( Artikel ini ditulis Oleh Nico Vink dalam bahasa belanda di sebuah media Amsterdam dan diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)
Penulis
adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik
Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo,
Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen
uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.
“Ratu,
akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat
Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada
tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian
dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya
untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf
sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam...”
oleh Nico Vink (*
Tahun 1600, serangan di Nieuwpoort.
Siapa yang masih membicarakan Perang Aceh? Siapa yang tahu mengapa
Gubernur Jendral Loudon di Batavia (Jakarta) yang otokratis, keras
kepala, impulsif dan gigih memulai perang melawan Aceh tahun 1873?
Berapa tahun perang ini berlangsung? Siapa yang tahu di sungai mana, di
benteng Aceh yang mana, di semak belukar yang mana, di bukit dan gunung
yang mana, di kampung yang terbakar mana serta kebun kelapa yang mana
tempat para serdadu Belanda dan Aceh saling melemparkan klewang satu
sama lain?
Siapa yang masih ingat nama
kampung-kampung di Aceh tempat para pejuang Aceh dapat berleha-leha
dengan 70 bidadari yang cantik setelah ’pasifikasi’, ’ekskursi’,
’pendisiplinan’ Belanda? Masih ingatkah kita bagaimana Jendral Köhler,
komandan pasukan invasi Belanda tahun 1873, terbunuh di bawah pohon
geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja? Tentang Jendral van der
Heijden, alias Kareltje Eénoog, yang bersujud kepada orang-orang Aceh
menyatakan terima kasihnya karena dia masih bisa selamat?
Siapa pula yang masih ingat
tentang Belanda yang sebelum melancarkan Perang Aceh Kedua mengaktifkan
kembali Jendral van Swieten yang sudah pensiun? Siapa yang tidak pernah
mendengar bertahun-tahun kemudian, setelah Perang Aceh yang
kesekian-kalinya, cerita Jendral Van Heutz tentang para serdadu KNIL
yang runtuh semangatnya, namun kemudian terinspirasi oleh pemikiran
Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang mendalami Islam, maka semangat
bertempur para serdadu itu bangkit kembali? Yang dengan tenang mengejar
dan membuat kaget orang-orang Aceh di gunung-gunung dengan senjata
modern, klewang dan taktik anti-gerilya yang baru.
Van Heutsz yang menangkap orang
Aceh yang pemberani dan pecinta kemerdekaan, pertama-tama kakinya dulu,
kemudian lehernya dan dengan hati-hati dipukulnya lalu kemudian mencoba
mengambil hati mereka. Terakhir, siapa yang tidak mengenal –saya hanya
menyebut satu nama saja sementara ini – Van Daalen yang kejam, seorang
militer yang memandang rendah pribumi.
Pada aksi kontra terorisnya,
kekejaman dan kesadisan bukan hanya sesekali tetapi sistematis.
Sebagaimana yang ditulis seorang polisi militer dengan nama samaran
’Wekker’ – yang pernah dipermalukan oleh Van Daalen – pada tahun 1907
melalui 17 artikel di koran ’De Avondpost’ (Koran Malam) yang terbit di
Den Haag ,” para tahanan dibunuh (sebagai pelajaran lalu jasad mereka
dijajarkan), kaum wanita dan anak-anak ditembak, para pemberi informasi
yang ragu-ragu disiksa, para sandera disekap dalam kurungan, rumah
tinggal, mesjid dan kampung-kampung dibakar habis.” (1)
Sesudah Van Heutsz diangkat
menjadi gubernur jendral bersama dengan komandan militer Belanda saat
itu atas perintah Menteri di Den Haag, maka kritik di parlemen pun
mereda. Van Daalen dibebaskan dari segala tuduhan (harusnya diadili dulu
oleh pihak yang netral). Angkat topi.
Nama-nama para pemimpin besar
Aceh saat itu seperti Tiro, Panglima Polim, Teuku Umar dan istrinya yang
penuh semangat perjuangan, Cut Nya Dien, saya rasa tidak perlu
dipertanyakan lagi. Ambil contohnya Teuku Umar. Pada awalnya beliau
membiarkan dirinya didekati oleh Belanda, mendapat titel yang baik dan
ribuan prajurit Aceh di bawah komandonya dilatih dan dipersenjatai oleh
Belanda yang ’tidak beragama’. Setelah itu beliau menyeberang ke kubu
Aceh, musuh Belanda. Di mata penjajah tindakannya dianggap sebagai
sebuah pengkhianatan besar.
Tetapi orang Aceh yang
bertelanjang kaki menilainya tidak demikian. Di mata mereka, Belanda
terperosok dalam perangkap Teuku Umar. Janda Teuku Umar, Cut Nya Dien,
juga mempunyai semangat berjuang yang berkobar. Dengarlah bagaimana
beliau mengimbau agar rakyat Aceh berjuang melawan penjajah.
”Rakyatku,
orang-orang Aceh, ingatlah ini, jangan pernah lupakan! Mereka menentang
Allah dan membakar Mesjid Raya (di Kutaraja)! Jangan pernah lupakan dan
jangan pernah memaafkan para kafir Belanda!! Perlawanan Aceh tidak
hanya dalam kata-kata.” (2)
Tentu saja di Belanda ada
sekitar 44 atau 444 orang Belanda asli, Indo, para pensiunan KNIL di
Bronbeek. Belum lagi orang Maluku, anggota Yayasan Kerkhof Pecut, dosen
universitas yang muda dan tua, para pelajar asal Aceh, kelompok pecinta
literatur Indische Letteren, keturunan para pegawai pemerintah Belanda
dan para pengajar sekolah dasar Eropa di Hindia-Belanda, dulu, yang tahu
soal Perang Aceh. Kadang mereka malah sangat banyak tahu hingga membuat
kita terkejut. Tetapi lebih dari itu saya kira hanya tinggal sejarah.
Menyedihkan.
Dari mereka yang menganggap Perang Aceh sudah mati, kita tidak mendengar lagi kisah tentang perang ini. Logis. Yang lainnya, ”Bagi
mereka yang menganggap Perang Aceh belum sepenuhnya mati, masih
sesekali menulis, bahwa ’peringatan tentang Perang Aceh tampaknya sudah
mati, sebuah masa lalu yang sudah mati,” (3)
Mereka tidak menyesalinya sama
sekali, karena kita tidak bisa belajar apa-apa lagi dari perang ini,
begitu pendapat mereka. Sementara yang setengahnya lagi, para ahli
literatur dan sejarawan, dengan fakta-fakta kosong juga telah membuat
perang ini seolah-olah mati.
Contohnya adalah Menke de Groot.
Untuk merehabilitasi nama Kapten Borel yang memimpin Pasukan
Hindia-Belanda dan membebaskan tuduhan terhadap Jendral Swieten,
pemimpin KNIL yang dituduh bersalah melakukan pembakaran dan pembunuhan
massal, maka pada tahun 2009 beliau menulis sebuah buku tebal tentang
Perang Aceh Kedua membahas kedua pemimpin tersebut (4).
Bagaimana orang dapat percaya padanya, diperlukan penjelasan. ’Hati-hati
dengan pendapat sembrono orang-orang seperti Multatuli dengan pemikiran
filantropisnya yang menyesatkan tentang Perang Aceh’,
demikian serunya. Sayang sekali bahwa de Groot dalam buku edisi cetak
ulangnya hanya menyebut ’lembaga militer’dalam Perang Aceh Kedua.
Padahal Perang Aceh Pertama, Ketiga dan Keempat sama sekali tidak
identik dengan Perang Aceh Kedua.
Akan sangat menarik sekali jika
de Groot menempatkan Perang Aceh ’nya’ dalam konteks kolonial, dengan
sudut pandang saat itu dan sudut pandang saat ini. Sayang sekali beliau
tidak menangkap kesempatan itu.
Berbagai lagu rakyat Belanda
menunjukkan bagaimana pada saat terjadinya Perang Aceh kita melihat diri
kita sendiri sebagai penjajah Belanda yang beradab dan Aceh yang
barbar, serta bagaimana beruntungnya saat itu bagi Aceh karena kita
ingin ’menciptakan perdamaian’ di sana.
Paasman mencatat, banyak tentang
lagu-lagu tersebut adalah lagu untuk membangkitkan semangat, lagu
tentang keadilan, lagu tentang polisi militer, lagu perpisahan, lagu
peringatan, lagu tentang pahlawan, lagu jalanan, lagu cinta mendayu-dayu
dan lagu-lagu kabaret (5).. Contohnya lagu Militair Atchinlied karya P
Haagsma, (6)
“Naar Atchin, de Kraton! Daar zetelt het kwaad.
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeulde verraad;
Roeit uit dat geboredsel, verneder die klant;
Met Nederlands driekleur ‘beschaving’geplant.”
Ke Aceh, Kerajaan! Disanalah bersarangnya kejahatan.
Sembunyikan kepalsuan, sarang bajak laut dan penuh pengkhianatan;
Teriakilah kekacauan itu, permalukanlah;
Dengan ’peradaban’Belanda tiga warna.
Setiap pembunuh muda menyanyikan lagu jalanan yang populer ini, (7)
En Teuku Oemar, die moet hangen;
Aan een touw, aan een touw,
Teuku Oemar en zjn vrouw.
Dan Teuku Umar, harus digantung;
Dengan tali, dengan tali,
Teuku Umar dan istrinya.
Para pahlawan Hindia-Belanda yang gagah berani pun tak dilupakan, (8)
Wie kent er niet die brave zielen
Die aan het verre Atjehstrand
Al voor de eer van Nederland vielen
't Rood, Wit, Blauw in hun verstijfde hand?
We zullen hunnen assche eeren, wreken,
En waar ik ga of sta of zit, zal ik hun naam met eerbied spreken
Want dat waren jongens van Jan de Witt.
Siapa yang tidak kenal jiwa-jiwa yang berani
Yang berjuang di pantai Aceh yang jauh
Gugur demi kehormatan Belanda
Warna merah, putih dan biru di tangan mereka yang sudah kaku?
Kita akan menghormati dan membela jasad mereka,
Dimanapun aku berada, berdiri atau duduk, aku akan menyebut nama mereka dengan penuh hormat.
Karena mereka adalah para pemuda Jan de Witt.
-----
Tentu saja ada juga suara-suara
yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya dari Multatuli yang sudah
kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis sebuah surat 'kepada Raja'
sebagai berikut, ”Gubernur Jendral Anda (James Loudon-Red) saat ini
berada pada posisi untuk memaksakan kehendaknya dengan mengumandangkan
perang pada Sultan Aceh, dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah
sebagai suatu tindakan yang wajar dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan
Aceh menyerahkan kedaulatannya. Hal ini sama sekali tidak terhormat,
tidak bermartabat, tidak dapat dipahami.” (9)
Saya juga sudah menyebut tentang
’Wekker’, seorang polisi menulis 17 artikel kritis di koran Den Haag
’De Avondpost’. Artikel-artikel yang menimbulkan keresahan di Belanda,
setidaknya di parlemen. Namun persoalan ini dianggap tidak ada dan tidak
dicari pemecahannya. Para penulis seperti Zentgraff sebelum Perang
Dunia Kedua (10) dan van ’t Veer (11) dan Bossenbroek (12) tidak
menghargai keterlibatan KNIL dalam Perang Aceh. Salah satu kutipannya,
”Kampung Kuto Reh yang diserang, 11 Juni 1904. Dua Belanda tewas. Aceh
kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59 anak-anak.”
Komandan Van Daalen
memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto. Seorang Letnan
bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada istrinya dalam
Bahasa Belanda sehari-hari, ”Pekerjaan yang tidak menyenangkan tetapi
tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta menghujani mereka dengan
bayonet.”.
Setelah tahun 1945 muncul
perhatian dari berbagai pihak tentang Perang Aceh. Misalnya Madelon
Székely-Lulofs yang menulis roman tentang pejuang Aceh Cut Nya Dien
(14). Atau roman yang menggugah berjudul Wisselkind yang terbit tahun
1998 yang ditulis Basha Fabers (15). Paul van ’t Veers dengan karyanya
yang menawan berjudul De Atjeh-oorlog (Perang Aceh) tahun 1869 (16).
Atau buku De verbeelding van een koloniale oorlog (Gambaran sebuah
perang kolonial) tahun 2001 yang disusun oleh Liesbeth Dolk (17) berisi
tulisan sepuluh penulis yang menggambarkan Aceh melalui pers, literatur,
seni dan film.
Ingatan tentang Perang Aceh
sesudah 2001 tidak berhenti begitu saja, oleh sebab itu perlu ditelaah
aktualisasinya. Pada tahun 2004 muncul skripsi doktoral yang tidak
begitu dikenal yang ditulis oleh Lucia Hogervorst, van etnocentrisme
naar cultuurrelativisme (18) (Dari Etnosentrisme ke Relativitas Budaya).
Isinya mengenai pendapat umum di Belanda setelah tahun 1945 tentang
sejarah kolonial. Beliau mendasarkan penelitiannya antara lain pada buku
sejarah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada tahun
1950-an, 70-an dan 90-an tentang Perang Aceh.
Setelah itu ia mengukuhkan
pendapatnya sekali lagi melalui tulisannya De (niet te) vergeten oorlog
in Atjeh (Perang di Aceh yang (tidak untuk) Dilupakan) melalui
penerbitan khusus pada tahun 2010 untuk memperingati ’65 tahun
berakhirnya Perang Dunia Kedua’(19). Pendidikan Protestan pada tahun
1950-an menceritakan kisah tentang seorang Sultan Aceh (seorang
bangsawan yang berdaulat - Red) yang tidak mau tunduk pada Pemerintah
Belanda dan masyarakat Aceh yang dipandang sebagai para bajak laut yang
beringas, oleh sebab itu mereka harus dikoreksi.
Maka anggapan ‘harus dikoreksi’
inilah yang menjadi alasan mengapa Belanda menduduki Aceh (‘menduduki’
bagi Aceh sama dengan menyerang dan menjajah- Red). Buku sejarah di
sekolah Katolik nyaris tidak memberi informasi tentang Perang Aceh itu
sendiri tetapi menceritakan ratusan kali tentang Pendeta Verbraak yang
bertahun-tahun bertugas menangani ‘jiwa-jiwa damai para pemberani’.
Buku itu memuji perjuangan para
serdadu Pasukan Hindia-Belanda yang pemberani. Dengan perjuangan berat
para serdadu Belanda berhasil mengembalikan ketentraman di Aceh
sementara orang Aceh sendiri ’sesekali’ masih melawan Belanda
(‘mengembalikan ketentraman’seolah-olah Aceh yang pribumi sudah secara
sah menjadi bagian dari Kerajaan Belanda- Red).
Tetapi murid sekolah sebenarnya
tidak belajar bagaimana Belanda selama bertahun-tahun menjadi bagian
dari petualangan keserakahan, bersaing dan berseteru dengan sesama
negara Eropa lain untuk mencari keuntungan dan kekayaan di belahan dunia
lain yang jauh dan belum dikenal. Orang Belanda yang baik harus mencari
keuntungan, bukan dengan jalan kebaikan tetapi dengan menimbulkan
banyak kerusakan. Maka Aceh pun menjadi korban dari keserakahan itu.
Kepada rakyat Belanda dikatakan
bahwa pendudukan dilakukan untuk mengakhiri bajak laut di Aceh. Kepada
Amerika dan negara Eropa lain menurut kabar burung (yang tidak diuji
kebenarannya) dikatakan bahwa tindakan itu dilakukan untuk mempersiapkan
kesepakatan yang menguntungkan dengan Sultan Aceh dan untuk mengambil
alih wilayah kekuasaannya.
Maka Gubernur Jendral di Batavia
secara tergesa mengumumkan perang dengan Sultan Aceh dan mendaratlah
pasukan ekspedisi Belanda pada tanggal 8 April 1873 di Aceh. Tetapi
ketika Jendral Belanda, Köhler, yang berkuasa tewas terbunuh di bawah
pohon geulumpang dekat Masjid Raya di Kutaraja maka tewas pula
kekuasaannya dan ekspedisi pertama itu pun gagal.
Pada tahun 1874 terjadilah
Perang Aceh Kedua di bawah pimpinan Jendral van Swieten yang pensiun
namun diaktifkan kembali. Ketika kerajaan milik Sultan Aceh diduduki,
dengan penuh kemenangan beliau mengirim pesan ke Belanda ‘kerajaan sudah
kita duduki’, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah kerajaan itu kosong
melompong dan burung-burung pun beterbangan dari dalamnya.
Sesudah itu diikuti oleh
tahun-tahun penuh kritik terbuka dari para bawahan di antara yang
menonjol adalah Kapten Borel. Muncul lagi seorang jenderal baru, kali
ini dengan taktik pertahanan 16 benteng di sekitar Kutaraja. Mereka
bertahan selama bertahun-tahun dengan cara bersembunyi di
benteng-benteng tersebut, demikian menurut Snouck Hurgronje.
Kemudian muncul Jendral Karel
van der Heijden, alias Kareltje Eénoog (Karel Bermata Satu), setelah
beliau kehilangan satu matanya dalam peperangan. Taktiknya adalah
‘hukuman sebagai pelajaran’, dengan kata lain ribuan orang Aceh dibunuh
dan ratusan kampung di Aceh habis dibakar, tetapi kemenangan perang
tetap tidak tercapai. Kemudian diikuti oleh Jendral Van Heutsz yang
kali ini mendapat giliran.
Terinspirasi oleh visi spesialis
Islam asal Belanda, Snouck Hurgronje, beliau menjalankan taktik aksi
kontra gerilya yang bergerak ofensif secara berkala ke pedalaman Aceh
yang bergunung-gunung, yang untuk beberapa waktu lamanya belum terjamah
manusia.
Anda
bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit,
memberi kesan sebagai seorang militer superior yang arogan. Tetapi di bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz, yaitu Van Daalen, baru terjadi perubahan.
Selama
‘ekspedisi’nya ke pedalaman Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh.
Van Daalen dan pasukannya memerintahkan agar apa yang mereka lakukan
diabadikan melalui foto, dengan penuh kebanggaan, yaitu tumpukan mayat
dengan seorang anak lelaki yang kebetulan selamat dari huru-hara itu
disampingnya.
Para
pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara anonim
kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para anggota
Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik bahwa
’Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah
pembunuhan’. Koran Het Volk menulis pada tanggal 17 Juli 1904
‘sebuah negara yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya
menyanjung seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah’.
Maka
dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang beradab
yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan mengembalikan
ketenangan serta menegakkan peraturan, menjadi negara Belanda yang
berkhianat, tidak dapat dipercaya, terbius oleh opium dan seks. Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para pembunuh massal.
Sejak
tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah
kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara
singkat, contohnya ’setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun
maka Aceh berhasil dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh’. Pada
tahun 1990-an ditulis demikian ’hingga tahun 1900 orang Belanda hanya
ingin mencari untung di Indonesia.
Lalu
pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana
banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan
perang. Orang Aceh melakukan perlawanan’ (yang benar adalah orang Aceh
yang pecinta kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala
kekuatan mereka menolak agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan
melakukan perlawanan- Red).
Ketika
akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal itu bukan menyerah seperti
yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka ’mencuri’ waktu untuk kelak
bersama-sama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari Kutaraja
sesaat sebelum Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942. Sebagaimana
yang dicatat sejarah.
Pameran Van heldendaad tot schandvlek – het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes (Dari
tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan - Penjajahan Belanda di
masa lalu dalam buku sejarah) di Museum Pendidikan Nasional di
Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi dari skripsi doktoral Lucia
Hogervorst. Pameran yang sama pada tahun 2006 digelar di Museum Bronbeek
di Arnhem dengan menggunakan judul Het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes(Pejajahan Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).
Judul Van heldendaad tot schandvlek (Dari
tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan) tampaknya tidak dapat
diterima di Arnhem karena dianggap terlalu peka untuk para pejuang
Bronbeek. Kepekaan yang sama juga tercermin melalui komentar-komentar
pers tentang pameran di Rotterdam seperti dalam koran NRC dan Nederlands Dagblad yang berkiblat Protestan.
Bagaimana
di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia Kedua
dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya
kolonialisme Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang
sengit selama bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004,
sebuah tragedi di luar batas kemanusiaan.
Tetapi
Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari
bencana itu. Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan (20). Contoh yang
menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat
bercerita tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan
penjajah Belanda yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang
Aceh yang beragama Islam. Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan
jiwa perjuangan rakyat Aceh.
Hikayat
menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan orang
Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak
beragama maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka.
Pembunuhan dan kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka,
Islam, akan diancam oleh penjajah. Adat istiadat mereka juga akan
dilarang. Belum lagi persoalan perilaku para serdadu Belanda yang tidak
bermoral, pemerkosaan dan lain-lain.
Setiap
orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian harus
berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan Belanda
adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak
berpartisipasi maka hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur
melawan Belanda mendapat pahala jauh lebih besar daripada seribu hari
naik haji di Mekah. Jihad adalah cara kematian yang terindah. Karena
setiap orang ikut bertempur maka sulit untuk memisahkan para pejuang
dengan yang bukan pejuang.
Tetapi
ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun
menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh
menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang
Belanda pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika
Aceh menyerahkan diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami
sebelumnya bahwa mereka juga rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya
merupakan taktik untuk membenahi kekuatan. (bersambung)
Perang Aceh
Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)
Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.
Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.
O, vrienden, er is geen enkele goede daad,
Die het oorlogvoeren overtreft.
De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,
Begrijpt dat goed, o broeders!
Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang
(dagelijks 5x bidden-Red),
Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.
Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli
Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku
Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,
Yang melebihi perjuangan dalam peperangan
Perang jihad adalah kewajibanmu
Pahamilah hal itu, o saudaraku!
Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,
Ketiga berperang melawan Belanda.
Sementara Teuku Ibrahim Lamnga
bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya Dien, menyanyikan lagu
pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)
Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,
Je vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,De Christenhonden willen ons land bezetten,Zij willen onze godsdienst inruilen coor hun godsdienst, De godsdienst van de christenhonden.Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,Verdedig onze godsdienst, de Islamitische godsdienst. O, mijn zoon, volg de voetsporen van je vader,Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis is.Denk maar niet dat je vader met z’n vrienden op stap isOm de komst van de Christenhonden te vieren,Hij is op weg om hen te verjagen uit het land Atjeh.
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,
Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara kita,Mereka ingin menukar agama kita dengan agama mereka,Agama para anjing Kristen.Belalah hak rakyat Aceh,Belalah agama kita, agama Islam.O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,Teuku Ibrahim Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan temannya,Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen, Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah Aceh.
Sampai sekarang hikayat masih
tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit versi kartun kisah
hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang para ibu juga
masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi mereka.
Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar kelak harus
membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi: (23)
Tiada Tuhan selain Allah
Rasul telah berpulang
Kembali ke pangkuan Allah
Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita
Do idi ku doda idang
Tali layang-layang di udara telah putus
Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang
Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.
Apakah Perang Aceh yang di Aceh
disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda masih diingat? Mehmet Ozay
membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih dari 25 murid
sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24). Bagaimana mereka
mengenang Perang Aceh?
”Jakarta” tidak pernah mempunyai
perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi memusatkan perhatian hanya
pada sejarah Jawa dan hanya mengakui pahlawan-pahlawan nasional yang di
dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut Nya Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh
merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak diperkenankan untuk
menjadi patriot Aceh.
Oleh sebab itu seberapa jauh
pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda diberikan di sekolah di Aceh
sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak penandatanganan Kesepakatan
Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun 2005 maka ketertarikan secara
terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda semakin meningkat.
Para kakek tanpa rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan
mereka kepada cucu-cucu. Para pengajar sekolah dasar dan sekolah
menengah menceritakan dalam pelajaran sejarah bagaimana rakyat Aceh
dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hanya dengan bersenjatakan
bambu, rencong dan klewang.
Di sekolah menengah atas, tugas
mata pelajaran Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia merujuk pada
perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah
diperbandingkan visi para sejarawan Aceh dengan visi para sejarawan
Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Köhler pada Perang Aceh Pertama
tahun 1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat
Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer untuk dibahas.
Dan bagaimana Teuku Umar
mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada dalam urutan teratas
pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal Belanda bernama
Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh sebagai pengkhianat.
Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid dan mahasiswa Aceh
juga mengenal para pahlawan mereka.
Mereka telah melihat pameran
foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan mereka juga mengenal
Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam Belanda Kerkhof
di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di Aceh tempat bersemayam
sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang ringan.
Di makam ini mereka juga melihat
nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa
kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba orang Indonesia antara
satu dengan lainnya. Sementara Jawa sudah beberapa ratus tahun menjadi
jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun berperang sebenarnya belum
benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.
Hal ini sampai sekarang masih
diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh kebanggaan. Pastilah bukan
tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang Penjajahan Belanda
yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang lalu di samping tragedi
tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar tentang perang
tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto
besar-besaran pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam
tahap persiapan.
Perang
Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi memang sudah selayaknya
mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di Belanda. Kedua subyek
sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan dalam otak
generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan beberapa
dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak ada
tempat lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang
berlangsung selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit,
sangat sedikit perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang
sangat berarti ini dalam sejarah kita.
Akibatnya
adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal ini
diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita
tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang
Aceh. Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh
letaknya dan dengan demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara
massal dari negara kita.
Begitu
banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua namun monumen Perang Aceh
sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada
kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku
untuk diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu
jika mereka mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita
merampas kemerdekaan orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan
sendirinya segera menerapkan standar keadilan yang berbeda atau kita
mengalihkan perhatian ke arah lain.
Untungnya
hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan akan
terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk
memperingati Hari Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan
hanya memikirkan tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua
orang di seluruh dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa
lalu jika boleh saya tambahkan).
Bicara
tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di Amsterdam.
Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van
Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen tersebut diganti menjadi Monumen Indïe-Nederland (Indonesia-Belanda)
dan berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang hubungan antara
Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.
Tetapi
monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu
masih bernama Monumen Van Heutsz, nyaris tidak seorang pun yang tahu
bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan
militer di Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh
dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat
tentang hal ini).
Jadi
ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau lima
Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang
berbeda. Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk
memperingati Perang Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873
dan berakhir dengan perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya
Belanda dari Aceh tahun 1942. Sebuah monumen tentang agresi dan
pendudukan Belanda serta pembebasan Aceh.
Sebuah
monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban Belanda dan
Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah juga
harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif.
Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan
kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang
menarik tentang Perang Aceh yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah
dan rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu
sebagaimana aslinya.
Otentik.
Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu KNIL
asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan
anak-anak. Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang
diromantisasi ala Filipina sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan
Perang Aceh harus dihidupkan kembali. Untungnya pada tahun 2009 het Indisch Herinneringscentrum (Lembaga
untuk memperingati sejarah tentang Indonesia) atau disebut juga IHCB di
Bronbeek dibuka. Pertengahan Agustus 2010 akan diselenggarakan pameran
berjudul Het verhaal van Indië (Kisah tentang Indonesia) di Bronbeek.

Artinya
setelah esai ini selesai ditulis. Apakah IHCB menampilkan kisah Perang
Aceh dengan baik dan pameran tersebut berhasil, saya tidak dapat
menjawabnya saat ini, tetapi saya harap akan demikian. Maka cukup banyak
hal besar yang masih bisa dilakukan. Salah satunya tentu saja masih
harus kita tunggu bagaimana seorang ilmuwan NIOD (Lembaga Dokumentasi
Perang Belanda) bernama Elly Touwen-Nouwsma (26) yang mencintai ’kebaikan KNIL’ (dan para pahlawannya) (27) menyebut
monumen KNIL, sebuah patung dada Van Heutsz dari perunggu, sebuah
bangku dengan plakat bertuliskan Jendral van der Heijden (atau Kareltje Eénoog)
dan patung tentang Perang Aceh di Taman Bronbeek untuk menggambarkan
’bagaimana seorang Aceh diancam akan dibunuh oleh seorang prajurit KNIL
(yang heroik-Red)’.
Jika
Elly-Touwen-Bouwsma merasa gelisah, maka saya ingin menenangkan
beliau. Patung yang sebaliknya juga ada. Patung penembak kanon Belanda
yang gagah berani namun tidak terkenal yang pada peperangan di Mesjid
Raya di Kutaraja digorok lehernya (oleh seorang pejuang Aceh) hingga
jatuh dari tangga dan tewas di tangan teman-temannya (28). Tidak
ada yang menentang sanjungan setinggi langit terhadap para jendral
Belanda dan para serdadu mereka yang heroik dan berusaha menciptakan
ketentraman dan kedamaian, juga tidak ada yang menentang Monumen Van
Heutsz yang bombastis di Amsterdam, yang diresmikan dengan penuh
keartistikan.
Jika saja di seberang bekas Monumen Van Heutsz ke arah Amsterdams Lyceum (Sekolah Menengah Amsterdam)
di Valeriusplein sebuah tempat disediakan untuk sebuah monumen yang
mencerminkan harapan, misalnya patung seorang anak lelaki Aceh yang
duduk di bawah kerindangan bambu sebagai satu-satunya orang yang selamat
ketika pembantaian terjadi di kampungnya di Kuto Rèh tahun 1904.
Disebelahnya
patung seorang serdadu KNIL yang besar dan tinggi sebagai latar
belakang, mendongak, yaitu komandan KNIL Van Daalen yang memandang
rendah pribumi. Terinspirasi oleh foto saat itu yang terkenal (29). Amsterdam, masyarakat Amsterdam, Belanda, niatkanlah bahwa patung tentang harapan itu akan dibangun. Siapa yang menyelamatkan seorang anak lelaki Aceh, maka menyelamatkan juga seluruh Aceh (30).
Kita
juga seharusnya bersikap jelas dan tidak terlambat menyadari bahwa kita
masih bisa belajar banyak dari Perang Aceh. Belajar untuk tidak
tergesa-gesa dan melakukan persiapan yang baik sebelum memulai perang.
Belajar untuk memeriksa kebenaran dari berita yang kita terima (Irak
hingga Aceh!) Ancaman yang muncul tidak harus selalu diselesaikan
melalui perang (Aceh yang di seberang lautan hingga bajak laut Somalia).
Bahwa
orang lain juga mempunyai hak kemerdekaan yang sama dengan kita. Bahwa
kita, orang Belanda, menggunakan standar keadilan ganda dalam usaha
untuk menguasai dan menjajah bangsa lain sebagaimana halnya musuh dan
lawan-lawan kita (Belanda melawan Aceh tahun 1873 hingga Nazi-Jerman
melawan Belanda tahun 1940)-(31). Dan sejak serangan Belanda ke
Aceh tahun 1873, terutama sejak tahun 1890-an ketika Snouck Hurgronje
dan muridnya yang militer yaitu Van Heutsz terlibat maka semakin jelas
bagi pihak Belanda bahwa bertempur dan meraih kemenangan di Aceh adalah
sesuatu yang khusus, lebih daripada menyerang musuh di lapangan terbuka.
Usaha
lebih diarahkan untuk bagaimana caranya mendapat dukungan dari
masyarakat lokal, pegawai pemerintah dan para pemimpin spiritual. Untuk
mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh. Untuk diakui bahwa mereka
telah melindungi masyarakat setempat. Untuk membantu tugas-tugas
kepemerintahan. Untuk membangun jembatan dan jalan-jalan, untuk
memperbaiki kampung-kampung, untuk membantu para petani, membangun
mesjid dan ruang-ruang pertemuan masyarakat.
Setelah
Irak dan Afghanistan kini Departemen Pertahanan Belanda mengeluarkan
buku panduan doktrin baru yang diterbitkan dengan penuh kebanggaan,
padahal pelajaran berharga yang sama sudah lama ada. Pengalaman 70 tahun
Perang Aceh tidak berarti apa-apa bagi Departemen Pertahanan.
Sekarang akhir ’Periode Pemerintahan Beatrix’ semakin mendekat, maka saya ingin menyerukan hal ini pada Sang Ratu: Ratu,
akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat
Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada
tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian
dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya
untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf
sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam. Ingatan akan Perang Aceh sama sekali belum mati.
***
(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)
Penulis
adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik
Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo,
Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen
uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.