STATUSCEH.NET - "Kami pinjam bapaknya sebentar," kata seorang pria berseragam kepada Rodiansyah di depan rumahnya di Gampong Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Aceh pada 26 Februari 2000 silam.
Rodiansyah masih berusia 11 tahun saat ayahnya diangkut oleh orang-orang berseragam dengan alasan 'dipinjam'. Rodiansyah kala itu penuh ketakutan dan bingung mengapa ayahnya harus 'dipinjam'.
Apalagi, segerombolan orang berseragam itu datang ke rumahnya dengan melakukan pengepungan dan menendang pintu sampai copot. Kalimat pertama yang keluar pun bukan salam atau sapaan tapi teriakan, "Mana yang di dalam? Mana yang di dalam? Jangan teriak!."
Saat mendengar teriakan itu, ayahnya, Ramli Rasyid langsung menggendong Zulkarnain, adik Rodiansyah yang masih berumur 2 tahun dari kasur. Ramli berjalan meninggalkan kamar diikuti ibu, kakak dan Rodiansyah.
Kejadian traumatis itu terjadi malam hari saat rumahnya masih gelap. Saat ia menyalakan lampu, terlihat jelas gerombolan orang berseragam itu membawa senjata laras panjang dan memakai sebo atau tutup kepala.
Ramli dan istrinya sempat berbincang di depan rumah. 'Sekalian ambil KTP," kata ibunya. Namun, salah satu dari gerombolan berseragam itu langsung menimpal, "Enggak usah, sebentar aja, naik mobil aja dulu." Ramli langsung diminta masuk ke mobil Chevrolet.
"Jangan ada yang teriak, jangan ada yang lapor ke mana-mana, Cuma kami pinjam bapak sebentar," kata salah satu dari gerombolan orang berseragam itu sambil menodongkan senjata.
Chevrolet itu kemudian melaju dengan menyemburkan kepulan asap knalpot ke arah Rodiansyah, ibu, adik dan kakanya. Kepergian Chevrolet itu menyisakan kecemasan luar biasa, ketakutan sekaligus kebingungan.
Rodiansyah sudah tahu, kala itu banyak orang-orang yang hilang diangkut oleh gerombolan orang berseragam. Rata-rata, orang orang yang dihilangkan itu dituduh anggota atau simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro, murid dari Daud Beureueh, pimpinan DI/TII.
Tapi ayahnya hanya seorang petani kopi biasa. Bahkan, beberapa bulan sebelum pengangkutan itu, ibu Rodiansyah sempat menanyakan langsung ke Ramli apakah suaminya itu ikut GAM, tapi Ramli selalu membantah dengan tegas.
Saat mentari pagi mulai menampakkan diri, ibu Rodiansyah langsung mendatangi rumah-rumah tetangga. Namun, belum sampai bercerita, ibunya langsung ditolak. Situasi itu membuatnya semakin sedih.
Kini, saat umurnya menginjak 32 tahun, Rodiansyah mulai sedikit mengerti mengapa tetangganya banyak yang menolak memberikan bantuan. Ia pun mengibaratkan kejadian puluhan tahun lalu itu dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini.
"Setiap kami datang ke rumah warga lain, setiap kami ingin ceritakan masalah kami, enggak ada yang terima. Seperti corona inilah. Dianggap menular," kenang Rodi, menceritakan kembali seluruh kesaksiannya tersebut saat diwawancara lewat Zoom, Minggu (5/12).
"Tidak ada yang mau dengar cerita kami. Asal kami ke tempat tetangga, mereka was-was, takut nanti anak atau suaminya yang nanti bakal dijemput juga," tambah Rodiansyah.
Rodiansyah dan keluarganya mencari bantuan ke sana ke mari. Ia juga sempat melapor ke Polsek Bandar saat itu. Mereka juga meminta untuk mengecek ruang tahanan. Namun, usahanya itu juga berbuah nihil.
"Malah dituding: Kadang [mungkin] Bapak kamu GAM?" ucap Rodi sembari menirukan omongan petugas Polsek Bandar. Ia dan keluarganya pun balik kanan kembali ke rumah.
Pada 1990-1998, pemerintah menetapkan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pemerintah melalui Panglima ABRI memutuskan untuk melaksanakan Operasi Jaring Merah (Jamer) untuk melawan GAM.
Tahun 1998 status itu dicabut. Namun, penghilangan dan kekerasan masih terjadi di Aceh. Saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, status itu kembali diberlakukan pada 2003-2004.
Baca Selanjutnya>>>