Industri Nasional Butuh Teknologi Pengelolaan Limbah Ramah Lingkungan
JAKARTA- Industri nasional perlu melakukan pengelolaan limbah dengan baik agar bisa menerapkan konsep ramah lingkungan. “Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi untuk mewujudkan hal tersebut sesuai dengan prinsip industri hijau,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara di Jakarta, Sabtu (14/4).
Salah satu langkah yang telah dilakukan Kementerian Perindustrian guna mendorong sektor manufaktur mengimplementasikan prinsip industri hijau, yaitu melalui peran Balai Besar Teknologi Pencegahan dan Pencemaran Industri (BBTPPI) di Semarang sebagai unit teknis di bawah BPPI yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi pengolahan limbah industri.
Salah satu hasil penelitian yang dihasilkan oleh BBTPPI adalah reaktor elektrokatalitik. “Reaktor elektrokatalitik pengolah air limbah hasil rancangan peneliti BBTPPI memiliki keunggulan utama yaitu dirancang dalam unit portable, sehingga mudah diaplikasikan untuk berbagai ukuran skala industri terutama yang dilakukan oleh industri kecil dan menengah (IKM),” papar Ngakan.
Menurutnya, beberapa kelebihan lain dari reaktor ini di antaranya adalah mudah dioperasikan, prosesnya cepat, tidak membutuhkan ruang yang besar, dan tidak menghasilkan sludge.
Teknologi ini sangat efektif untuk pengolahan air limbah dengan karakter polutan utama berasal dari zat warna reaktif, kandungan suspensi rendah,konsentrasi ion hidrogen dari larutan (pH) cenderung asam dan debit tidak besar.
Teknologi ini sangat efektif untuk pengolahan air limbah dengan karakter polutan utama berasal dari zat warna reaktif, kandungan suspensi rendah,konsentrasi ion hidrogen dari larutan (pH) cenderung asam dan debit tidak besar.
“Lebih lanjut, pada kondisi optimal, reaktor elektrokatalitik ini mampu mereduksi polutan warna hingga 79 persen,” jelas Ngakan. Bahkan, secara nilai ekonomi, biaya operasional alat ini lebih murah jika dibandingkan dengan metode konvensional.
“Selain itu, jika dibandingkan dengan teknologi pengolahan limbah konvensional, diperoleh potensi penghematan biaya,” imbuhnya. Bila dibandingkan dengan teknologi pengolahan limbah konvensional, maka diperoleh potensi penghematan biaya pengolahan limbah hingga Rp 1.600/m3 air limbah.
Sektor manufaktur yang berpotensi menggunakan teknologi tersebut, yakni industri pewarnaan tekstil. Sektor ini sebagian besar terpusat di Pulau Jawa dengan skala produksi bervariasi mulai dari kecil, sedang hingga besar. “Untuk skala kecil, beberapa pusat populasi industri pewarnaan tekstil di Jawa Tengah terdapat di daerah Sragen, Sukoharjo dan Surakarta,” sebutnya.
Khusus di Wilayah Kabupaten Sragen, jumlah unit usaha yang bergerak di industri pewarnaan ini tak kurang dari 4.500 industri dengan jumlah pengrajin lebih dari 12 ribu orang dengan lingkup proses meliputi batik, celup, cap dan printing.
“Pengrajin batik di Sragen, setiap bulannya, sedikitnya mampu memproduksi sebanyak 1,2 juta potong bahan batik untuk konsumsi pasar domestik,” ungkap Ngakan.
“Pengrajin batik di Sragen, setiap bulannya, sedikitnya mampu memproduksi sebanyak 1,2 juta potong bahan batik untuk konsumsi pasar domestik,” ungkap Ngakan.
“Dengan dampak positifnya terhadap perekonomian, industri pewarnaan tekstil ini juga kamiharapkan dapat semakin meminimalkan dampak timbulan limbah yang dihasilkan, terutama yang berasaldari proses pewarnaan dan finishing-nya, sehingga tujuan implementasi industri hijau, yaitumenyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberimanfaat bagi masyarakat dapat tercapai,” tutur Ngakan.
Industri pewarnaan merupakan salah satu subsektor industri tekstil, di mana industri tekstilsudah sejak lama menjadi salah satu sektor penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun2017, tercatat bahwa industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh 3,76 persen.
Selanjutnya, berkontribusi 6,19 persen terhadap total PDB industri pengolahan non migas dengan nilai total ekspor mencapai USD12,59 miliar. Industri tekstil dan produk tekstil juga menyerap 3,58 juta tenaga kerja atau 21,05 persen dari total tenaga kerja di sektor manufaktur.(Red/Rls)