NEW Normal. Istilah ini lagi populer di mana-mana. Dari belahan bumi Barat sampai ke bumi Timur. New Normal mengacu pada suatu tatanan hidup baru yang penuh protokol kesehatan dari pemerintah seiring perkembangan pandemi Covid-19. Cara orang bersekolah, bekerja, berbelanja, dan berinteraksi tidak akan lagi sama seperti sebelum Maret 2020.
Di Indonesia, Hidup Baru kemungkinan mulai berlangsung pada Juni 2020. Pemerintah telah bersiap mengizinkan pembukaan mal, sekolah, kantor pemerintahan, dan sejumlah sektor usaha.
Pemerintah berupaya mengkampanyekan Hidup Baru lewat berbagai corong media. Pengelola sekolah, manajemen perusahaan, mal, dan pusat keramaian tengah ikut membantu menjabarkan apa itu Hidup Baru. Istilah ini tampak menjadi sebuah gerakan bersama. Tapi Indonesia bukan kali pertama ini mengalami gerakan Hidup Baru.
Mari mundur ke masa pendudukan Jepang. Masa ini memperlihatkan adanya persiapan masyarakat untuk menyongsong hidup baru. Memasuki 1945, posisi Jepang di Indonesia mulai keteteran. Ini berawal dari kekalahan mereka di palagan Pasifik sepanjang 1944.
Jepang butuh dukungan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kedudukannya di Asia. Caranya dengan melempar janji kemerdekaan oleh Perdana Menteri Koiso pada September 1944 dan mempropagandakan Gerakan Hidoep Baroe.
Gagasan Gerakan Hidoep Baroe muncul dalam dialog antara Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) dengan sejumlah anggota dewan Chuo Sangi-In pada 20 Februari 1945. Panglima tertingg bertanya bagaimana caranya memenangkan peperangan.
Para anggota dewan menjawab peperangan hanya bisa diraih dengan mewujudkan penghidupan baru bagi masyarakat Indonesia, yaitu kemerdekaan. Menurut anggota dewan, kemerdekaan berarti kebebasan dari luar dan dalam.
Kebebasan dari luar berarti merdeka dari Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Sedangkan kebebasan dari dalam adalah merdeka dari Jepang.
Panglima tertinggi bertanya lagi tentang maksud penghidupan baru. Seorang anggota dewan menjawab bahwa penghidupan baru ialah “bagaimana memperbaiki pemerintah, baik melalui rohani maupun jasmani sehingga sesuai dengan panggilan zaman.” Demikian kutipan Asia Raja, 21 Februari 1945
Kemudian dialog itu menjadi pembahasan serius dalam sidang ketujuh Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat –semacam DPR masa Jepang) pada 21 Februari 1945. Mr. Soedjono dan R.H. Fathoerachman, anggota dewan, mengusulkan perlunya rakyat belajar menerapkan perilaku baru dan membuang semua sikap lemah pada masa penjajahan Belanda.
Bangsa Indonesia akan memasuki zaman baru. Dan zaman baru harus laras dengan cara pandang dan perilaku baru.
“Maka untuk mencapai tujuan di atas insaflah kita, bahwa suatu gerakan pembaruan penghidupan harus dilaksanakan, yang akan memberi dasar baru kepada budi-pekerti dan masyarakat rakyat yang dihidupkan oleh suatu jiwa baru. Dengan semangat yang menyala-nyala kita masukilah Gerakan Hidoep Baroe,” demikian pernyataan Chuuoo Sangi-In dalam Pandji Poestaka, No 5 Tahun Showa 2605 (1945).
Gerakan Hidoep Baroe berisi 33 butir pedoman. Antara lain meliputi semangat berkhidmat kepada tanah air dan Asia Timur Raya, bersifat ksatria, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berdisiplin terhadap diri, menghormati orang tua, terbiasa hidup bersih dan sehat lahir dan batin, berhemat, giat bekerja, cinta ilmu pengetahuan, suka menanam, dan memuliakan kerja tangan.
Semua butir pedoman termaksud merupakan gagasan anggota dewan dari berbagai kelompok bangsa Indonesia. “Program ini dapat dikatakan luar biasa, karena sama sekali tidak menguraikan ide-ide atau slogan-slogan Jepang,” catat Arniati Prasedyawati Herkusumo dalam Chuo Sangi-In: Dewan Pertimbangan Pusat pada Masa Pendudukan Jepang.
Dalam pidato penutup sidang, Sukarno sebagai ketua dewan mengatakan Gerakan Hidoep Baroe ibarat udara segar bagi orang sakit. Dia memandang masyarakat di seluruh negeri sedang sakit. Mereka perlu terapi selekasnya.
“Maka oleh karena itu, perlu maha-perlu, laksana udara buat napas kita, kita harus membongkar segala penyakit yang ada di dalam tubuh masyarakat kita itu, dan menegakkan satu Hidoep Baroe, yang sehat dan rasional,” kata Sukarno, termuat di Kan Po, No. 62 tahun 2605 (1945).
Sukarno juga menegaskan, Gerakan Hidoep Baroe tidak cukup jadi jargon. Ia tidak boleh sekadar menjadi anjuran pemerintah atau pelajaran di sekolah. Ia mesti pula mewujud dalam tindakan. Dan beban itu pertama-tama terletak pada para pemimpin yang membuatnya. “Kita sebagai pemimpin wajib memberi contoh. Marilah kita menjadi pelopor rakyat, juga di atas lapangan pembaruan jiwa dan moral itu,” lanjut Sukarno.
Pemerintah Jepang mengaku menerima isi Gerakan Hidoep Baroe. Mereka berjanji akan membantu mempropagandakan seluruh isi Gerakan Hidoep Baroe ke pelosok negeri.
Kenyataannya, Jepang hanya berminat pada empat isi Gerakan Hidoep Baroe. Tentang penanaman, cinta tanah air, bakti Asia Timur Raya, dan memuliakan kerja tangan. Keempatnya berkaitan langsung dengan kepentingan Jepang. Sisanya tidak.
Tapi anggota dewan meminta isi Gerakan Hidoep Baroe tetap disebarluaskan kepada seluruh bangsa Indonesia. Caranya beragam. Dari memuat selebaran di media massa, membikin poster, sampai membuat lagu.
Perang soedah sampai di poentjak tingkatan
Hidoep baroe lekaslah dilaksanakan…
Oentoek menjoesoen negara Indonesia
Jang pasti merdeka
Begitu potongan lirik lagu “Hidoep Baroe” karangan R. Harta dalam suatu edisi Djawa Baroe tanpa keterangan waktu publikasi. Lagu itu diiringi komposisi musik karya Ismail Marzuki.
Gerakan Hidup Baru terus bergaung ke antero negeri. Ia memperoleh tempat lapang di kalangan organisasi. Masyumi, melalui Soeara Moeslimin edisi 1 Maret 1945, memperlihatkan dukungannya pada Gerakan Hidoep Baroe.
“Masyumi memandang sudah selayaknya ikut menggerakkan segala macam gerakan rakyat yang menuju perbaikan dasar-dasar negeri dan bangsa kita,” tulis Soeara Moeslimin seperti dikutip Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir.
Jawa Hokokai, organisasi kebaktian Jawa, turut mempublikasikan secara luas Gerakan Hidoep Baroe. Sukarno sebagai ketua Jawa Hokokai berkeliling Jawa untuk mengajak rakyat melaksanakan Gerakan Hidoep Baroe.
Rosihan Anwar, seorang jurnalis muda, menyaksikan langsung pidato Sukarno di Pati, Jawa Tengah, yang berisi anjuran melaksanakan Gerakan Hidoep Baroe. Dia berseberangan pendapat dengan sebagian besar kaum nasionalis. Dia berada satu kelompok dengan Sutan Sjahrir, pemimpin perlawanan kelompok non-kolaborator atau anti-Jepang.
Rosihan menilai Gerakan Hidoep Baroe cuma propaganda murahan bikinan Jepang. “Terdesak akibat serangan tentara Sekutu di bawah Jenderal MacArthur,” tulis Rosihan dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Volume 1. Sementara Sjahrir bersikap dingin terhadap Gerakan Hidoep Baroe. Dia lebih banyak membahas penderitaan rakyat ketimbang berbicara Gerakan Hidoep Baroe.
Pada akhirnya, gaung Gerakan Hidoep Baroe mengecil. Ia tak pernah lagi didengung-dengungkan. Sebagian gagasannya lesap ke dalam pembahasan dasar negara, undang-undang dasar, dan naskah persiapan kemerdekaan Indonesia oleh BPUPKI sepanjang Mei-Juni 1945.