HMI Aceh Gelar Diskusi Publik Arah Kebijakan Ekonomi Aceh.
Banda Aceh - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh, menyelenggarakan kegiatan diskusi publik Arah Kebijakan Ekonomi Aceh, yang diselenggarakan, di Gampong Coffee Gayo, Lamnyong, Banda Aceh, 29 Februari 2010.
Salah satu nara sumber, Dr. Amri, S.E., M.Si., yang juga Akademisi Universitas Syiah Kuala, mengatakan, GlobalCompetitiveness Index (GCI) atau Indeks Daya Saing Global, dipublikasikan oleh World Economic Forum (WEF) telah melakukan survey tahunan terkait Indeks Daya Saing Indoensia, dengan menampilkan variabel-variabel yang mempengaruhi dan mendorong produktivitas pertumbuhan dan perkembangan suatu negara pada era Revolusi Industri 4.0.
Amri yang tahun 2016-2017 membantu memfasilitasi kegiatan tersebut di Aceh bersama Universitas Syiah Kuala, mengatakan, indeks yang dikeluarkan oleh WEF-lah yang seringkali menjadi acuan bagi Pemerintah, Investor, Akademisi, dan awak media dalam melihat dan menilai potensi dan daya saing sebuah negara.
Indeks Daya Saing tersebut dibentuk dari 103 indikator yang dikelompokkan lagi menjadi 12 pilar utama, yaitu: Lembaga, Infrastruktur, Adopsi TIK, Stabilitas Makroekonomi, Kesehatan, Keterampilan, Pasar Produk, Pasar Tenaga Kerja, Sistem Keuangan, Ukuran Pasar, Dinamika Bisnis dan Kemampuan Inovasi.
Pendekatan daya saing yang digunakan oleh WEF menekankan bahwa daya saing bukanlah zero-sum game antar negara, namun merupakan hal yang dapat dicapai oleh semua negara, dengan upaya yang terencana dan terkoordinasi. Pada laporan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-50, di mana posisi ini merupakan penurunan dari peringkat di 2018 yaitu pada posisi ke-45.
Salah satu nara sumber, Dr. Amri, S.E., M.Si., yang juga Akademisi Universitas Syiah Kuala, mengatakan, GlobalCompetitiveness Index (GCI) atau Indeks Daya Saing Global, dipublikasikan oleh World Economic Forum (WEF) telah melakukan survey tahunan terkait Indeks Daya Saing Indoensia, dengan menampilkan variabel-variabel yang mempengaruhi dan mendorong produktivitas pertumbuhan dan perkembangan suatu negara pada era Revolusi Industri 4.0.
Amri yang tahun 2016-2017 membantu memfasilitasi kegiatan tersebut di Aceh bersama Universitas Syiah Kuala, mengatakan, indeks yang dikeluarkan oleh WEF-lah yang seringkali menjadi acuan bagi Pemerintah, Investor, Akademisi, dan awak media dalam melihat dan menilai potensi dan daya saing sebuah negara.
Indeks Daya Saing tersebut dibentuk dari 103 indikator yang dikelompokkan lagi menjadi 12 pilar utama, yaitu: Lembaga, Infrastruktur, Adopsi TIK, Stabilitas Makroekonomi, Kesehatan, Keterampilan, Pasar Produk, Pasar Tenaga Kerja, Sistem Keuangan, Ukuran Pasar, Dinamika Bisnis dan Kemampuan Inovasi.
Pendekatan daya saing yang digunakan oleh WEF menekankan bahwa daya saing bukanlah zero-sum game antar negara, namun merupakan hal yang dapat dicapai oleh semua negara, dengan upaya yang terencana dan terkoordinasi. Pada laporan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-50, di mana posisi ini merupakan penurunan dari peringkat di 2018 yaitu pada posisi ke-45.
Indonesia memiliki skor 65 dari 100 poin, turun 0,3 poin dari tahun sebelumnya.
Meskipun secara umum, Indonesia berada para peringkat ke-4 dikawasan ASEAN, namun Indonesia jauh tertinggal dibelakang Singapura yang menempati peringkat pertama, Malaysia di peringkat ke-27 dan Thailand di peringkat ke-40.
Meskipun secara umum, Indonesia berada para peringkat ke-4 dikawasan ASEAN, namun Indonesia jauh tertinggal dibelakang Singapura yang menempati peringkat pertama, Malaysia di peringkat ke-27 dan Thailand di peringkat ke-40.
Indonesia memiliki poin yang cukup kuat pada variabel ukuran pasar dan stabilitas makroekonomi. Namun disisi lain, rendahnya Indeks Daya Saing yang dimiliki Indonesia saat ini salah satunya dipengaruhi oleh rendah pertumbuhan pada pada v posisi 26ariabel Inovasi.
Kapasitas Inovasi secara umum dinilai masih sangat terbatas, meskipun ada sedikit mengalami peningkatan. Jika ditelaah lebih lanjut pada pilar Kemampuan Inovasi, Indonesia berada pada peringkat 74 dari 144 negara.
Disisi lain kata Amri, untuk Provinsi Aceh menempati posisi 26. Indeks daya saing Provinsi Aceh berada pada peringkat 26 disebabkan oleh tingkat korupsi yang tinggi, akuntabilitas yang rendah, tingkat efisiensi, pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) yang amburadul, koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang lemah serta kapasitas kepemerintahan provinsi yang lemah. (*)