Mariati (45) dan cucunya Rizma (3) di rumah mereka di Desa Asan Krueng Kreh, Kec. Pirak Timu, Aceh Utara. Foto: Cut Islamanda |
Sejak lahir sampai hari ini, penghuni rumah kayu ini cuma diterangi lampu teplok. Berharap datangnya rumah bantuan, justru diberikan ke orang mampu.
Oleh Cut Islamanda
Rizma (3) digendong pamannya Zulkifli (18) di rumah panggung berkonstruksi kayu yang mulai lapuk. Balita itu ditinggal ibunya saat melahirkannya. Ayahnya lantas menikahi perempuan lain dan mengabaikannya.
Di rumah orangtua Zulkifli, Abd Wahab (58) dan Mariati (45), itu Rizma memulai kehidupannya dalam kegelapan. Ia cukup beruntung memiliki nenek dan kakek yang tegar, seperti terlihat saat disambangi Pikiran Merdeka, Kamis, 17 Maret 2016.
Mereka tercatat sebagai warga Gampong Asan Krueng Kreh, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara. Hingga kini masih masih menempati rumah panggung hasil swadaya masyarakat yang dibangun enam tahun lalu, di tanah warisan orangtuanya.
Keluarga Mariati belum pernah merasakan terangnya sinar bola lampu, sejak masa ibunya dulu. Di malam hari, hanya mengandalkan penerangan cahaya temaram dari lampu teplok. Sebab tak punya uang untuk pasang arus listrik.
Karena tiada listrik, ia pakai batu giling untuk meracik bumbu masak. Sementara untuk perapian, ia gunakan kayu bakar dari ranting tua dan kayu lapuk yang dicari di belakang rumah.
“Sehari-hari saya ke sawah sendiri yang berukuran kecil dengan hasil panen sering tidak produktif. Suami saya hanya pergi ke ladang. Ia juga mulai sakit rematik dan sedikit susah mendengar,” ujar Mariati.
Anak lelakinya, Zulkifli, terkadang bekerja serabutan untuk membantu biaya makan sehari-hari. Andai masih bersekolah, saat ini putranya sudah mau tamat SMA. Sayangnya, ia putus sekolah saat kelas 2 SMP karena tidak punya biaya.
“Sekarang ini bisa makan saja sudah alhamdulillah. Apalagi ada cucu saya yang masih sangat kecil,” ucapnya.
Dia bersyukur meski harus tinggal di rumah yang kondisinya tak layak huni. Sebelumnya, rumah warisan orangtuanya lebih reot hingga roboh suatu kali, sampai kemudian dibangun rumah baru oleh masyarakat Asan Krueng Kreh.
Menurut Mariati, saat belum roboh, rumah lamanya sering difoto untuk memudahkan dapat bantuan, kata tukang foto itu. Demikian juga ketika sudah berganti rumah, beberapa kali difoto. Tapi bantuan tak kunjung tiba.
“Di sini cukup banyak warga yang dapat rumah bantuan. Meski kondisi rumah mereka tidak separah rumah saya. Tapi saya belum dapat juga. Mau bagaimana lagi, sudah begini adanya,” ujarnya.
Bantuan pemerintah yang diterima keluarga Mariati hanya beras miskin. Bantuan Langsung Tunai (BLT) pernah sekali seja diperolehnya. Setelah itu, ia hanya mendengar adanya pembagian BLT, tapi tak pernah datang ke rumah mereka.
Rumah Bantuan Tak Dihuni
Ironisnya, tepat di seberang jalan rumah Mariati, terlihat satu unit rumah bantuan yang tak berpenghuni. Menurut warga setempat, pemiliknya telah merantau ke Malaysia.
“Dari awal dibangun, rumah itu memang tidak ada yang tempati. Kosong begitu saja. Hanya sesekali ada keluarganya yang datang di malam hari. Sayang ya, di sini ada yang lebih butuh, kenapa ke sana yang diberikan bantuan,” ujar seorang warga Asan Krueng Kreh, yang enggan ditulis namanya.
Geuchik Gampong Asan Krueng Kreh, Abdul Aziz, mengatakan, ruman bantuan yang tak dihuni itu dibangun pada 2014, saat ia masih belum jadi kepala desa. Pemiliknya sudah merantau ke Malaysia.
“Itulah, siapa yang punya koneksi, dialah yang dapat,” ucapnya, Sabtu, 19 Maret 2016, secara terpisah via telepon seluler.
Padahal menurut Abdul Aziz, pasangan Abd Wahab dan Mariati merupakan keluarga paling miskin di Gampong Asan Krueng Kreh yang justru sangat layak mendapat bantuan rumah dari pemerintah.
“Di desa ini memang masih ada keluarga miskin lain, tapi tidak separah kondisi keluarga Mariati. Rumah mereka hasil swadaya yang dibangun secara gotong-royong. Sejak dulu hingga sekarang listrik saja tidak punya. Malam hari hanya gunakan lampu teplok,” ucapnya.
Sudah beberapa kali proposal permohonan rumah bantuan untuk keluarga Mariati diajukan pihak gampong, tapi tak kunjung ada tanggapan. Sebagai geuchik baru, ia berencana mengajukan kembali proposal tahun ini.
Terkait kondisi keluarga Mariati, pihak Koramil Pirak Timu juga telah mengajukan permohonan agar keluarga Mariati mendapatkan bantuan. “Semoga saja cepat ada tanggapan,” harap Abdul Aziz.
Camat Pirak Timu, H Tarmizi meyebutkan, kondisi rumah miskin bukan hanya terdapat di Gampong Asan Krueng Kreh, tapi juga di Gampong Ulee Blang dan desa lainnya di Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara.
Ia menerangkan, selama ini bantuan rumah kepada masyarakat tidak diajukan dan disalurkan melalui camat. Melainkan diberikan langsung kepada penerima karena bersumber dari dana aspirasi dewan.
“Tiba-tiba sudah keluar nama penerima. Jikapun ada rumah bantuan yang diberikan, itu sudah ada nama penerimanya tanpa mereka ketahui dasarnya dari mana,” ujarnya.
Terkait rumah bantuan yang tidak ditempati di Asan Krueng Kreh, ia akan turun ke lokasi pada Senin (21 Maret 2016) untuk mencari tahun pemiliknya, sekalian mengunjungi keluarga Mariati.
Menurut H Tarmizi, Pemkab Aceh Utara hanya mengalokasikan dua rumah bantuan untuk Kecamatan Pirak Timu pada 2016, satu untuk Gampong Paya Lueng Jaloe dan satu untuk desa lainnya.
“Saya sudah lihat daftar itu dari buku kegiatan 2016. Cuma ada dua rumah bantuan dari kabupaten, dari provinsi sepertinya belum ada,” tutup Camat Pirak Timu.[]
Diterbitkan Rubrik NANGGROE Tabloid Pikiran Merdeka edisi 116 (21 – 27 Maret 2016)
Rizma (3) digendong pamannya Zulkifli (18) di rumah panggung berkonstruksi kayu yang mulai lapuk. Balita itu ditinggal ibunya saat melahirkannya. Ayahnya lantas menikahi perempuan lain dan mengabaikannya.
Di rumah orangtua Zulkifli, Abd Wahab (58) dan Mariati (45), itu Rizma memulai kehidupannya dalam kegelapan. Ia cukup beruntung memiliki nenek dan kakek yang tegar, seperti terlihat saat disambangi Pikiran Merdeka, Kamis, 17 Maret 2016.
Mereka tercatat sebagai warga Gampong Asan Krueng Kreh, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara. Hingga kini masih masih menempati rumah panggung hasil swadaya masyarakat yang dibangun enam tahun lalu, di tanah warisan orangtuanya.
Keluarga Mariati belum pernah merasakan terangnya sinar bola lampu, sejak masa ibunya dulu. Di malam hari, hanya mengandalkan penerangan cahaya temaram dari lampu teplok. Sebab tak punya uang untuk pasang arus listrik.
Karena tiada listrik, ia pakai batu giling untuk meracik bumbu masak. Sementara untuk perapian, ia gunakan kayu bakar dari ranting tua dan kayu lapuk yang dicari di belakang rumah.
“Sehari-hari saya ke sawah sendiri yang berukuran kecil dengan hasil panen sering tidak produktif. Suami saya hanya pergi ke ladang. Ia juga mulai sakit rematik dan sedikit susah mendengar,” ujar Mariati.
Anak lelakinya, Zulkifli, terkadang bekerja serabutan untuk membantu biaya makan sehari-hari. Andai masih bersekolah, saat ini putranya sudah mau tamat SMA. Sayangnya, ia putus sekolah saat kelas 2 SMP karena tidak punya biaya.
“Sekarang ini bisa makan saja sudah alhamdulillah. Apalagi ada cucu saya yang masih sangat kecil,” ucapnya.
Dia bersyukur meski harus tinggal di rumah yang kondisinya tak layak huni. Sebelumnya, rumah warisan orangtuanya lebih reot hingga roboh suatu kali, sampai kemudian dibangun rumah baru oleh masyarakat Asan Krueng Kreh.
Menurut Mariati, saat belum roboh, rumah lamanya sering difoto untuk memudahkan dapat bantuan, kata tukang foto itu. Demikian juga ketika sudah berganti rumah, beberapa kali difoto. Tapi bantuan tak kunjung tiba.
“Di sini cukup banyak warga yang dapat rumah bantuan. Meski kondisi rumah mereka tidak separah rumah saya. Tapi saya belum dapat juga. Mau bagaimana lagi, sudah begini adanya,” ujarnya.
Bantuan pemerintah yang diterima keluarga Mariati hanya beras miskin. Bantuan Langsung Tunai (BLT) pernah sekali seja diperolehnya. Setelah itu, ia hanya mendengar adanya pembagian BLT, tapi tak pernah datang ke rumah mereka.
Rumah Bantuan Tak Dihuni
Mariati (45) dan cucunya Rizma (3) di rumah mereka di Desa Asan Krueng Kreh, Kec. Pirak Timu, Aceh Utara. Foto: Cut Islamanda |
“Dari awal dibangun, rumah itu memang tidak ada yang tempati. Kosong begitu saja. Hanya sesekali ada keluarganya yang datang di malam hari. Sayang ya, di sini ada yang lebih butuh, kenapa ke sana yang diberikan bantuan,” ujar seorang warga Asan Krueng Kreh, yang enggan ditulis namanya.
Geuchik Gampong Asan Krueng Kreh, Abdul Aziz, mengatakan, ruman bantuan yang tak dihuni itu dibangun pada 2014, saat ia masih belum jadi kepala desa. Pemiliknya sudah merantau ke Malaysia.
“Itulah, siapa yang punya koneksi, dialah yang dapat,” ucapnya, Sabtu, 19 Maret 2016, secara terpisah via telepon seluler.
Padahal menurut Abdul Aziz, pasangan Abd Wahab dan Mariati merupakan keluarga paling miskin di Gampong Asan Krueng Kreh yang justru sangat layak mendapat bantuan rumah dari pemerintah.
“Di desa ini memang masih ada keluarga miskin lain, tapi tidak separah kondisi keluarga Mariati. Rumah mereka hasil swadaya yang dibangun secara gotong-royong. Sejak dulu hingga sekarang listrik saja tidak punya. Malam hari hanya gunakan lampu teplok,” ucapnya.
Sudah beberapa kali proposal permohonan rumah bantuan untuk keluarga Mariati diajukan pihak gampong, tapi tak kunjung ada tanggapan. Sebagai geuchik baru, ia berencana mengajukan kembali proposal tahun ini.
Terkait kondisi keluarga Mariati, pihak Koramil Pirak Timu juga telah mengajukan permohonan agar keluarga Mariati mendapatkan bantuan. “Semoga saja cepat ada tanggapan,” harap Abdul Aziz.
Camat Pirak Timu, H Tarmizi meyebutkan, kondisi rumah miskin bukan hanya terdapat di Gampong Asan Krueng Kreh, tapi juga di Gampong Ulee Blang dan desa lainnya di Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara.
Ia menerangkan, selama ini bantuan rumah kepada masyarakat tidak diajukan dan disalurkan melalui camat. Melainkan diberikan langsung kepada penerima karena bersumber dari dana aspirasi dewan.
“Tiba-tiba sudah keluar nama penerima. Jikapun ada rumah bantuan yang diberikan, itu sudah ada nama penerimanya tanpa mereka ketahui dasarnya dari mana,” ujarnya.
Terkait rumah bantuan yang tidak ditempati di Asan Krueng Kreh, ia akan turun ke lokasi pada Senin (21 Maret 2016) untuk mencari tahun pemiliknya, sekalian mengunjungi keluarga Mariati.
Menurut H Tarmizi, Pemkab Aceh Utara hanya mengalokasikan dua rumah bantuan untuk Kecamatan Pirak Timu pada 2016, satu untuk Gampong Paya Lueng Jaloe dan satu untuk desa lainnya.
“Saya sudah lihat daftar itu dari buku kegiatan 2016. Cuma ada dua rumah bantuan dari kabupaten, dari provinsi sepertinya belum ada,” tutup Camat Pirak Timu.[]
Diterbitkan Rubrik NANGGROE Tabloid Pikiran Merdeka edisi 116 (21 – 27 Maret 2016)
Sumber:pikiranmerdeka.co
loading...
Post a Comment