Kisah Runtuhnya Mataram Kuno dan Pembentukan Keraton Yogyakarta
PEMBENTUKAN Keraton Yogyakarta bermula dengan berdirinya Kerajaan Mataram Islam pada 1578. Pusat kerajaan terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Mataram muncul setelah periode kekacauan dan perang saudara yang panjang.
Menurut Babad Mataram, awalnya kerajaan ini berupa hutan belantara bernama Alas Mentaok. Hutan ini merupakan hadiah Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan. Hadiah diberikan karena keberhasilan Ki Ageng Pemanahan menumpas pemberontakan Bupati Jipang, Arya Penangsang.
Gideon Sjoberg dalam The Origin and Evolution of Cities (1965) mengatakan, perkembangan masyarakat perkotaan akan menjadi lebih kompleks dan heterogen dibandingkan dengan perdesaan, baik itu secara kelembagaan maupun mata pencaharian warganya. Migrasi penduduk ini sebagai sebuah cara memenuhi kebutuhan yang lebih gampang didapatkan jika mereka berkumpul di sebuah kawasan yang berdekatan yakni Mataram.
Daerah yang awalnya hanyalah hutan belantara, lambat laun ramai dengan penduduk. Warga yang sebelumnya hidup terpencar di daerahnya masing-masing, berduyun-duyun bermukim di Mataram.
Masing-masing kelompok ini membawa keahliannya masing-masing. Ada yang berprofesi sebagai petani, pedagang, pandai besi hingga prajurit. Dengan beragam profesi warganya, Mataram cepat berkembang menjadi wilayah yang maju.
Masyarakat tidak sekadar mengandalkan pertanian untuk mata pencahariannya, namun juga perdagangan. Kelembagaan pun lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya. Ada lembaga pemerintahan, keagamaan, perdagangan, hingga pertanian.
Sebagai contoh, di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.
Alas Mentaok sendiri sebelumnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu pada abad kedelapan yang menguasai Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Borobudur.
Namun pada abad ke-10, kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur. Rakyat pun berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat. Tidak diketahui pasti mengapa ada migrasi pusat pemerintahan itu.
Pembentukan Mataram Islam tidaklah mulus. Ini karena awalnya Sultan Hadiwijaya enggan memberikan tanah tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan. Sultan Hadiwijaya takut dengan ramalan Sunan Giri yang menyebutkan nanti di tanah Mataram akan muncul raja penguasa Jawa.
Tidak ingin ada ”matahari kembar”, Sultan Hadiwijaya mencoba ingkar janji dengan tidak memberikan tanah tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan. Namun berkat bantuan Sunan Kalijaga, akhirnya tanah tersebut diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan.
Namun sebelum tanah diberikan, Sultan Hadiwijaya meminta agar Ki Ageng Pemanahan bersumpah tidak memberontak kepada Pajang. Ki Ageng Pemanahan bersedia, namun dia tidak menjamin keturunan setia kepada Pajang.
Akhirnya bersama pengikutnya, Ki Ageng Pemanahan membuka Alas Mentaok dan mendirikan kadipaten di bawah kekuasaan Pajang. Benar saja, selama pemerintahan Ki Ageng Pemanahan, Mataram setia kepada Pajang.
Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan putranya Danang Sutawijaya, yang bergelar Panembahan Senapati. Di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur.
Selanjutnya Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi keraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang lebih 200 hektare. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
Panembahan Senopati sendiri akhirnya enggan tunduk kepada Pajang dan memberontak. Mataram pun akhirnya menjadi kerajaan sendiri dengan raja pertamanya Panembahan Senopati.
Imperium Mataram dimulai saat kepemimpinan Nyakra Kusuma, yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Agung. Dialah yang menjadi Mataram dari kerajaan regional menjadi imperium besar.
Menurut Bernard Vlekke (sejarawan), Sultan Agung inilah yang sebenarnya pendiri Mataram. Nama Panembahan Senopati dimunculkan sebagai tokoh mitos semasa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Saat memerintah, Sultan Agung berhasil menaklukkan Pasuruan 1616, Tuban pada 1619, dan Surabaya pada 1620. Sesudah menaklukkan kerajaan di utara dan timur Jawa, Sultan Agung membidik wilayah Sunda (Jawa Barat).
Namun di saat bersamaan, pada 1619 perusahaan dagang Hindia Belanda (VOC) mendirikan markasnya di Batavia, pantai utara. Dari sini, Belanda memulai berdagang, berperang, dan ikut campur tangan dalam urusan politik Jawa. Kehadiran mereka terbukti menggoyahkan keseimbangan dan mengejutkan Sultan Agung yang ingin menguasai Jawa, Madura, dan Bali.
Tak ayal, dia menyerang Batavia pada 1628 dan kembali melakukannya setahun kemudian. Namun dua penyerangan ini gagal. Invasi dan peperangan selama periode kekuasaan Sultan Agung memunculkan masalah besar bagi sumber-sumber ekonomi dan politik Mataram. Serangkaian peperangan dengan kerajaan pantai, ketiadaan modal, serta permintaan pasukan hampir mengundang munculnya pemberontakan.
Sultan Agung mangkat pada 1645 saat kerajaan hampir jatuh. Amangkurat I, putera Sultan Agung pun naik tahta dan memerintah dengan ”tangan besi”. Ditambah dengan kekacauan perdagangan dan pertanian akibat peperangan Sultan Agung, gaya ”tangan besi” Amangkurat I menyebabkan Mataram mengalami malapetaka di akhir abad XVII.
Pada akhir 1670, meletus perang saudara yang mengakibatkan seluruh keraton terbakar. Keraton baru bisa diselamatkan setelah adanya campur tangan Belanda. Amangkurat I wafat pada 1677 dan digantikan anaknya Amangkurat II.
Saat itu Belanda menuntut balas atas jasanya menyelamatkan Mataram, namun kas kerajaan sedang kosong. Amangkurat II pun tidak punya pilihan selain menyerahkan pesisir utara kepada Belanda.
Keputusan itu semakin memperkokoh kedudukan Belanda di Semarang dan kian menyudutkan Mataram. Hal ini karena Mataram kehilangan pendapatan penting dan membuatnya terisolasi dari negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Komunikasi dengan pusat-pusat studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit. Mataram pun makin bergantung pada Belanda.
Kekuasaan berangsur-angsur berubah ke Belanda, hingga memungkinkan mereka memengaruhi dan bahkan mengontrol masalah-masalah politik. Namun terbukti bantuan Belanda kepada Amangkurat II tidak bisa memberangus pemberontakan. Pada 1680, lahir keraton baru di Kartasura.
Sejarah zaman Kartasura merupakan periode masa perang saudara paling lama (1686-1703, 1703-1708, 1718-1723, dan 1740-1745). Periode ini ”dibumbui” ketegangan antara Belanda dan komunitas China di Batavia. Banyak orang China yang terbunuh, sementara yang lain meloloskan diri dan mengepung benteng Belanda di Semarang.
Pakubuwono II (1726-1749), pengusaha Kartasura memberikan bantuan kepada China. Hasilnya keraton pecah dan memaksa Pakubuwono berubah sikap.
Perang yang semula terjadi antara Belanda-komunitas China, berkembang menjadi perang saudara berskala besar. Puncaknya keraton dibakar pada 1742. Pada 1743, Pakubuwono II membangun keraton baru di Surakarta.
Pada 15 Desember 1749, Pakubuwono III naik tahta menggantikan ayahnya. Namun beberapa kelompok pemberontak yang tergabung dengan orang-orang China menolak tunduk. Tokoh penting dari para pemberontak ini Mas Said (kemudian menjadi Mangkunegara I) dan Pangeran Singasari.
Untuk menumpas pemberontakan, Pakubuwono menggandeng Pangeran Mangkubumi dan kerabatnya yang lain dengan janji pemberian tanah luas. Kekuatan Mas Said hancur 1746. Namun tanah yang dijanjikan itu tidak kunjung diberikan. Hal ini memaksa Mangkubumi memberontak. Alasan lainnya, Mangkubumi marah besar kepada Pakubuwono yang menyerahkan wilayah pesisir kepada Belanda.
Pemberontakan Mangkubumi pada akhirnya mengakibatkan pembagian Mataram menjadi dua, Keraton Yogyakarta dan Surakarta (Perjanjian Giyanti). Mangkubumi diangkat menjadi sebagai Sultan Hamengkubuwono I pada 13 Februari 1755.
Pembangunan Keraton Yogyakarta pun dimulai. Lokasinya tidak di Kota Gede, namun bekas pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Setahun sesudah Perjanjian Giyanti ditandatangani, ibu kota dan Keraton Yogyakarta telah benar-benar berdiri.
Keraton Yogyakarta dikelilingi 33 kampung. Ke-33 kampung tersebut disediakan bagi para prajurit dan pelayan-pelayan keraton. Para penghuninya mempunyai tugas masing-masing. Beberapa dari mereka adalah tukang kuda dan penunggangnya, prajurit, ujangga, sastrawan, ahli agama, hingga pelayan rumah tangga. Di sini bisa terlihat adanya spesialisasi pekerjaan dengan lokasi hunian.
Hal ini sejalan dengan konsep Sjoberg dalam The Origin and Evolution of Cities (1965) yang melihat perkembangan kota lebih muncul dari golongan spesialis, bukan pertanian. Golongan berpendidikan merupakan bagian penduduk yang terpenting. Mereka itu adalah literati yakni golongan pujangga, sastrawan dan ahli agama, itulah titik awal kota. Baru berikutnya muncul pembagian kerja tertentu dalam kehidupan kota.
Jumlah kampung yang mencapai 33 merupakan representasi jumlah surga di Gunung Meru, axis mundi kosmos Budhis. Ini merupakan contoh penting bagaimana konsep Hindu dan Budha masuk dalam kosmologi Islam Jawa. Keraton yang menjadi pusat kota dan kekuasaan menjadi penanda bagi kota tersebut (landmarks).
Kevin Lynch dalam The City Image and Its Elemets (1960) menuturkan, landmarks merupakan unsur yang turut memperkaya ruang kota. Landmarks merupakan citra suatu kota yang memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Landmarks merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut. Sebagai sebuah citra, landmarks dapat memberikan orientasi bagi orang dan berbagai macam kegiatan untuk bersirkulasi. (*)
Menurut Babad Mataram, awalnya kerajaan ini berupa hutan belantara bernama Alas Mentaok. Hutan ini merupakan hadiah Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan. Hadiah diberikan karena keberhasilan Ki Ageng Pemanahan menumpas pemberontakan Bupati Jipang, Arya Penangsang.
Gideon Sjoberg dalam The Origin and Evolution of Cities (1965) mengatakan, perkembangan masyarakat perkotaan akan menjadi lebih kompleks dan heterogen dibandingkan dengan perdesaan, baik itu secara kelembagaan maupun mata pencaharian warganya. Migrasi penduduk ini sebagai sebuah cara memenuhi kebutuhan yang lebih gampang didapatkan jika mereka berkumpul di sebuah kawasan yang berdekatan yakni Mataram.
Daerah yang awalnya hanyalah hutan belantara, lambat laun ramai dengan penduduk. Warga yang sebelumnya hidup terpencar di daerahnya masing-masing, berduyun-duyun bermukim di Mataram.
Masing-masing kelompok ini membawa keahliannya masing-masing. Ada yang berprofesi sebagai petani, pedagang, pandai besi hingga prajurit. Dengan beragam profesi warganya, Mataram cepat berkembang menjadi wilayah yang maju.
Masyarakat tidak sekadar mengandalkan pertanian untuk mata pencahariannya, namun juga perdagangan. Kelembagaan pun lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya. Ada lembaga pemerintahan, keagamaan, perdagangan, hingga pertanian.
Sebagai contoh, di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.
Alas Mentaok sendiri sebelumnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu pada abad kedelapan yang menguasai Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Borobudur.
Namun pada abad ke-10, kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur. Rakyat pun berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat. Tidak diketahui pasti mengapa ada migrasi pusat pemerintahan itu.
Pembentukan Mataram Islam tidaklah mulus. Ini karena awalnya Sultan Hadiwijaya enggan memberikan tanah tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan. Sultan Hadiwijaya takut dengan ramalan Sunan Giri yang menyebutkan nanti di tanah Mataram akan muncul raja penguasa Jawa.
Tidak ingin ada ”matahari kembar”, Sultan Hadiwijaya mencoba ingkar janji dengan tidak memberikan tanah tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan. Namun berkat bantuan Sunan Kalijaga, akhirnya tanah tersebut diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan.
Namun sebelum tanah diberikan, Sultan Hadiwijaya meminta agar Ki Ageng Pemanahan bersumpah tidak memberontak kepada Pajang. Ki Ageng Pemanahan bersedia, namun dia tidak menjamin keturunan setia kepada Pajang.
Akhirnya bersama pengikutnya, Ki Ageng Pemanahan membuka Alas Mentaok dan mendirikan kadipaten di bawah kekuasaan Pajang. Benar saja, selama pemerintahan Ki Ageng Pemanahan, Mataram setia kepada Pajang.
Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan putranya Danang Sutawijaya, yang bergelar Panembahan Senapati. Di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur.
Selanjutnya Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi keraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang lebih 200 hektare. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
Panembahan Senopati sendiri akhirnya enggan tunduk kepada Pajang dan memberontak. Mataram pun akhirnya menjadi kerajaan sendiri dengan raja pertamanya Panembahan Senopati.
Imperium Mataram dimulai saat kepemimpinan Nyakra Kusuma, yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Agung. Dialah yang menjadi Mataram dari kerajaan regional menjadi imperium besar.
Menurut Bernard Vlekke (sejarawan), Sultan Agung inilah yang sebenarnya pendiri Mataram. Nama Panembahan Senopati dimunculkan sebagai tokoh mitos semasa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Saat memerintah, Sultan Agung berhasil menaklukkan Pasuruan 1616, Tuban pada 1619, dan Surabaya pada 1620. Sesudah menaklukkan kerajaan di utara dan timur Jawa, Sultan Agung membidik wilayah Sunda (Jawa Barat).
Namun di saat bersamaan, pada 1619 perusahaan dagang Hindia Belanda (VOC) mendirikan markasnya di Batavia, pantai utara. Dari sini, Belanda memulai berdagang, berperang, dan ikut campur tangan dalam urusan politik Jawa. Kehadiran mereka terbukti menggoyahkan keseimbangan dan mengejutkan Sultan Agung yang ingin menguasai Jawa, Madura, dan Bali.
Tak ayal, dia menyerang Batavia pada 1628 dan kembali melakukannya setahun kemudian. Namun dua penyerangan ini gagal. Invasi dan peperangan selama periode kekuasaan Sultan Agung memunculkan masalah besar bagi sumber-sumber ekonomi dan politik Mataram. Serangkaian peperangan dengan kerajaan pantai, ketiadaan modal, serta permintaan pasukan hampir mengundang munculnya pemberontakan.
Sultan Agung mangkat pada 1645 saat kerajaan hampir jatuh. Amangkurat I, putera Sultan Agung pun naik tahta dan memerintah dengan ”tangan besi”. Ditambah dengan kekacauan perdagangan dan pertanian akibat peperangan Sultan Agung, gaya ”tangan besi” Amangkurat I menyebabkan Mataram mengalami malapetaka di akhir abad XVII.
Pada akhir 1670, meletus perang saudara yang mengakibatkan seluruh keraton terbakar. Keraton baru bisa diselamatkan setelah adanya campur tangan Belanda. Amangkurat I wafat pada 1677 dan digantikan anaknya Amangkurat II.
Saat itu Belanda menuntut balas atas jasanya menyelamatkan Mataram, namun kas kerajaan sedang kosong. Amangkurat II pun tidak punya pilihan selain menyerahkan pesisir utara kepada Belanda.
Keputusan itu semakin memperkokoh kedudukan Belanda di Semarang dan kian menyudutkan Mataram. Hal ini karena Mataram kehilangan pendapatan penting dan membuatnya terisolasi dari negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Komunikasi dengan pusat-pusat studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit. Mataram pun makin bergantung pada Belanda.
Kekuasaan berangsur-angsur berubah ke Belanda, hingga memungkinkan mereka memengaruhi dan bahkan mengontrol masalah-masalah politik. Namun terbukti bantuan Belanda kepada Amangkurat II tidak bisa memberangus pemberontakan. Pada 1680, lahir keraton baru di Kartasura.
Sejarah zaman Kartasura merupakan periode masa perang saudara paling lama (1686-1703, 1703-1708, 1718-1723, dan 1740-1745). Periode ini ”dibumbui” ketegangan antara Belanda dan komunitas China di Batavia. Banyak orang China yang terbunuh, sementara yang lain meloloskan diri dan mengepung benteng Belanda di Semarang.
Pakubuwono II (1726-1749), pengusaha Kartasura memberikan bantuan kepada China. Hasilnya keraton pecah dan memaksa Pakubuwono berubah sikap.
Perang yang semula terjadi antara Belanda-komunitas China, berkembang menjadi perang saudara berskala besar. Puncaknya keraton dibakar pada 1742. Pada 1743, Pakubuwono II membangun keraton baru di Surakarta.
Pada 15 Desember 1749, Pakubuwono III naik tahta menggantikan ayahnya. Namun beberapa kelompok pemberontak yang tergabung dengan orang-orang China menolak tunduk. Tokoh penting dari para pemberontak ini Mas Said (kemudian menjadi Mangkunegara I) dan Pangeran Singasari.
Untuk menumpas pemberontakan, Pakubuwono menggandeng Pangeran Mangkubumi dan kerabatnya yang lain dengan janji pemberian tanah luas. Kekuatan Mas Said hancur 1746. Namun tanah yang dijanjikan itu tidak kunjung diberikan. Hal ini memaksa Mangkubumi memberontak. Alasan lainnya, Mangkubumi marah besar kepada Pakubuwono yang menyerahkan wilayah pesisir kepada Belanda.
Pemberontakan Mangkubumi pada akhirnya mengakibatkan pembagian Mataram menjadi dua, Keraton Yogyakarta dan Surakarta (Perjanjian Giyanti). Mangkubumi diangkat menjadi sebagai Sultan Hamengkubuwono I pada 13 Februari 1755.
Pembangunan Keraton Yogyakarta pun dimulai. Lokasinya tidak di Kota Gede, namun bekas pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Setahun sesudah Perjanjian Giyanti ditandatangani, ibu kota dan Keraton Yogyakarta telah benar-benar berdiri.
Keraton Yogyakarta dikelilingi 33 kampung. Ke-33 kampung tersebut disediakan bagi para prajurit dan pelayan-pelayan keraton. Para penghuninya mempunyai tugas masing-masing. Beberapa dari mereka adalah tukang kuda dan penunggangnya, prajurit, ujangga, sastrawan, ahli agama, hingga pelayan rumah tangga. Di sini bisa terlihat adanya spesialisasi pekerjaan dengan lokasi hunian.
Hal ini sejalan dengan konsep Sjoberg dalam The Origin and Evolution of Cities (1965) yang melihat perkembangan kota lebih muncul dari golongan spesialis, bukan pertanian. Golongan berpendidikan merupakan bagian penduduk yang terpenting. Mereka itu adalah literati yakni golongan pujangga, sastrawan dan ahli agama, itulah titik awal kota. Baru berikutnya muncul pembagian kerja tertentu dalam kehidupan kota.
Jumlah kampung yang mencapai 33 merupakan representasi jumlah surga di Gunung Meru, axis mundi kosmos Budhis. Ini merupakan contoh penting bagaimana konsep Hindu dan Budha masuk dalam kosmologi Islam Jawa. Keraton yang menjadi pusat kota dan kekuasaan menjadi penanda bagi kota tersebut (landmarks).
Kevin Lynch dalam The City Image and Its Elemets (1960) menuturkan, landmarks merupakan unsur yang turut memperkaya ruang kota. Landmarks merupakan citra suatu kota yang memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Landmarks merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut. Sebagai sebuah citra, landmarks dapat memberikan orientasi bagi orang dan berbagai macam kegiatan untuk bersirkulasi. (*)
Sumber: sindonews.com