Banda
Aceh - Penolakan terhadap revisi Undang-undang nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh terus bergulir. Aksi penolakan itu tidak hanya
dilakukan oleh mahasiswa atau elemen sipil bahkan masyarakat mulai
pedagang keliling, pedagang ikan, tukang parkir, pelaku umkm kreatif
hingga tukang becak pun menyatakan menolak perubahan perubahan
undang-undang kekhususan Aceh itu denga aksi memakai baju bertuliskan
#tolak revisi UUPA, Kamis 14 April 2023.
Tak
sebatas kalangan muda, emak-emak, hingga orang tua juga memakai kaos
#tolak revisi UUPA sebagai bentuk protesnya. Kaos itu terlihat banyak di
pakai masyarakat mulai di kawasan depan mesjid raya, pasar peunayong,
Ulee Kareng, bahkan di Rukoh Darussalam hingga beberapa terlihat di
kawasan Cadek Permai Aceh Besar.
#Tolak Revisi UUPA. UUPA = Ujung-ujungnya Penget Aceh," demikian tulisan pada bagian depan kaos tersebut.
Selain
itu, penolakan melalui kaos yang di pakai masyarakat itu juga
bertuliskan "Tolak"Draft Revisi UUPA Karena Hanya Menguntungkan Kelompok
Tertentu".
Bahkan masyarakat kecil di Aceh juga memakai baju dengan pesan :
"Tolak'Draft Revisi UUPA Karena Tidak Berpihak Kepada Korban Konflik dan Rakyat Kecil"
Tak
hanya sampai disitu, masyarakat pun dengan lantang melalui bajunya
menantang dewan untuk melakukan uji publik terhadap draft revisi UUPA.
Sebagaimana terlihat pedagang asongan dan pedagang ikan di pusat kota
Banda Aceh memakai baju dengan tulisan : "Kalau Berani Dewan Uji Publik
Donk Draft Revisi UUPA, Jangan Seperti Jual Kucing Dalam Karung".
Sebagaimana
diketahui, sebelumnya penolakan dari berbagai elemen terkait perubahan
UUPA terjadi dikarenakan banyaknya kejanggalan dalam draft revisi
tersebut.
Koordinator
Kaukus Peduli Aceh (KPA) Muhammad Kuba dalam pernyataannya menyatakan
bahwa revisi UUPA terkesan hanya untuk memuluskan qanun bendera dan
lambang Aceh serta memaksimalkan kewenangan DPRA sehingga terkesan
berlebihan.
Bahkan
Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi(ALAMP AKSI) menyorot terkait
begitu tertutupnya persoalan revisi UUPA ini ke Publik, padahal DPRA
sudah ada alokasi 9,4 Milyar Rupiah untuk Sosialisasi Draft Revisi UUPA
tersebut, namun draft itu justru tak pernah ditayangkan di media.
Berikutnya,
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, SH menyorot soal
frasa "sesuai ketentuan 1 Juli 1956" yang ditambah dalam revisi UUPA
pasal 3 tentang Batas Wilayah Aceh. Pasalnya, 'ketentuan 1 Juli 1956'
disinyalir tidak memiliki peta batas Aceh yang dapat
dipertanggungjawabkan.
"Kami
sudah surati Lembaga Wali Nanggroe, DPRA melalui Partai Aceh, BPN,
Kementrian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, dan mempertanyakan dimana
peta 1 Juli 1956, tidak ada yang punya. Kalau tidak ada yang punya,
bagaimana kita bisa sepakati batas Aceh itu. Gak ada peta nya," ujar
Safaruddin di media, Kamis, 23 Maret 2023 lalu.
Sementara
itu, Gerakan Mahasiswa Aceh Semesta (GeMAS) meminta agar draft revisi
UUPA dilakukan uji publik terlebih dahulu agar tidak terkesan abal-abal.
“Sejauh
ini DPRA hanya melakukan sosialisasi draft tersebut kepada DPRK-DPRK di
Aceh, sehingga sangat wajar perubahan yang terjadi pada draft UUPA itu
hanyalah untuk mengakomodir kepentingan dewan belaka dan bahkan
kejanggalan-kejanggalan masih banyak ditemukan. Untuk itu, kita minta
sebelum draft UUPA diajukan ke DPR RI/pemerintah pusat terlebih dahulu
dilakukan uji publik agar tidak mempermalukan Aceh nantinya,”kata
Koordinator Gerakan Muda Aceh Sepakat (GeMAS) kepada media, Sabtu
(25/3/2023).
Ikhwan memaparkan,
salah satu poin yang terlihat sangat janggal pada draft revisi UUPA
dapat dilihat dari Bab II Pembagian Daerah Aceh dan Kawasan Khusus Pada
Pasal 2 dimana ayat (3) kecamatan dibagi atas mukim yang sebelumnya
terdapat pada UUPA dihapus pada draft revisi UUPA. Kemudian pada ayat 2
ayat (2) draft revisi UUPA tersebut langsung dibuat bahwa Kabupaten
dibagi atas mukim.
“Hal
ini menegaskan tidak ada lagi kecamatan dalam pembagian wilayah di
Aceh, jadi ke depan jika draft ini dipaksakan disahkan maka dari tingkat
kabupaten langsung ke mukim, tidak adalagi yang namanya kecamatan atau
camat,” ujarnya.
Ironisnya
lagi, kata Ikhwan, setelah kecamatan dihapus pada pasal 2 ayat (3)
tersebut, selanjutnya pada draft revisi UUPA itu bab XIV tentang
perangkat daerah Aceh dan pasal 100 ayat (2) kembali disebutkan
kecamatan. Kemudian pada pasal 112 juga dijelaskan persoalan kecamatan
yang dipimpin oleh camat hingga adanya pemilihan camat secara
demokratis.
Sementara
itu, mantan Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Teuku
Abdul Hafil Fuddin, S.H., S.I.P., M.H menyampaikan, saat ini UUPA tidak
perlu dilakukan revisi melainkan mempertegas implementasi dari setiap
pasal dalam UUPA yang belum dibuat. "Ada beberapa qanun dan Peraturan
Pemerintah (PP) yang masih belum selesai," kata jenderal bintang dua
kelahiran Aceh itu ke media 28 Maret 2023 lalu.
Dia
mengatakan, harus belajar dari revisi UU Nomor 21 tentang otsus Papua.
Dikatakan, brlajar dari papua UU Otsus Papua tidak direvisi. tapi dana
otsusnya yang perlu diperpanjang. Hal itu sah-sah saja dapat dilakukan
melalui inpres perubahan UU Otsus papua karena adanya pembentukan
provinsi baru.
"Jadi, menurut saya
UUPA tidak perlu direvisi tapi perpanjangan dana otsus dapat dilakukan
dengan inpres, makanya perlu tim yang kuat untuk melakukan negosiasi
dengan pemerintah pusat," tutupnya.[Rilis]