuliahan, lebih tepatnya satu angkatan dengan adik bungsuku.
Oya, aku hampir saja putus sekolah di SMP, hanya kakak pertama dan keduaku begitu mempercayai bahwa aku dapat memegang amanah jika saja memakai uangnya untuk mendaftarkan diri di salah satu sekolah swasta (padahal guru-guru menginginkan aku masuk SMANSA), aku dapat tumbuh menjadi seorang perempuan yang cukup berani, tidak pandang bulu dalam menghakimi orang-orang salah disekitarku, lebih tepatnya bisa jadi dunia hukum adalah jalanku, setelah aku pernah berkuliah di jurusan pendidikan yang merupakan cita-cita ibu dulu, menjadi seorang sarjana guru, sebab keluarga ibu banyak yang jadi guru.
Lalu, adik perempuanku, tumbuh menjadi seorang yang insecure, tidak punya kepercayadirian, setelah mengenal laki-laki bukannya tambah percaya diri, membuatnya lebih percaya laki-laki kenalannya daripada kami, keluarganya sendiri. Si bungsu sedang menyukai game, aku tak pernah protes terlalu banyak padanya, ia menuruni sifatku sedikit banyak, aktif organisasi dan sangat mumpuni memanfaatkan skill.
Keberadaan ibu yang mengajarkan kami, dan menempatkan di sekolah terbaik adalah harga yang tak dapat dinilai. Sebab ayah tak tahu apa-apa bagaimana mendidik dengan baik. Aku sering mendengar cerita ketiga kakakku, sejak kecil selalu diperlakukan dengan kekerasan. Bangun tidur, dibangunkan dengan disirami air teh, dipukul dengan kayu jika tidak menurut, mengajarkan mencuri di pasar agar dapat makan, mengonsumsi makanan kadaluwarsa, bahkan kakak kedua dan ketigaku sangatlah nakal menurut keduanya, merokok di pojokan. Jika ketahuan? Paling dipukul, ujar keduanya bercerita sambil tertawa.
Kita Tak Bisa Memilih di Mana Kita Dilahirkan
Aku sendiri? Di umurku yang menginjak golden age, aku sudah diajak bepergian ke Jakarta, pernah memergoki ayah remang-remang sedang main remi, tertawa tak ada beban, dan bahkan satu hal yang sangat membekas di ingatanku ketika usia sekolah dasar adalah setiap malam aku selalu memergoki aktivitas seksual ayah dan ibu, sebab kami satu tempat tidur, meski dengan lampu padam, jeritan, desahan, suara decit ranjang, semua itu terngiang hingga detik ini. Ingatan tersebut membekas sebagai ingatan jangka panjang.
Andai aku dapat memilih oleh siapa aku dilahirkan...
Aku ingin membalas semua kenangan pahit saudaraku, dengan membahagiakannya, membuatnya tertawa. Hingga saat ini, aku hanya dapat menyetorkan juara-juara lomba yang kuikuti dan piala yang aku dapatkan ketika pulang, kakakku yang pertama sejak dulu pasti akan tersenyum bangga, tak tahu saja bahwa aku sedang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mendaftarkannya agar dapat ikut Ujian Paket Kesetaraan tak lama lagi, aku ingin agar kepintarannya dapat dibalas dengan hal yang seharusnya ia dapatkan sejak dulu, segala perjuangannya menjadi perantau di usia remaja, ingin aku balas dengan hal-hal baik.
Teruntuk kakak keduaku, aku ingin selalu memegang amanahnya agar dapat selalu memaklumi keadaan orang tua, ayah dan ibu, untuk apa disesalkan, ketika tahu bahwa salah satu orang tua telah menghambat kami untuk berkembang, ketika kami harus beranjak dari satu rumah, hingga rumah kontrakan lain selama puluh tahun hingga saat ini, ketika sedikit uang yang dipunya harus dibagi dengan membelikan keinginan bapak yang sebenarnya lebih penting untuk dibelikan beras dan biaya kontrakan bulanan.
Kakak keduaku yang di usia 20-an dengan sigap menghalau ayah yang pulang dalam keadaan mabuk malam-malam, yang memegang knalpot siap untuk meremukkan kepala kakak. Sampai sini sudah boleh tahan tangis? Lalu, kepada kakak ketigaku, yang selalu merasa bungsu dan sangat disayangi ayah sejak kecil, selalu dibawa kemana-mana ketika bepergian, yang di detik ini selalu diberikan ungkapan toxic dengan ujaran, "Kamu sudah tua, seumuran kamu harusnya sudah punya anak, heh gila jangan ini, jangan itu!" ujaran itu selalu aku dengar saat aku pulang. Ujaran itu sampai ke ulu hatiku, pun pikiran terdalamku, sangat mengusik, sakit.
Belum lagi kabar, saat adik perempuanku yang beberapa kali harus pulang karena selalu gagal saat menghadapi tahap wawancara kerja, habis-habisan dengan kata-kata, menjadikannya seorang perempuan yang membenci kehadiranku, kadang ujaranku dilawan dengan nada penuh kebencian, akhirnya aku membalas dengan hanya diam, bukan tak mampu menasihati, namun aku masih mencari bagaimana cara terbaik untuk merangkul. Si bungsu menjadi seorang yang cuek, yang akan melawan jika lingkungannya terancam, termasuk saat uangnya diusik ayah untuk dibelikan sesuatu padahal itu barang yang tak guna, uang tabungan yang akan ia gunakan untuk bekerja katanya.
Andai setiap anak boleh memilih siapa orangtua yang melahirkannya...
Ibu dan ayah yang paham pendidikan, tidak pernah memperlakukan dengan kekerasan dalam mendidik anak, merangkul dengan sayang, menasihati dengan tetap menghargai pujian-pujian. Semua itu aku pelajari, sendiri, dari cerita keluargaku, dari cerita orang-orang sekitarku. Agar Aku dapat mem-filter hal-hal menyakitkan agar tidak aku lakukan kemudian. Aku senang menulis, sebab hanya dengan cara ini, aku menjadi seorang yang bukan pendendam. Aku membenci mengapa aku dilahirkan dengan harus selalu mendengar kata-kata menjatuhkan, dari orang terdekatku, ayahku yang seharusnya aku sayang. Tapi, ibu selalu menasihati. Bagaimanapun keadaannya, ini ayahmu sendiri. "Tidak, Bu!" Bagiku orang tua pantas dianggap orang tua jika ia sebenarnya sudah siap memiliki anak, jika belum siap, untuk apa hanya melampiaskan nafsu dan menjadikannya tumbuh besar menjadi mansuai berotak dan berhati namun dibesarkan dengan ujaran-ujaran kebencian.