Banda Aceh - Pemerintah Aceh memiliki komitmen yang sangat besar dalam upaya mitigasi terhadap faktor penyebab pelepasan emisi, dari sektor penggunaan lahan yang disebabkan oleh terjadinya deforestasi maupun degradasi hutan.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Daerah Aceh, Drs Dermawan MM, dalam sambutan singkatnya yang dibacakan oleh Staff Ahli Gubernur Bidang Ekonomi dan Keuangan, Azhari Hasan SE, M Si, pada acara 'Sosialisasi Perubahan Iklim dan Langkah Tindak Lanjut Pasca COP-21 Paris', Selasa (20/7/2016).
"Komitmen untuk mengelola, menjaga dan melestarikan hutan secara konkret dapat dilihat dari kualitas dan kuantitas tutupan hutan Aceh saat ini, yang merupakan terbaik dari seluruh provinsi di pulau Sumatera," ungkap Sekda.
Untuk diketahui bersama, luas kawasan hutan Aceh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.103 Tahun 2015 adalah sekitar 3,5 juta hektar. Ini artinya atau sekitar 58,96 persen dari daratan Aceh saat ini berstatus sebagai kawasan hutan yang terbagi dalam fungsi-fungsi pengelolaan hutan, seperti kawasan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Dermawan menegaskan, untuk mengelola dan mempertahankan hutan, Pemerintah Aceh telah menempuh berbagai upaya. Salah satunya adalah dengan pembentukan unit pengelolaan di tingkat tapak dalam kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH.
Wilayah kerja KPH didasarkan kepada kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS), sebagai sebuah upaya untuk memastikan bahwa sumberdaya hutan dikelola secara terintegrasi antara wilayah hulu dan wilayah hilir secara efektif, efisien dan lestari.
“Berbagai upaya akan terus kita tempuh, karena kita menyadari bahwa melindungi dan menjaga hutan, bukan hanya menjadi tugas dan kewajiban kita semua, melainkan juga menjadi kebutuhan untuk jaminan kehidupan di masa mendatang,” ujar Dermawan.
Dalam menjalankan tugas ini, lanjut Sekda, didibutuhkan kerja keras dan komitmen semua pihak.Oleh karena itu, maka semua pihak berkewajiban dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kehidupan dunia yang harmonis, berkelanjutan dan berkeadilan.
“Kita berharap, semoga ke depan akan lebih banyak lagi pihak yang dengan penuh kesadaran mau membantu dan mendukung kita, dalam upaya mengelola dan mempertahankan hutan yang kita miliki, karena mitigasi perubahan iklim secara global bukan hanya menjadi tugas dari wilayah-wilayah yang masih memiliki hutan, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat dunia,” pungkas Dermawan.
Kementerian LHK Sosialisasikan Perubahan Iklim di 16 Provinsi
Workshop Sosialisasi Perubahan Iklim dan Langkah Tindak Lanjut Pasca COP-21 Paris, merupakan bagian dari rangkaian sosialisasi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Selain Aceh, 15 provinsi lainnya juga akan menjadi fokus dari sosialisasi yang sudah dimulai sejak bulan Juni hingga Juli 2016 nanti.
Keenambelas provinsi tersebut adalah Manokwari, Aceh, Padang, Jambi, Pekanbaru, Palembang, Pontianak, Samarinda, Palangkaraya, Palu, Jayapura, Jakarta & Banten, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya.
Agus Justianto, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, menyampaikan bahwa pertemuan ini penting untuk penyempurnaan Elaborasi INDC ke dalam NDC terutama terkait target kontribusi Indonesia dalam penurunan emisi 2020 – 2030.
Agus menambahkan, dengan adanya masukan dari daerah, dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia nantinya akan semakin dekat dengan implementasi di tingkat tapak.
Sementara itu, Efransjah, selaku Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menjelaskan, bahwa peran daerah dalam tindak lanjut Paris Agreement dan NDC adalah sinkronisasi baseline nasional dan sub-nasional, identifikasi resiko dan penanggulangannya, serta yang terpenting adalah mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam pembangunan daerah.
“Selain bertujuan untuk menyampaikan hasil-hasil penting sebagaimana disepakati dalam Paris Agreement kegiatan ini juga untuk mendapatkan masukan dari Daerah dalam menyusun Dokumen Komitmen Indonesia.NDC merupakan elemen penting dalam komitmen pasca 2020 sebagai kontribusi tiap negara pihak berupa target dalam penurunan emisi gas rumah kaca yang harus dicapai selepas 2020,” kata Efransjah.
Sebagaimana diketahui, Pertemuan Para Pihak UNFCCC ke-21 (COP-21 UNFCCC) di Paris pada 30 November – 12 Desember 2015 telah mengadopsi Paris Agreement sebagai hasil utama COP-21. Paris Agreement merupakan bentuk kesepakatan global baru yang legally binding guna penanganan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global yang akan diberlakukan mulai tahun 2020.
Kesepakatan baru tersebut bersifat applicable to all parties dengan tetap mempertahankan prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) and Respective Capabilities. Selain itu, dalam kesepakatan baru tersebut terdapat Intended Nationally Determined Contributions (INDC) sebagai elemen penting dalam komitmen pasca 2020.
Indonesia telah menyampaikan dokumen INDC pada akhir September 2015 ke UNFCCC. Dokumen INDC berisi 3 hal pokok, yaitu national circumtances, rencana-rencana aksi adaptasi dan komitmen nasional dalam penurunan emisi GRK.
Komitmen penurunan emisi GRK Indonesia dinyatakan dalam persen reduksi terhadap tingkat emisi baseline di tahun 2030 sebesar 29 persen (unconditional) dan 41 persen (conditional). Komitmen conditional dapat dicapai apabila terdapat bantuan international dalam bentuk kerjasama yang meliputi teknologi transfer, pengembangan kapasitas, bantuan teknis, pendanaan dan pembayaran terhadap performance based actions.
Bentuk dukungan international yang selama ini sudah direalisasikan dalam beberapa tahun terakhir adalah antara lain melalui program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation).
Program REDD+ ikut memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi karbon di Indonesia melalui kegiatan perhutanan sosial, pecegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), resolusi konflik, termasuk dukungan untuk melakukan reformasi hukum dan penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Sasaran peserta sosialisasi ini adalah para kepala daerah dan pimpinan dinas terkait, pihak legislatif Provinsi/Kabupaten/Kota, unsur masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan wakil perusahaan swasta. (Rill)