Polisi: Kami Sulit Tangkap Santoso, Gunung di Poso Berlapis-lapis, Tidak Seperti di Aceh,
KELOMPOK MUJAHIDIN INDONESIA TIMUR (SANTOSO) |
Jakarta - Kepala Korps Brimob Polri Irjen Murad Ismail mengatakan bahwa perjalanan menuju lokasi persembunyian teroris Santoso harus ditempuh melewati medan yang berat. Kondisi tersebut yang membuat aparat kesulitan untuk menangkap pimpinan jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) itu.
"Gunung (di Poso) itu berlapis-lapis. Tidak seperti di Aceh," kata Murad melalui pesan singkat Sabtu (20/2).
Murad menceritakan beberapa kesulitan yang dialami para anggota polisi dalam memburu Santoso.
"Anggota saya, paling lama di puncak (gunung) itu 14 hari. Kalau orang biasa, sehari dua hari sudah turun (gunung). Makanan yang dibawa itu bekal berat, kami pilih makanan semacam biskuit yang tidak berat untuk 14 hari. Lalu bawa pakaian dan senjata. Coba seberat itu mengejar orang," katanya.
Kesulitan lainnya, Santoso yang merupakan penduduk asli Poso sering menyamar untuk masuk dan keluar dari perkampungan. "Saat masuk kampung, dia pakai baju sipil. Nggak kayak tentara yang bisa dibedakan," katanya.
Beberapa anggota MIT, kata dia, juga ada yang ditugaskan untuk menetap di perkampungan dan melakukan pengawasan.
"Mereka menetap di kampung untuk melaporkan ke Santoso, apa ada masyarakat yang membantu polisi. Jadi warga juga terancam, kalau ada yang dekat polisi, dibunuh juga," ujarnya.
Polri sudah melakukan operasi Camar Maleo I hingga IV guna melakukan pengejaran Santoso dan kelompoknya, tapi Santoso juga belum tertangkap.
Kemudian setelah masa Operasi Camar Maleo berakhir, Polri melanjutkan pengejaran dengan menggandeng TNI melalui Operasi Tinombala. Operasi yang dimulai pada 10 Januari 2016 itu menargetkan untuk melumpuhkan Santoso dan kelompoknya di Poso dalam waktu 60 hari.(beritasatu.com)
"Gunung (di Poso) itu berlapis-lapis. Tidak seperti di Aceh," kata Murad melalui pesan singkat Sabtu (20/2).
Murad menceritakan beberapa kesulitan yang dialami para anggota polisi dalam memburu Santoso.
"Anggota saya, paling lama di puncak (gunung) itu 14 hari. Kalau orang biasa, sehari dua hari sudah turun (gunung). Makanan yang dibawa itu bekal berat, kami pilih makanan semacam biskuit yang tidak berat untuk 14 hari. Lalu bawa pakaian dan senjata. Coba seberat itu mengejar orang," katanya.
Kesulitan lainnya, Santoso yang merupakan penduduk asli Poso sering menyamar untuk masuk dan keluar dari perkampungan. "Saat masuk kampung, dia pakai baju sipil. Nggak kayak tentara yang bisa dibedakan," katanya.
Beberapa anggota MIT, kata dia, juga ada yang ditugaskan untuk menetap di perkampungan dan melakukan pengawasan.
"Mereka menetap di kampung untuk melaporkan ke Santoso, apa ada masyarakat yang membantu polisi. Jadi warga juga terancam, kalau ada yang dekat polisi, dibunuh juga," ujarnya.
Polri sudah melakukan operasi Camar Maleo I hingga IV guna melakukan pengejaran Santoso dan kelompoknya, tapi Santoso juga belum tertangkap.
Kemudian setelah masa Operasi Camar Maleo berakhir, Polri melanjutkan pengejaran dengan menggandeng TNI melalui Operasi Tinombala. Operasi yang dimulai pada 10 Januari 2016 itu menargetkan untuk melumpuhkan Santoso dan kelompoknya di Poso dalam waktu 60 hari.(beritasatu.com)