Ada Jenius Jahat Biang Kerok Harga Terra LUNA Anjlok 98%?
StatusAceh.Net - Minggu yang menegangkan bagi mereka yang memiliki Bitcoin dan cryptocurrency lainnya, sebab miliaran dolar hilang dalam sekejap dari nilai aset mereka.
Bitcoin yang sering disebut-sebut sebagai "emas digital", anjlok di bawah US$25.500 minggu ini - jauh dari rekor harga US$ 69.000 yang tercatat pada bulan November. Pasar aset kripto yang lebih luas, nilainya telah turun lebih dari 50 persen sejak saat itu.
Akhir-akhir ini, pelaku pasar ramai-ramai membuang aset spekulatif dan berisiko mereka seperti aset kripto, saham teknologi, dan saham di perusahaan yang masih dalam fase pertumbuhan, dan belum bisa menghasilkan dividen.
Semua terjadi ketika Federal Reserve AS dan bank sentral secara global, menaikkan suku bunga secara agresif. Selain itu, mereka menghapus stimulus Covid-19 senilai triliunan dolar, dalam upaya untuk menahan inflasi yang mencapai level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.
Terlepas dari faktor ekonomi, dari gambaran besar itu, analis mengatakan jatuhnya stablecoin Terra (UST) dan efeknya yang merembet ke mana-mana adalah alasan utama di balik aksi jual cryptocurrency minggu ini.
Stablecoin seperti UST, Tether, dan USDC bisa diibaratkan sebagai rekening bank untuk ekosistem kripto, dan nilainya biasanya dipatok ke mata uang fiat seperti dolar AS.
Secara teori, mereka didesain untuk memiliki nilai tetap (sekitar US$1) sehingga mereka dapat menjadi penyimpan nilai yang andal, berbeda dengan volatilitas ekstrem aset kripto lain seperti Bitcoin, Ether, dan lainnya.
Terra adalah salah satu mata uang digital yang paling berharga dan stabil di dunia. Namun, pada hari Selasa (10/5), aksi jual besar-besaran terjadi karena nilai stablecoin Terra tiba-tiba terlepas dari nilai patokannya terhadap dolar AS.
Nilainya anjlok dari US$1 menjadi 60 sen AS dalam sehari. Kemudian, jatuh lagi pada hari selanjutnya yang membawa nilainya turun menjadi 20 sen AS.
Fenomena ini bisa dibilang sebagai krisis perbankan (bank run) di ekosistem cryptocurrencey, yaitu orang berebut adu cepat menarik uang mereka dari aset kripto.
Sebagian besar stablecoin didukung oleh cadangan modal berbentuk uang tunai. Mereka seharusnya memiliki aset likuid yang cukup untuk mengimbangi nilai setiap koin.
Namun, Terra adalah stablecoin yang dipatok menggunakan algoritme, nilai tukarnya didukung oleh token "saudara perempuan", sister token yang disebut LUNA. Mereka beroperasi di platform kontrak pintar yang telah diprogram terlebih dahulu.
Ketika nilai Terra merosot lebih rendah dari US$1, token tersebut dapat ditukar dengan token LUNA dengan profit marginal. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga nilai keduanya agar tetap stabil.
Biang Keroknya Jenius Jahat atau Investor Kakap?
Pada dasarnya, mekanisme yang berlaku seperti mencetak uang dari udara. Dengan mengandalkan serangkaian "kontrak pintar" yang kompleks - sistem ini memastikan nilai setiap token UST tetap sedekat mungkin dengan US$1.
Namun, permasalahan muncul saat algoritme tersebut gagal.
Entah apa penyebabnya, nilai LUNA amblas berbarengan dengan UST, dalam apa yang digambarkan oleh para analis sebagai lingkaran kematian (death spiral). Pada dasarnya, kecepatan investor yang bergegas untuk melikuidasi aset digital tidak bisa diimbangi oleh algoritme yang seharusnya memastikan Terra tetap stabil.
Harga token LUNA anjlok dari sekitar US$86 pada awal minggu ini, menjadi hanya 6 sen AS pada hari Kamis (12/5).
Investor menderita kerugian seperti belum pernah terjadi sebelumnya karena nilai pasar Luna anjlok dari US$40 miliar menjadi sekitar US$500 juta, yang menyebabkan aksi jual dan krisis kepercayaan di pasar cryptocurrency yang lebih luas.
Tidak ada yang tahu siapa yang menyebabkan harga Terra dan LUNA jatuh. Tapi banyak warganet yang menyalahkan perusahaan investasi kakap asal Amerika Serikat karena nilai perdagangan yang skala jumbo. Dua perusahaan, Citadel Securities dan BlackRock, telah mengeluarkan pernyataan yang menyangkal keterlibatan mereka dalam jatuhnya nilai Terra.
"Kami tidak tahu apakah momentum itu diciptakan oleh kolusi [antara hedge fund]," terang Lisa Wade, CEO perusahaan blockchain DigitalX, dikutip dari The Business ABC.
"Ahli teori konspirasi akan mengatakan 'ya', karena ini adalah perdagangan besar-besaran. Maksud saya, sepanjang karier saya, ini adalah salah satu transaksi terbesar yang pernah saya lihat," imbuhnya.
Ini, kata dia, hampir seperti sebuah kejadian yang direncanakan oleh jenius jahat (evil genius), karena untuk merealisasikannya butuh banyak proses.
Wade mengatakan, sebagai bagian dari plot kompleks ini, pelaku tampaknya telah membeli stablecoin UST senilai sekitar $1 miliar, sambil mengambil posisi short di pasar Bitcoin. Posisi short adalah strategi perdagangan yang berisiko untuk, dengan bertaruh harga aset akan jatuh - bukannya naik.
Apa yang mereka lakukan selanjutnya adalah mereka akan mencari momentum yang tepat.
"Jadi jelas kita berada dalam tahap risk-off pasar yang sangat fluktuatif - karena apa semua yang terjadi dengan Fed [AS] dan lingkungan makro. Mereka menunggu sampai Sabtu malam ketika volume [perdagangan] sangat rendah, dan tidak ada tawaran," kata Wade.
Kemudian, mereka masuk ke pasar dan mulai menjual UST dalam volume besar, yang kemudian memicu rentetan aksi jual di pasar volume rendah hingga Terra terjungkir dari nilai patoknya terhadap dolar AS.
"Di dalam algoritme itulah yang diidentifikasi oleh tim kami sebagai 'spiral kematian' , aksi jual seperti menyuapi dirinya sendiri dalam mekanisme algoritme."
Wade menjelaskan bahwa dalam spiral kematian ini, algoritme yang seharusnya menstabilkan Terra dan LUNA justru memicu aksi jual di pasar kripto lain, karena algoritme tersebut menjual Bitcoin dan Avalnche dalam jumlah yang besar. Dampaknya, pemegang kedua aset kripto tersebut ikut berebut melikuidasi aset mereka.
"LUNA terpengaruh karena token ini adalah underlying dari UST. Setiap UST dibeli, keping Luna dibakar. Artinya suplai Luna menyusut, dan harganya naik. Sebaliknya terjadi ketika ada penjualan. Setiap seorang menjual UST, mereka mencetak token LUNA, artinya suplai bertambah," papar Wade.
Permasalahannya, ketika tidak ada pembeli dan harga terus merosot, sistem tersebut justru menghancurkan diri sendiri karena investor menjadi panik dan mengobral Luna. [CNBCIndonesia]