2018-06-10

Abdiya aceh Aceh Tamiang Aceh Timur Aceh Utara Agam Inong Aceh Agama Aksi 112 Aksi 313 Aleppo Artikel Artis Auto Babel Baksos Bambang Tri Banda Aceh Banjir Batu Akik Bencana Alam Bendera Aceh Bergek Bimtek Dana Desa Bireuen Bisnis Blue Beetle BNN BNPB Bom Kampung Melayu Budaya BUMN Carona corona Covid-19 Cuaca Cut Meutia Daerah Dana Bos dayah Deklarasi Akbar PA Deplomatik Depok Dewan Pers DPR RI DPRK Lhokseumawe Editorial Ekomomi Ekonomi Energi Feature Film Fito FORMATPAS Foto FPI Gampong Gaya Hidup Gempa Aceh Gempa Palu Gunung Sinabung Haji HAM Hathar Headlines Hiburan Hindia History Hotel Hukum Humor HUT RI i ikapas nisam Indonesia Industri Info Dana Desa Informasi Publik Inspirasi Internasional Internet Iran Irwandi-Nova Irwndi Yusuf Israel IWO Jaksa JARI Jawa Timur Jejak JKMA Kemanusiaan Kemenperin Kemenprin Kesehatan Khalwat KIP Kisah Inspiratif Korupsi Koruptor KPK Kriminal Kriminalisasi Kubu Kuliner Langsa Lapas Lapas Klas I Medan Lapas Tanjungbalai lgbt Lhiokseumawe Lhokseumawe Lingkungan Listrik Lombok Lowongan Kerja Maisir Makar Makassar Malaysia Malware WannaCry Masjid Migas Milad GAM Mitra Berita Modal Sosial Motivasi Motogp MPU Aceh Mudik Mudik Lebaran MUI Musik Muslim Uighur Nanang Haryono Narapidana Narkotika Nasional News Info Aceh Nisam Nuansa Nusantara Obligasi Olahraga Ombudsman Opini Otomotif OTT Pajak Palu Papua Parpol PAS Patani Patroli Pekalongan Pekanbaru Pelabuhan Pemekaran Aceh Malaka Pemekaran ALA Pemerintah Pemilu Pendidikan Penelitian Pengadilan Peristiwa Pers Persekusi Pertanian Piala Dunia 2018 Pidie Pidie Jaya Pilkada Pilkada Aceh Pilkades Pj Gubernur PKI PLN PNL Polisi Politik Pomda Aceh PON Aceh-Sumut XXI Poso PPWI Presiden Projo PT PIM Pungli PUSPA Ramadhan Ramuan Raskin Riau ril Rilis Rillis rls Rohingya Rohul Saladin Satwa Save Palestina Sawang Sejarah Selebgram Selebriti Senator Sinovac SMMPTN sosial Sosok Sport Status-Papua Stunting Sumatera Sunda Empire Suriah Syariat Islam T. Saladin Tekno Telekomunikasi Teror Mesir Terorisme TGB Thailand TMMD TMMD reguler ke-106 TNI Tokoh Tol Aceh Tsunami Aceh Turki Ulama Universitas Malikussaleh USA Vaksin MR Vaksinasi Vaksinasi Covid-19 vid Video vidio Viral Waqaf Habib Bugak Warung Kopi Wisata YantoTarah YARA

Ilustrasi
Jakarta - Pertama kalinya anak menanyakan ayah, Oh Ibu dimana Ayah? Dengan sabar Ibu menjawab anaknya, Ayahmu di dalam peperangan.

Kedua kalinya anak menanyakan ayah, oh Ibu dimana Ayah? Dengan sedih Ibu menjawab anaknya, Ayahmu di dalam penjara.

Ketiga kalinya anak menanyakan ayah, oh Ibu dimana Ayah? Dengan tangis Ibu menjawab anaknya, Ayahmu di dalam kuburan.

Cuplikan di atas adalah potongan lagu perjuangan jaman dulu, yang menggambarkan kesengsaraan sekaligus kehebatan sebuah keluarga pejuang di tanah air ini. Penjajahan harus dihentikan. Penjajah harus dienyahkan.

Untuk itu setiap lelaki dewasa dan kuat harus rela meninggalkan keluarganya untuk ikut bergabung ke medan perang bersama pemuda lainnya. Hasilnya, Indonesia merdeka! Namun, sang ayah kembali ke rumah tinggal nama. Gugur di medan perang atau membusuk di dalam penjara. Itulah gambaran masa perjuangan dahulu sebelum Indonesia merdeka.

Keadaan dulu itu rupanya belum berubah. Kondisi keterjajahan bangsa masih berlanjut. Hingga hari-hari ini. Bahkan lebih parah. Diperbudak orang lain masih lebih baik daripada diperbudak saudaramu sendiri, kata orang tua-tua.

Perjuangan, dengan demikian harus terus berlanjut. Praktek penjajahan yang bertukar pihak, model, dan strategi di negeri tercinta ini harus dihentikan. Para penjajah harus dienyahkan.

Dienyahkan? Yakin? Dienyahkan kemana?

Benarlah kata Soekarno: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah asing. Perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan penjajah yang adalah saudaramu sendiri".

Medan laga perjuangan melawan kezaliman para penjajah jaman now yang cukup mirip dengan medan laga jaman old adalah medan perjuangan pers. Wartawan adalah pemuda pejuang kemerdekaan bangsanya. Para oknum penguasa dholim berkelindan erat dengan para oknum pengusaha hitam di satu sisi sebagai penjajah bangsa sendiri.

Jajaran oknum aparat hukum, dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan pengacara, di lain pihak berperan sebagai pasukan centeng para penjajah itu. Jalinan kongkalikong antar oknum di lembaga-lembaga penegak hukum ini, bertameng undang-undang dan peraturan, senantiasa berusaha menjalankan tugasnya dengan baik demi mendapatkan roti dan anggur dari tuannya, penjajah berparas pribumi.

Beberapa oknum institusi pengampu pers seperti perusahaan pers dan organisasi pers, juga ikut-ikutan mengambil bagian dari perselingkuhan para penjajah berkulit sawo matang itu. Mereka tergiur juga untuk menikmati nikmatnya anggur merah dan roti keju di meja para penjajah lokal ini.

Tanpa empati, tanpa simpati, tanpa rasa bersalah sedikitpun melihat rakyat, sesama sebangsanya tertindas dan terlindas mati di popor senapan para centeng beringas itu. Pun, mereka tidak beringsut sedikitpun walau yang mati di-lars oleh para herder berhati kelam di depan matanya itu adalah sesama pekerja pers.

Soekarno benar. Perjuangan ini memang sulit. Bahkan jauh lebih sulit, lebih mengerikan dari yang sang proklamator itu bayangkan. Kalangan pekerja pers sebagai kaum pejuang rakyat mungkin tidak terlalu sulit menghadapi para mafia penjajah negeri ini, jika bukan karena satu hal: PENGHIANAT PERS!

Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 ayat (1) UU No 40 tahun 1999, _"Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen"_, dimaksudkan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana tertuang dalam pasal 15 ayat (2) UU No 40 itu.

Namun faktanya, para oknum pengurus lembaga ini justru menjadi penghianat pers melalui berbagai kebijakannya yang membelenggu dan memberangus kemerdekaan pers Indonesia.

Mereka dengan licik, tidak hanya membiarkan para pekerja pers dipersekusi oleh para mafia penjajah rakyat, tetapi malahan merekomendasikan agar para pejuang pers dieksekusi sesuai keinginan banal kelompok yang dikontrol dan dikritisi oleh pers.

Demikian miris-memilukan ketika tempat berlindung dari serangan para komprador penjarah negeri, entah disadari atau tidak, justru berselingkuh dengan para penyerang, secara aktif memborgol pers dan menyerahkannya ke oknum aparat penjaga keamanan para penjajah rasa tempe busuk itu.

Bung Karno! Hari-hari ini kami berduka, teramat sangat! Satu teman kami, pejuang rakyat harus tewas di Kotabaru, medan pertempuran melawan 'penjajah yang adalah saudaramu sendiri' yang ganas itu.

Muhammad Yusuf, sipejuang rakyat di kampungnya, mati di Lapas Kotabaru akibat kesewenang-wenangan PT. MSAM milik oknum pengusaha hitam, yang diback-up para oknum jenderal; ia harus melepas nyawanya di penghujung Ramadhan 1439 H.

Akibat rekomendasi sebuah lembaga penghianat pers, teman kami itu harus merasakan jeruji besi sebelum tewas dan membusuk di sana.

Bung Karno! Sudihlah Engkau datangi kedua anak almarhum, bantu beri jawaban atas pertanyaan mereka di hari lebaran, 1 Syawal 1439 Hijriah ini: Ibu dimana Ayah? (Red/Rls)

Oleh: Ketua Umum PPWI Nasional, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 Wilson Lalengke


LANGSA - Terpidana kasus narkoba asal Aceh Timur, Abdullah (39) terpidana 20 tahun dalam kasus kepemilikan 75 Kg sabu yang juga dikenal sebagai bos sabu positif tidak berada didalam Lapas Narkotika Langsa sejak beberapa hari lalu hingga berita ini dilansir, Kamis (14/6/2018).

Informasi yang diterima Redaksi, Abdullah dikeluarkan dari lapas narkotika langsa tanpa memenuhi aturan yang berlaku atau secara ilegal.

Ironisnya bukan abdullah seorang namun ada 11 napi bos narkoba lainnya yang hukuman tinggi juga tidak berada didalam lapas narkotika sejak beberapa hari lalu.

Para napi narkoba lainnya yakni Fadil, Agus Rendi,Alem,Alif,Khairol,Iskandar,Gilang,Iskandar,Sitos dan Nasir Pereulak.

Sementara itu Plt Kalaps Narkotika langsa Agus Mulyono Bc.IP sampai berita ini dilansir belum dapat dihubungi guna meminta konfirmasi terkait keberadaan para napi bos di luar lapas narkotika.

Seperti diketahui  Abdullah telah menempati Lapas Narkotika Langsa, sejak tanggal 29 Juli 2017 setelah sebelumnya menghuni Rumah Tahanan Negara Kelas II B Banda Aceh..

Pemindahan Abdullah berdasarkan surat keputusan Kementerian Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Aceh Nomor: W1.Pk.01.01.01-544 tanggal 24 Juli 2017. Dalam surat itu menyebutkan, napi Abdullah dipindahkan dari Rutan Negara Kelas II B Banda Aceh ke Lapas kelas III Narkotika Langsa.

Catatan Redaksi Abdullah adalah satu dari lima tersangka sindikat sabu yang ditangkap tim gabungan Badan Narkotika Nasional (BNN), Polres Aceh Timur, dan Brimob Subden 2 Aramiah, pada Februari 2015 lalu.

Seperti dilansir harian serambi tertanggal 14 Juni 2018, Penangkapan kelima tersangka ini merupakan hasil pengembangan dari penangkapan sabu-sabu seberat 75 kilogram di kawasan Alue Bu, Peureulak Barat, Aceh Timur, Minggu (15/2/2015). Selain sabu-sabu dalam jumlah besar, aparat juga menyita dua pucuk senjata api laras panjang jenis SS1 dan M16, serta dua pucuk pistol rakitan.

Pada Selasa (16/2/2017), kelima tersangka beserta barang bukti 77,35 kg sabu, diboyong ke Jakarta oleh Badan BNN untuk menjalani proses hukum lebih lanjut dan pengembangan kasus peredaran sabu berjaringan internasional. Pihak BNN juga menyita aset milik tersangka Abdullah, karena diduga dari hasil pencucian uang, yaitu tiga alat berat jenis ekskavator, beberapa mobil mewah, tanah kosong 313 hektare (ha), dan 323 ha lahan pohon sawit dan karet di Aceh Timur.

Setelah melalui serangkaian persidangan, pada Senin (21/12/2015), majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, menjatuhkan vonis mati terhadap Abdullah. Hakim Ketua, Sulthoni SH MH yang memimpin persidangan menyebutkan, Abdullah terbukti secara sah dan bersalah melakukan permufakatan jahat dalam penggunaan narkotika.

Putusan ini sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Idi yang dibacakan pada persidangan sebelumnya.

Namun belakangan, Abdullah urung (batal) dihukum mati karena hukumannya diturunkan menjadi hukuman badan, 20 tahun penjara. Putusan ini dikeluarkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) atas permohonan kasasi yang diajukan empat terdakwa kasus kepemilikan sabu-sabu seberat 78,1 kg. Dari keempat terdakwa yang mengajukan kasasi, hanya Abdullah bin Zakaria —yang selama ini dikenal sebagai bos sabu—yang mendapat keringanan hukuman. Sementara tiga rekannya, yaitu Hamdani Razali (36), Hasan Basri (35), dan Samsul Bahri (35), tetap divonis hukuman mati.(Red/Srb)


Banda Aceh - Darwati A. Gani mengunjungi Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh untuk membesuk para pasien yang dirawat di sana, Rabu 13 Juni 2018.

Kunjungan dilakukan untuk memberikan dukungan semangat kepada para pasien dan keluarga mereka karena harus berlebaran di Rumah Sakit.

Para pasien yang sedang menjalani perawatan umumnya berasal dari berbagai kabupaten di luar Kota Banda Aceh.

Darwati terlihat keluar masuk ke sejumlah ruang inap pasien untuk menyapa pasien dan keluarga. Darwati mengaku sangat memahami apa yang dirasakan mereka yang harus melewati hari meugang dan lebaran di Rumah Sakit.

"Hari ini mengunjungi RSZA, melihat kondisi pasien-pasien yang masih harus bertahan di rumah sakit, walau hari ini meugang, lusa hari raya, tapi mereka hanya bisa pasrah tetap tinggal disini menerima perawatan medis," ujar istri Gubernur Aceh ini.

Tak hanya pasien, Darwati juga menyapa para dokter dan perawat. Ia mengapresiasi keiklasan para petugas yang tetap melayani pasien meski di hari meugang dan lebaran.

"Saya juga ingin menyapa para dokter, perawat, di saat masyarakat Iainnya waktu seperti ini adalah waktu kumpul keluarga, mereka tetap harus bertugas, merawat pasien-pasien yang sakit," ujar Darwati. [Rill]

Ahmad Dani
StatusAceh.Net - Hampir semua orang yang mendapatkan jabatan baru, termasuk menjadi wakil rakyat, merasa sudah naik kelas. Hal itu terlihat dari penampilan biasa hingga mendapat fasilitas mewah yang mustahil dipenuhi dari hasil gaji perbulan yang didapatkannya.

Begitu juga perumpamaannya dari memakai sepatu biasa dan tiba-tiba bisa memakai sepatu kulit ular, dari mobil sewa atau motor,hingga memakai mobil mewah, dari baju cap buya, berganti dengan merek-merek yang berharga tinggi. 

Tidak jarang bagi mereka yang menambah istri, saat mereka mendapat jabatan di kursi yang seharusnya menampung aspirasi rakyat.

Semua perubahan terhadap mereka yang hidup mewah tentunya membutuhkan biaya. Biasa mengopi dengan kupi pancong, berubah duduk di mall-mall atau cafe yang minumannya mahal-mahal. Costnya menjadi tinggi.

Nah, darimana mendapatkan uang, sedangkan gaji tidak seberapa tinggi? Akhirnya melakukan praktek culas dan korupsi.

Caranya? Gampang, anggarkan seolah-olah untuk rakyat, kemudian makan fee. Alkisah, beberapa hari ini, Aceh digegerkan oleh berita begal dana beasiswa. Luar bisa, pengambilan baliknya alias fee sampai di atas 50 persen. Memang ini begal, atau rampok. Kalau sekedar untuk biaya photocopy, mungkin dimaklumi.

Ini berkenaan dengan moral dan cacat akhlak. Bayangkan, uang yang dianggarkan 20 juta, diambil kembali 17 juta, hanya 3 juta diberikan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Akan celaka Aceh kalau orang macam begini diberikan amanah dan kesempatan. "Ateuh rhueng gop dimita laba".

Ke depan, masyarakat harus melihat sisi ini dengan baik, kalau tidak, selalu akan merugi. Masyarakat jangan memilih orang yang begal, ingin naik kelas dan culas. Harus memilih yang mewaqafkan diri untuk kebaikan rakyat. Yang siap seperti apa adanya, yang tidak mencari kaya pada jabatan dan mencari nafkah dengan mengambil yang bukan haknya. 

Sejumlah anggota legislatif terseret namanya di surat kabar, dan itu membuktikan mereka bekerja bukan untuk rakyat melainkan mengembangkan bisnis pribadi, keluarga dan kepentingan lainnya yang bukan untuk rakyat.

Semoga kedepan rakyat lebih cerdas dalam memilih orang-orang yang amanah dan stop memilih orang yang terbukti melakukan pembegalan uang rakyat.

Penulis : Ahmad Dani

Oleh: Wilson Lalengke
Jakarta - Menurut the American Press Institute, mengutip bukunya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ‘The Elements of Journalism’, tujuan utama jurnalisme dituliskan seperti ini: “The purpose of journalism is to provide citizens with the information they need to make the best possible decisions about their lives, their communities, their societies, and their governments”. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: Tujuan jurnalisme adalah untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakat terhadap informasi yang cukup dalam rangka pengambilan keputusan terbaik bagi kehidupan mereka, komunitasnya, bangsa dan pemerintahnya.

Berdasarkan definisi tersebut, dalam rangka mencapai tujuan jurnalisme, setiap jurnalis dituntut untuk melakukan kegiatan jurnalistiknya, meliputi: mengumpulkan, menyimpan/mendokumentasikan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi kepada publik. Kecukupan informasi dan data yang dikumpulkan memegang peranan penting terkait dengan pemenuhan kebutuhan informasi oleh warga masyarakat. Ke-akurat-an, ke-lengkap-an, ke-komprehensif-an, ke-aktual-an, dan ke-detail-an informasi tentang suatu masalah menjadi standard untuk mengukur keterpenuhi atau ketidak-terpenuhinya kebutuhan warga terhadap informasi yang diperlukan.

Di tataran praktek, karya jurnalistik yang benar itu hakekatnya ditentukan oleh tercakupnya seluruh unsur-unsur informasi yang biasanya dirumuskan dalam 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how atau dalam Bahasa Indonesia: siapa, apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana). Adapun proses check and recheck, konfirmasi, dan validasi data diperlukan dalam rangka memastikan bahwa keenam unsur (red - 5W+1H) itu sudah terpenuhi, faktual, akurat, dan detail.

Dalam banyak penulisan berita terkait sebuah peristiwa yang bernuansa konflik melibatkan dua atau lebih pihak, wartawan sering dituntut untuk melakukan konfirmasi kepada dua bela pihak yang berseberangan. Hal ini bisa dipandang penting, tetapi bukan menjadi kewajiban mutlak. Pasalnya, sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan informasi dari kedua pihak yang berkonflik. Upaya menggali informasi dari dua kubu yang berseberangan hanya dapat dilakukan oleh para warga terlatih, seperti intelijen militer, polisi, jaksa, KPK, dan mereka yang dilengkapi peralatan khusus, semisal alat sadap, alat perekam dan kamera tersembunyi. Wartawan tidaklah mungkin dipaksa melakukan hal itu.

Untuk mendapatkan informasi yang cukup sesuai kebutuhan publik dari kedua belah pihak yang berseteru, misalnya dalam kasus konflik masyarakat Pulau Laut di Kalimantan Selatan dengan PT. MSAM milik konglomerat lokal, Haji Isam, mekanisme hak jawab dan hak koreksi atas sebuah pemberitaan disediakan oleh UU No. 40 tahun 1999 sebagai jalan keluarnya. Artinya, ketika sebuah berita yang masih ‘berat sebelah’ dipublikasikan, maka informasi dari pihak sebelahnya lagi menjadi wajib dikeluarkan oleh pihak yang merasa belum dikonfirmasi. Tugas media adalah menayangkan artikel atau berita yang berisi hak jawab dan/atau hak koreksi dari pihak sebelah dimaksud.

Berdasarkan teori dan bangunan pemikiran tentang jurnalisme dan pemberitaan di media massa sebagaimana diuraikan di atas, maka adalah sebuah kesalahan besar jika Dewan Pers menyatakan bahwa karya-karya almarhum M. Yusuf yang tewas di tahanan di Kotabaru, Kalsel, beberapa hari lalu, dikategorikan sebagai: 1) bukan karya jurnalistik, 2) beritikad buruk, 3) tidak menjalankan peran/fungsi sebagai pers, dan 4) pemberitaan M. Yusuf terkait PT. MSAM bukan untuk kepentingan umum.

Kita tentunya sangat prihatin membaca pernyataan Dewan Pers yang melempar kesalahan itu pada wartawan, dalam hal ini almarhum M. Yusuf. Sesuatu yang tidak sanggup dinalar manusia normal, tanpa empati, tanpa merasa bersalah sama sekali.

Semestinya Dewan Pers wajib melakukan validasi sebuah karya jurnalistik dengan melihat apakah dalam penyajian informasi itu terdapat unsur yang lengkap terkait 5W+1H. Jika masalahnya jelas, tempatnya bisa diverifikasi, waktu kejadian jelas, siapa yang terlibat jelas, mengapa masalah itu bisa terjadi dan ada kronologi kejadian yang faktual, maka sajian informasi oleh si wartawan adalah karya jurnalistik. Lagi, pihak Dewan Pers seharusnya menghadirkan penulis M. Yusuf untuk dimintai keterangan sebagai bentuk check and recheck dan konfirmasi atas karya-karya jurnalistiknya itu. Dewan Pers tidak dibenarkan mendengar, apalagi menerima begitu saja sebuah pelaporan dari satu pihak, yakni Kapolres Kotabaru, saja.

Soal itikad baik dan buruk seseorang dalam menulis, bagaimana cara ahli Dewan Pers itu bisa menilainya dengan benar? Pemberitaan yang berulang-ulang dijadikan patokan adanya niat buruk adalah dalih yang tidak relevan, tidak benar dan menyesatkan. Itu cara ahli nujum jaman batu. Dulu, kalau ada kupu-kupu masuk rumah, tandanya akan ada tamu masuk rumah. Mungkin karena sering kejadian ‘ada kupu-kupu ada tamu’, maka diyakinilah hal itu sebagai sebuah kepastian. Nah, rupanya ilmu itulah yang digunakan si ahli Dewan Pers selama ini. Hanya tebak-tebak buah manggis, syukur-syukur isinya manis.

Padahal, pola pengulangan pemberitaan itu merupakan salah satu strategi yang lumrah dalam jurnalisme sebagai cara penetrasi dan inseminasi informasi ke masyarakat. Tujuannya agar masyarakat pembaca, pendengar, dan penonton dapat lebih mengerti, memahami, dan mengingat  informasi yang disampaikan untuk kemudian terdorong mengambil sikap yang tepat bagi kepentingan hidup mereka, keluarganya, masyarakatnya, bangsa dan pemerintahnya. Coba Anda lihat pemberitaan di media-media, terutama televisi, begitu banyak informasi yang diulang hingga puluhan kali. Itu strategi. Tidak bisa dikatakan bahwa pengulangan itu dapat diartikan ada itikad buruk. Itu kesimpulan yang ngawur. Sayangnya, kengawuran berdasarkan asumsi sembrono Dewan Pers itu mengakibatkan banyak wartawan dipenjara, bahkan mati membusuk di tahanan.

Kesimpulan ‘tidak menjalankan peran/fungsi sebagai pers’ bukan hanya super ngawur, tapi penuh tendensi untuk membenarkan pihak oknum polisi yang menangkap M. Yusuf, yang tentu saja dibiayai perjalananya berulangkali ke Jakarta oleh oknum konglomerat lokal yang diberitakan oleh almarhum. Kepada Dewan Pers, dan masyarakat umum, kita kopi-pastekan peranan atau fungsi pers sesuai Pasal 6 UU No. 40 tahun 1999, sebagai berikut:

“Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.” (Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 6).

Pemberitaan, yang mencapai dua puluhan lebih artikel, yang dipublikasikan oleh almarhum secara nyata adalah pelaksanaan peran yang bersangkutan sebagai pekerja pers, sebagaimana tertulis di pasal 6 UU No 40 1999. Silahkan Dewan Pers merenung sambil mendo’akan semoga almarhum M. Yusuf memaafkan Anda semua dari alam sana. Renungkan juga anak dan istri almarhum yang harus melewati hari-hari sulit sepanjang hayat mereka ditinggal mati ayah anak-anak itu hanya karena keteledoran dan ‘kebungulan’ oknum-oknum pengurus Dewan Pers.

Kesimpulan soal ‘bukan kepentingan umum’ lebih parah lagi. Bagaimana mungkin sebuah pemberitaan yang mengadvokasi masyarakat terhadap kesewenang-wenangan korporasi hitam dan rakus yang menghancurkan sumber kehidupan mereka dianggap bukan untuk kepentingan umum? Dari asrip berita yang disampaikan ke Dewan Pers sangat terang-benderang bahwa berita yang dibuat almarhum merupakan sebuah perjuangan bagi kepentingan rakyat di lokasi pemukiman penduduk yang tergusur oleh PT. MSAM, bukan kepentingan individu atau pihak berkepentingan tertentu. Justru sebaliknya, kesimpulan Dewan Pers itulah yang dapat dikategorikan bukan untuk kepentingan umum. Kesimpulan ahli Dewan Pers dapat diduga adalah untuk kepentingan mafia oknum Kapolres bersama jajarannya, oknum perusahaan, dan oknum kejaksaan. Bahkan, boleh jadi, kesimpulan demikian itu adalah untuk kepentingan oknum Dewan Pers dan pihak lainnya. Walahu’alam…

Satu pertanyaan penting yang mengganjal dalam hati para pekerja media selama ini: Apakah para pengurus Dewan Pers itu sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan? (TIM/Red)

*) Penulis adalah Ketua Umum PPWI Nasional, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, trainer jurnalistik warga bagi ribuan anggota TNI, Polri, PNS, guru, dosen, mahasiswa, wartawan, karang taruna, dan masyarakat umum.

Bondowoso - Tahun 2018 beberapa Daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 171 Daerah, termasuk di Kabupaten Bondowoso. Perhelatan Pilkada Bondowoso yang akan dilaksanakan pada 27 Juni sebentar lagi membuat tensi politik meningkat, mengingat hanya diikuti oleh Dua Pasangan Calon (Paslon) yaitu nomor urut 1 (Drs. KH. Salwa Arifin-Irwan Bachtiar, M.Si) dan nomor urut 2 (H. Ahmad Dhafir yang berpasangan dengan Drs. Hidayat, M.Si).

Kedua Paslon tersebut sering menyampaikan visi dan misinya kepada masyarakat. Baik melalui media sosial (medsos), pamflet, stiker maupun ketika kampanye. Ketatnya persaingan antara keduanya dapat kita lihat dari aktifitas yang dilakukan belakangan ini. Keduanya berlomba-lomba mempromosikan kebijakan dan langkah-langkah yang akan dilakukan jika terpilih.

Janji-janji politik yang terkadang dianggap usang oleh masyarakat ternyata masih tetap menjadi salahsatu senjata guna menarik hati pemilih. Apapun itu selagi tidak keluar dari prinsip-prinsip berdemokrasi adalah boleh dilakukan. Terlihat anemo masyarakat Bondowoso cukup besar untuk suksesi Pilkada ini, lebih-lebih para pendukung untuk memenangkan Paslon dukungannya.

Sengitnya persaingan ini sudah sangat terasa sejak sebelum Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bondowoso menetapkan dan mengumumkan nama-nama Paslon pada tanggal 12 februari 2018. Berbagai elemen masyarakat baik tokoh maupun organisasi semakin hari semakin banyak yang mendeklarasikan diri mendukung salah satu dari kedua Paslon tersebut. Inilah yang menyebabkan tensi konstelasi politik di Bondowoso semakin meningkat.

Dinamika Elektoral Parpol Di Kabupaten Bondowoso

Dukungan partai terhadap Paslon 1 (Salwa-Irwan/ SABAR jauh tertinggal oleh Paslon 2 (Dafir-Dayat). Pasangan SABAR hanya didukung oleh tiga PARPOL yaitu PPP dan PDIP sebagai partai pengusung serta HANURA sebagai pendukung. Secara perhitungan (jumlah) kursi suara di DPRD Bondowoso SABAR hanya memiliki 13 kursi (PPP 5 kursi dan PDIP 8 kursi) sedangkan HANURA, PKPI dan Partai Garuda yang menyusul mendukungnya tidak memiliki kursi di DPRD.

Dilain pihak koalisi Dafir-Dayat jauh lebih gemuk. Koalisi antar semua PARPOL tersisa ialah PKB 12 kursi, GOLKAR 5 kursi, PKS 5 kursi, GERINDRA 3, PAN 1, NASDEM 3, DEMOKRAT 3. Jika hanya terpaku pada dukungan Parpol maka peluang kemenangan Dafir-Dayat jauh lebih besar. Gemuknya Parpol pengusung dan pendukung dengan kalkulasi total suara 32 kursi, gampangnya, setiap Parpol hanya tinggal menginstruksikan ribuan keder dan pendukungnya untuk memilih Paslon no 2, maka selesailah perkara.

Namun persoalan rakyat memilih tidak segampang itu, barangkali kita masih ingat dengan pemilihan Presiden tahun 2014 antara Jokowi dan Prabowo. Bagaimana parpol pendukung Jokowi jauh lebih ramping, namun Jokowi keluar sebagai pemenangnya. Lagi-lagi bukan ansih masalah parpol pendukung saja, tetapi pilihan rakyat.

Pasangan Sabar merupakan akumulasi dari dua tokoh yang berbasis masa. Antara Salwa Arifin dan Irwan Bahtiar merupakan ikon dari parpol masing-masing pengusung. Nama besar Salwa Arifin belum tergantikan di PPP. Ditataran akar rumputpun demikian, selain dikenal sebagai wakil Bupati, beliau dikenal sebagai seorang Kiai putera dari almarhur KH. Togo Ambarsari yang cukup dikenal dan dihormati masyarakat Bondowoso. Sedang Irwan Bahtiar adalah Ketua PDIP,  pasangan yang berbasis masa.

Kebalikan dari Paslon 1, Ahmad Dhafir merupakan politisi yang 5 kali menjabat sebagai anggota DPRD dan 3 kali diantaranya sebagai ketua. Beliau adalah salah satu politisi senior dan cukup dikenal oleh masyarakat. Sedang wakilnya, Drs. Hidayat bukanlah seorang politisi namun seorang Birokrat (Sekretaris Daerah). Beliau dikenal hanya bagi kalangan birokrasi daerah.

Selain elektabilitas dan popularitas figur serta peran partai politik, kekuatan yang paling efektif dalam mendulang perolehan suara ialah Pondok Pesantren (Ponpes). Pengaruh Ponpes adalah salahsatu penentu kemana arah pilihan masyarakat Bondowoso. Mayarakat terdidik di Bondowoso yang notabane alumni Ponpes, selain kesederhanaan dan religiusitas yang kental, sikap tawaduk terhadap guru/kiai benar-benar dijunjung tinggi. Mengingat kiai/guru yang sudah membimbing sedari kecil tanpa memungut biaya (ikhlas).

Sikap ketawaduan santri dan masyarakat terhadap kiai ini sangat disadari betul oleh setiap politisi. Dalam momentum Pilkada ini masing-masing Paslon dan Tim Suksesnya (Timses) berlomba-lomba untuk merapat dan mencari dukungan dari para kiai. Ibarat  jaring ikan, kiai adalah tali. Ditarik satu tali maka ikutlah seluruh isi didalamnya. Selain itu para politisi yang didukung sosok kiai juga rajin turun kepada masyarakat melewati pendekatan-pendekatan kultur dan tradisi yang ada di masyarakat semisal pengajian, sholawatan dll. Politik kultur adalah cara yang sangat efektif untuk mengambil hati masyarakat.

Eskalasi politik Bondowoso masih ditentukan oleh arah dukungan tokoh-tokoh Pondok Pesantren khusunya di luar Kabupaten Bondowoso. Yaitu Pondok Pesantren Nurul Jadid (Probolinggo), Wali Songo dan Salafiyah Syafiiyah (Situbondo) yang ribuan santri dan alumninya merupakan masyarakat Bondowoso. Sisanya ialah pondok pesantren yang kuantitas dan pengaruhnya lebih kecil dibandingkan Pondok Pesantren tersebut diatas. Sebagai contoh Al-Maliki (Koncer), Al-Falah (Cremee), Al-Islah (Dadapan) dan lain-lain. Artinya, secara kemandirian politik Bondowoso masih tergantung dari dukungan luar Kabupaten.

Pesan untuk Stakeholder

Dengan hanya diikuti oleh dua Paslon, ada potensi konflik ditataran akar rumput (grassroot). Dukungan masyarakat sama-sama besar terhadap keduanya khususnya masyarakat Nahdliyin. Dengan tidak adanya paslon pemecah suara maka potensi timbulnya ketidakpuasan terhadap hasil pemilu sangat tinggi. Hal ini dapat berujung terhadap besarnya tuntutan yang memancing keributan antar pendukung. Walaupun itu sebatas hanya spekulasi penulis saja, namun kita sebagai masyarakat bondowoso tidak megharapkan demikian.

Dalam hal ini kedewasaan masyarakat dan peran stakeholder adalah kunci kekondusifan serta kesuksesan pelaksanaan Pilkada Bondowoso. Pilkada ini bukan lagi berbicara siapa yang lebih hebat dan lebih kuat antar keduanya. Siapapun yang menang, itu merupakan kemenangan Masyarakat Bondowoso juga. Beliau berdua bukan sekedar kader terbaik NU Bondowoso, bukan sekedar sosok Kiai maupun didukung kiai, melainkan Putera Daerah yang sama-sama ingin mengabdikan diri untuk memperbaiki Bondowoso. Satu kalimat sebagai kata kunci untuk Bondowoso lebih baik yaitu Yakin Usaha Sampai.

Penulis : Moh. Fajri (Ketua Umum HMI Cabang (P) Bondowoso-Situbondo)

StatusAceh.Net - “Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Begitu pesan pendek orang tua disaat anaknya akan ke perantauan. Kalimatnya memang pendek, namun sangat mudah diingat, apalagi menjelang puasa atau hari raya. 

Tentu kita di perantauan sangat sedih apabila tidak bisa menikmati sie meugang geutangun le mak bersama keluarga. Meugang atau “Makmeugang” adalah tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha dengan menyembelih lembu atau kerbau. Tradisi meugang sudah ada sejak Sultan Aceh. 

Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dulu, yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam yang disyarah Tgk Di Mulek, dalam bab II pasal 5 Qanun Meukuta Alam, disebutkan bahwa, “Bila telah mendekati hari makmeugang, baik meugang puasa, meugang Hari Raya Fitrah, dan meugang Hari Raya Haji, sebulan sebelum memasuki hari meugang ini, semua keuchik, imuem meunasah, dan tuha peut di seluruh Aceh diwajibkan memeriksa tiap kampung yang dipimpinnya. 

Tujuannya untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit lasa (lumpuh) dan orang buta. Juga orang sakit lainnya yang tidak mampu lagi mencari nafkah”. Jumlah fakir miskin itu, menurut Qanun Meukuta Alam, harus dilaporkan oleh keuchik kepada imam mukim. 

Imam mukim meneruskan laporan tersebut kepada kadi-kadi dan hulubalang untuk disampaikan kepada kadi dua puluh dua, guna diteruskan kepada kadi muazzam. Kadi muazzam lalu menyampaikan kepada Syahk al-Islam untuk dilaporkan kepada Sultan Aceh tentang jumlah fakir miskin, perempuan janda, yatim piatu, dan jumlah orang sakit yang terdapat dalam negeri Aceh. Begitu sultan menerima laporan dari Syah al-Islam, sultan langsung memerintahkan Tandi Siasatnya (ajudan sultan) untuk membuka balai silaturahmi (semacam gudang logistik kerajaan), lalu mengambil dirham dan kain, serta membeli kerbau dan sapi untuk dipotong pada hari meugang. 

Semua perbekalan itu diserahkan sultan kepada keuchik masing-masing gampong untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, perempuan janda, yatim-piatu, dan orang sakit yang tidak mampu lagi mencari nafkah, berdasarkan jumlah yang telah dilaporkan sebelumnya oleh imam mukim hingga sampai kepada sultan. Setiap meugang tiba, banyak peternak yang menyembelih sapinya atau kerbau untuk dijual. 

Karena permintaan cukup banyak, harga daging pada saat meungang biasanya melambung tinggi, bahkan ada argumen bahwa daging sapi di Aceh termahal di dunia. 

Padahal, kita tidak bisa menilai secara ekonomi saja persoalan harga daging uroe meugang. Kita sebenarnya sedang membeli harga sebuah produk budaya. Pada uroe meugang, lazimnya seluruh keluarga berkumpul untuk makan bersama dengan menu spesial masakan daging. 

Karenanya, ada juga yang menyebut uroe meugang dengan sebutan uroe pajoh-pajoh (makan). Sehingga dapat dipastikan, pada uroe meugang setiap rumah di Aceh akan tercium aroma masakan daging, baik daging kerbau atau daging sapi. Bahkan ada anggapan bila tidak masak daging pada saat uroe meugang, maka sepertinya terasa belum dikatakan meugang. 

Ketika meugang tiba semua anggota keluarga berkumpul. Bukan hanya keluarga dekat saja, tetapi juga keluarga jauh hadir berkumpul. 

Terkadang demi kebersamaan ada juga yang mengajak anggota keluarga makan-makan di pantai atau di tempat rekreasi lainnya. Selain itu, meugang diisi dengan kenduri menjamu fakir miskin dan anak-anak yatim. 

Bagi orang Aceh, meugang menjadi tradisi yang tidak akan pernah dan dapat dilupakan. Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, sedapat mungkin, kendati dalam skala kecil, mereka pasti akan melaksanakan tradisi ini walau di perantauan. 

Ketika meugang datang, di rumah-rumah orang Aceh pasti akan tercium aroma masakan daging khas Aceh, terutama gulai merah yang sangat menggugah selera. Bagi yang berada di perantauan, nurani kita tidak membantah bahwa di saat-saat meugang tiba diam-diam kita memendam rindu mendalam akan kampung halaman. 

Karena sebenarnya di perantauan, pada saat-saat seperti ini, tersimpan banyak kenangan kampung yang tidak akan terlupakan. Ada senyum anggota keluarga yang tidak akan pernah hilang. Ada ibu, ayah, aduen ngen adoe dan kawan-kawan sejawat yang hanyut dalam kebersamaan, yang ditemani aroma sie meugang dari rumah-rumah. 

Tentu bukan daging impor, justru melalui momen meuganglah kita seharusnya menyelamatkan sapi lokal dan para peternak dari kampung kita, tanpa mempermasalahkan harga. 

Toh, kalau kita hitung-hitung amal kita kepada mereka setahun sekali, kita yang bergaji banyak sungguh keterlaluan meminta kurang kepada mereka yang kalau kita kalkulasikan pendapatan mereka tak ada apa-apanya dalam kondisi kehidupan yang serba materialistis ini. 

Akhirnya, kita selalu menunggu datang lagi meugang agar dapat kembali pulang kampung untuk melunasi komitmen dan pesan ibunda, “Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.

”Penulis adalah penikmat tradisi meugang, tinggal di Gampong Paloh Raya, Mukim Manee, Aceh Utara (Serambinews.com)

Banda Aceh— Harga daging sapi pada hari "meugang" (hari pemotongan hewan) pertama lebaran Idul Fitri 1439 Hijriah di Kota Banda Aceh diperkirakan berkisar antara Rp150 ribu sampai Rp160 ribu per kilogram.

"Harga daging sapi yang dijual pada meugang pertama naik dibanding hari biasanya. Ini disebabkan harga beli di tingkat peternak naik, sehingga berpengaruh terhadap harga jual," kata Darman seorang pedagang daging di Pasar Tradisional, Peunayong, Banda Aceh, Rabu (13/6/2018).

Ia menjelaskan, kenaikan harga jual daging sapi tersebut disebabkan oleh naiknya harga beli sapi dari daerah penghasil ternak yang berdampak terhadap harga jual di pasaran dengan kisaran penjualan Rp150 ribu dan Rp160 ribu per kilogram untuk daging sapi lokal kualitas terbaik.

"Daging yang dijual Rp160 ribu per kilogram merupakan kualitas bagus. Masyarakat juga lebih suka membeli daging sapi dengan kualitas terbaik," katanya.

Hal senada juga disampaikan Mukhtar pedagang daging di Banda Aceh.

Ia mengatakan, harga jual daging sapi di pasaran dari Rp150 ribu sampai Rp Rp160 ribu per kilogram pada hari meugang pertama lebaran Idul Fitri.

"Terkadang ada konsumen yang minta kurang Rp150 ribu per kilogram," katanya.

Dalam meugang pertama tersebut Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah turut meninjau langsung ketersediaan pasokan dan harga daging yang dijual di pasaran baik di itu di kawasan Peunayong dan juga di Pasar Lambaro, Kabupaten Aceh Besar pada hari meugang pertama lebaran Idul Fitri.

Sumber: ANTARA

Sport - Piala Dunia 2018 sudah di depan mata. Laga perdananya akan digelar, Kamis 14 Juni 2018 pukul 22.00 WIB antara tim tuan rumah Rusia melawan Arab Saudi.

Bagi kedua tim laga perdana ini sangat penting untuk modal menjalani laga selanjutnya. Terlebih bagi Rusia yang akan didukung puluhan ribu suporternya.

Pagelaran 4 tahunan ini akan menghadirkan 64 laga dari fase grup hingga final. Ada 8 grup yang diisi masing-masing 4 negara dengan total 6 laga di fase grup. Mereka bakal berebut jadi dua tim yang terbaik untuk lolos ke fase selanjutnya.

Piala Dunia 2018 akan ditutup dengan pertandingan final yang digelar di Stadion Luzhniki, Moskow, 15 Juli 2018 mendatang.

Selengkapnya seputar jadwal laga Piala Dunia 2018 dapat dilihat di bawah ini:

BABAK FASE GRUP
Kamis, 14 Juni 2018

Rusia vs Arab Saudi - Grup A (Luzhniki), 22:00 WIB, Trans TV 

Jumat, 15 Juni 2018
Mesir vs Uruguay - Grup A (Ekaterinburg Arena), 19:00 WIB, Trans TV
Maroko vs Iran - Grup B (St. Petersburg), 22:00 WIB, Trans TV

Sabtu, 16 Juni 2018 
Portugal vs Spanyol - Grup B (Fisht Olympic), 01:00 WIB, Trans TV
Prancis vs Australia - Grup C (Kazan Arena), 17:00 WIB, Trans TV
Argentina vs Islandia - Grup D (Spartak), 20:00 WIB, Trans TV
Peru vs Denmark - Grup C (Mordovia Arena), 23:00 WIB, Trans TV 

Minggu, 17 Juni 2018
Nigeria vs Kroasia - Grup D (Kaliningrad), 02:00 WIB, Trans TV
Kosta Rika vs Serbia - Grup E (Samara Arena), 19:00 WIB, Trans TV
Jerman vs Meksiko - Grup F (Luzhniki), 22:00 WIB, Trans TV

Senin, 18 Juni 2018
Brasil vs Swiss - Grup E (Rostov Arena), 01:00 WIB, Trans TV
Swedia vs Korsel - Grup F (Nizhny Novgorod), 19:00 WIB, Trans TV
Belgia vs Panama - Grup G (Fisht Olympic), 22:00 WIB, Trans TV

Selasa, 19 Juni 2018
Tunisia vs Inggris - Grup G (Volgograd), 01:00 WIB, Trans TV
Kolombia vs Jepang - Grup H (Mordovia Arena), 17:00 WIB, Trans TV
Polandia vs Senegal - Grup H (Spartak), 22:00 WIB, Trans TV

Rabu, 20 Juni 2018
Rusia vs Mesir - Grup A (St Petersburg), 01:00 WIB, Trans TV
Portugal vs Maroko - Grup B (Luzhniki), 19:00 WIB, Trans TV
Uruguay vs Arab Saudi - Grup A (Rostov Arena), 22:00 WIB, Trans TV

Kamis, 21 Juni 2018
Iran vs Spanyol - Grup B (Kazan Arena), 01:00 WIB, Trans TV
Denmark vs Australia - Grup C (Samara Arena), 19:00 WIB, Trans TV
Prancis vs Peru - Grup C (Ekaterinburg Arena), 22:00 WIV, Trans TV

Jumat, 22 Juni 2018
Argentina vs Kroasia - Grup D (Nizhny Novgorod), 01:00 WIB, Trans TV
Brasil vs Kosta Rika - Grup E (Sat Petersburg), 19:00 WIB, Trans TV
Nigeria vs Islandia - Grup D (Volgograd), 22:00 WIB, Trans TV

Sabtu, 23 Juni 2018
Serbia vs Swiss - Grup E (Kaliningrad), 01:00 WIB, Trans TV
Belgia vs Tunisia - Grup B (Spartak), 19:00 WIB, Trans TV
Korsel vs Meksiko - Grup F (Rostov Arena), 22:00 WIB, Trans TV

Minggu, 24 Juni 2018
Jerman vs Swedia - Grup F (Fisht Olympic), 01:00 WIB, Trans TV
Inggris vs Panama - Grup G (Nizhny Novgorod), 19:00 WIB, Trans TV
Jepang vs Senegal - Grup H (Ekaterinburg Arena), 22:00 WIB, Trans TV

Senin, 25 Juni 2018
Polandia vs Kolombia - Grup H (Kazan Arena), 01:00 WIB, Trans TV
Arab Saudi vs Mesir - Grup A (Volgograd), 21:00 WIB, Trans 7
Uruguay vs Rusia - Grup A (Samara Arena), 21:00 WIB Trans TV

Selasa, 26 Juni 2018
Iran vs Portugal - Grup B (Mordovia Arena), 01:00 WIB, Trans 7
Spanyol vs Maroko - Grup B (Kaliningrad), 01:00 WIB, Trans TV
Australia vs Peru - Grup C (Fisht Olympic), 21:00 WIB, Trans 7
Denmark vs Prancis - Grup C (Luzhniki), 21:00 WIB, Trans TV

Rabu, 27 Juni 2018
Nigeria vs Argentina - Grup D (St Petersburg), 01:00 WIB, Trans TV
Islandia vs Kroasia - Grup D (Rostov Arena), 01:00, Trans 7
Korsel vs Jerman - Grup F (Kazan Arena), 21:00 WIB, Trans TV
Meksiko vs Swedia  - Grup F (Ekaterinburg Arena), 21:00 WIB, Trans 7

Kamis, 28 Juni 2018
Serbia vs Brasil - Grup E (Spartak), 01:00 WIB, Trans TV
Swiss vs Kosta Rika - Grup E (Nizhny Novgorod), 01:00 WIB, Trans 7
Jepang vs Polandia - Grup H (Volgograd), 21:00 WIB, Trans TV
Senegal vs Kolombia - Grup H (Samara Arena), 21:00 WIB, Trans 7

Jumat, 29 Juni 2018
Inggris vs Belgia - Grup G (Kaliningrad), 01:00 WIB, Trans TV
Panama vs Tunisia - Grup G (Mordovia Arena), 01:00 WIB, Trans 7

BABAK 16 BESAR
Sabtu, 30 Juni 2018
Juara Grup C vs Runner-up Grup D (Match 50, Kazan Arena), 21:00 WIB, Trans TV

Minggu, 1 Juli 2018
Juara Grup A vs Runner-up Grup B (Match 49, Fisht Olympic), 01:00 WIB, Trans TV
Juara Grup B vs Runner-up Grup A (Match 51, Luzhniki), 21:00 WIB, Trans TV

Senin, 2 Juli 2018
Juara Grup D vs Runner-up Grup C (Match 52, Nizhny Novgorod), 01:00 WIB, Trans TV
Juara Grup E vs Runner-up Grup F (Match 53, Samara Arena), 21:00 WIB, Trans TV

Selasa, 3 Juli 2018
Juara Grup G vs Runner-up Grup H (Match 54, Rostov Arena), 01:00 WIB, Trans TV
Juara Grup F vs Runner-up Grup E (Match 55, St Petersburg), 21:00 WIB Trans TV

Rabu, 4 Juli 2018
Juara Grup H vs Runner-up Grup G (Match 56, Spartak), 01:00 WIB, Trans TV

PEREMPAT FINAL
Jumat, 6 Juli 2018
Pemenang Match 49 vs Pemenang Match 50 (Match 57, Nizhny Novgorod), 21:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

Sabtu, 7 Juli 2018
Pemenang Match 53 Vs Pemenang Match 54 (Match 58, Kazan Arena), 01:00 WIB, Trans TV dan Trans 7
Pemenang Match 55 Vs Pemenang Match 56 (Match 60, Samara Arena), 01:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

Minggu, 8 Juli 2018
Pemenang Match 51 vs Pemenang Match 52 (Match 59, Fisht Olympic), 01:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

SEMIFINAL
Rabu, 11 Juli 2018
Pemenang Match 57 vs Pemenang Match 58 (Match 61, St Petersburg), 01:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

Kamis, 12 Juli 2018
Pemenang Match 59 vs Pemenang Match 60 (Match 62, Luzhniki), 01:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

PEREBUTAN TEMPAT KETIGA
Sabtu, 14 Juli 2018
Kalah Match 61 vs Kalah Match 62 (Match 63, St Petersburg), 21:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

FINAL
Minggu, 15 Juli 2018
Pemenang Match 61 vs Pemenang Match 62 (Luzhniki), 22:00 WIB, Trans TV dan Trans 7

*Jadwal sewaktu-waktu bisa berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya

StatusAceh.Net - Penyaluran beasiswa bantuan pendidikan Pemerintah Aceh tahun 2017 sarat masalah dan terindikasi korupsi. Hasil temuan Inspektorat Aceh menyebutkan mahasiswa yang menerima beasiswa tersebut berasal dari usulan 24 Anggota DPRA dan ada yang mengajukan permohonan secara mandiri. Jumlah yang diusulkan dewan dan permohonan mandiri mencapi 938 orang, terdiri 852 usulan dewan, dan 86 secara mandiri.

Berikut nama-nama 24 anggota DPRA, antara lain Iskandar Usman Al Farlaky sebesar Rp 7,930 miliar dengan 341 calon pemerima, Dedi Safrizal Rp 4,965 miliar untuk 221 orang, Rusli Rp 1,045 miliar untuk 42 orang, M Saleh Rp 1,470 miliar untuk 54 orang, Adam Mukhlis Rp 180 juta untuk 8 orang, Tgk Saifuddin Rp 500 juta untuk 19 orang, Asib Amin Rp 109 juta untuk 8 orang, T Hardarsyah Rp 222 juta untuk 10 orang, Zulfadhli Rp 100 juta untuk 4 orang, Siti Nahziah Rp 120 juta untuk 9 orang, Muhibbussubri Rp 135 juta untuk 21 orang.

Selanjutnya Jamidin Hamdani Rp 500 juta untuk 16 orang, Hendriyono Rp 204,7 juta untuk 25 orang, Yahdi Hasan Rp 534,4 juta untuk 18 orang, Zulfikar Lidan Rp 90 juta untuk 3 orang, Amiruddin Rp 58 juta untuk 2 orang, Ummi Kalsum Rp 220 juta untuk 9 orang, Jamaluddin T Muku Rp 490 juta untuk 14 orang, Muhibbussabri Rp 440 juta untuk 13 orang, Sulaiman Abda Rp 375 juta untuk 6 orang, Muharuddin Rp 50 juta untuk 2 orang, Asrizal H Asnawi Rp 80 juta untuk 2 orang, Azhari Rp 130 juta untuk 4 orang, Musannif Rp 30 juta untuk 1 orang dan terakhir Non Aspirator Rp 2,317 miliar untuk 86 orang.

Kemudian, setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, mahasiswa yang layak menerima beasiswa adalah 803 orang yang berasal dan jenjang pendidikan D3,D4, S1, S2, dam S3, serta Dokter Spesialis, yang tersebar di lembaga penyelenggaran pendidikan (LPP) baik dalam maupun luar negeri.

Di dalam DPA BPSDM anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 109,326,530,100 dengan realisasi Rp 96,060,881,083. Dari jumlah tersebut dialokasikan untuk pendidikan Rp 22,317,060,600 dengan realisasi Rp 19,854,000,000 miliar lebih.

Laporan Inspektorat tersebut, bantuan yang telah disalurkan mencapai 19,854,000.000 kepada 803 mahasiswa. Namun hasil konfirmasi terhadap 197 mahasiswa penerima Rp 5.209.000.00. Sementara Rp 1.147.500.000 diantaranya belum diterima oleh mahasiswa penerima, dan masih pada penghubung/koodinator.

Ada empat modus pemotongan yang dilakukan, yakni dana buku rekening dan ATM penerima dikuasai oleh penghubung. Modus lain, penghubung meminta uang secara tunai kepada mahasiswa, modus selanjutnya mahasiswa penerima mentransfer kepada penghunung, dan modus terakhir, penghubung membuat rekening atas nama mahasiswa tanpa sepengetahuan mahasiswa tersebut.

Dalam berita acara konfirmasi terhadap penerima beasiswa tersebut, pemotongan yang dilakukan dengan angka yang bervariatif mulai dari Rp 7 juta hingga 28 juta. Bahkan salah seorang mahasiswa mengaku memberikan uang tersebut kepada penghubung di komplek perumahan anggota DPRA.

Inspektorat mengalami hambatan dalam pemeriksaan, dimana rentang kendali (sebaran mahasiswa seluruh Indonesia dan luar negeri), media komunikasi (nomor kontak penerima tidak aktif lagi), komunikasi rektorat dengan mahasiswa terputus (mahasiswa tidak mengindahkan perintah rektor), phsikologis dari mahasiswa yakni mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tidak memberikan keterangan berdasarkan kondisi sebenarnya), terakhir komunikasi dengan penghubung tidak terbangun.

Baca Selanjutnya

Lhoksukon - Setelah dulu sukses membuat spanduk himbauan lucu di Aceh Besar, kini Kasatlantas Polres Aceh Utara Iptu.Sandy Titah Nugraha,SIK kembali meluncurkan cara unik dan kreatif untuk menghimbau masyarakat di kabupaten Aceh Utara dengan modifikasi dan tampilan yang lebih menarik, Puluhan Manneqin berbentuk Polantas berdiri di tepi jalan nasional Medan-Banda Aceh sambil memegang spanduk himbauan lucu.

Kapolres Aceh Utara melalui Kasatlantas Aceh Utara Iptu.Sandy Titah Nugraha,SIK mengatakan, Bahwasanya puluhan mannequin itu sendiri telah dibuat sehari yang lalu, dan sukses serta diapresiasi oleh masyarakat, 

Terbukti banyak masyarakat yang singgah dan berfoto selfie dengan puluhan manneqin-manneqin tersebut.

Selain itu, tujuan hal yang ingin kami capai adalah bagaimana masyarakat itu sendiri dapat tersentil dan malu melanggar lalulintas.


Disamping itu juga bagi pengendara yang merasa lelah, maka akan segar kembali saat melihat banyak polisi (manneqin) berdiri di tepi jalan sambil memegang spanduk himbauan.

Tidak mustahil masyarakat tersebut berhenti dan berfoto sejenak, sehingga tanpa disadari masyarakat telah beristirahat sejenak dalam menempuh perjalanan mudik.

Dan pada akhirnya dapat menekan angka kecelakaan itu sendiri.

Sandy menyebutkan, ada beberapa kalimat yang ditulis di spanduk tersebut, di antaranya, 

Lu “CINTA” Luna? Jangan deh, mendingan Lu “CINTA” nyawa wkwkwk.
Pah, jangan ngebut-ngebut, mama gak mau jadi janda kedua kalinya,
dan Cowok sejati gak punya “TIK TOK”, tapi punyanya SIM, STNK dan Buku Nikah, serta masih banyak lagi kata-kata yang meng-edukasi namun mengocok perut.

Ketika ditanya alasanya tidak kembali mengeluarkan spanduk himbauan, sandy menjawab bahwasanya hal itu sudah mainstream dan kami ingin membuat sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat bagi masyarakat,tutupnya.(Rill)

Banda Aceh - Terkait pemberitaan di beberapa media terkait dengan tertelan Kartu ATM Giro BRI atas nama Delky Nofrizal Qutni pada mesin ATM BRI Unsyiah  ( terminal ID: 736 ) dan atas ketidaknyamanan tersebut.

"Alhamdulillah pihak Bank BRI Kantor Cabang Banda Aceh sudah menghubungi saya untuk melakukan klarifikasi terkait hal tersebut. Saya sudah bertemu langsung dengan selaku Pemimpin Cabang," ungkap Direktur Yayasan Aceh Kreatif (AK) Delky kepada media

Pihak Bank BRI, kata Delky, sudah meminta maaf atas ketidaknyamanan dan  kerusakan mesin ATM  BRI Unsyiah ( terjadi gangguan sesaat pada jaringan ATM ), pihak Bank BRI sudah berkoordinasi dengan pihak Vendor untuk melakukan crosscheck error  pada mesin ATM tersebut yang menyebabkan kartu ATM nasabah tertelan.

"Saat ini saya telah difasilitasi untuk dibuatkan kartu ATM giro baru, sesuai dengan Prosedur Pelayanan, khusus untuk kartu  ATM Giro apabila kartu ATM tertelan atau ekpired maka pencetakan kartu baru harus dilakukan di unit kerja asal pada saat pembukaan rekening," jelasnya.

Mantan aktivis FPMPA itu melanjutkan, untuk memudahkan transaksi di masa yang akan datang, dirinya juga sudah disarankan menggunakan Internet Banking BRI, sehingga lebih mudah dalam melakukan transaksi kapan saja dan dimasa saja, tidak perlu harus mendatangi kantor bank atau device – device e chanel lainnya, dan pada saat pembuatan kartu ATM giro baru tsb dirinya langsung melakukan aktivasi internet Banking BRI.

"Kita apresisasi respon cepat pimpinan BRI cabang Banda Aceh. Orangnya baik, ramah dan lebih komunikatif. Sosok yang seperti ini lah yang seyogyanya diperbanyak di BRI dan perusahaan BUMN lainnya yang berhubungan dengan masyarakat. Begitu ada persoalan dapat merespon secara cepat, sudah seyogyanya Bank Rakyat itu dikendalikan oleh orang-orang merakyat seperti Pak Ali Akbar ini," kata aktivis muda Aceh itu.

Selain itu, dalam hal ini dirinya juga menyampakan maaf kepada pihak Bank BRI Banda Aceh atas ketidaknyaman dalam masalah ini khususnya juga kepada Bapak Suprajarto selaku Direktur Utama Bank BRI yang  telah kami catutkan namanya dalam pemberitaan tersebut.

"Alhamdulillah, masalah ini sudah kami selesaikan secara kekeluargaan dan ini hanya miss komunikasi saja dengan pihak petugas BRI. Pesan saya ke Pak Dirut, Orang-orang yang santun, responsif, bijaksana dan merakyat seperti Pak Ali Akbar ini diperbanyak lagi di BRI, sehingga BRI sebagai perusahaan BUMN semakin dekat di hati masyarakat," tandasnya. [Rill]

StatusAceh.Net - Hamil pada usia senja adalah peristiwa yang tak lazim bagi perempuan. Namun, itulah yang terjadi pada Nenek Manih, warga Mekarsari, Cileungsi, Bogor Timur, Kabupaten Bogor.

Manih sudah berusia 78 tahun. Ia sempat membuat heboh jagat media sosial Indonesia pada tahun lalu. Itu ketika dirinya dinikahi seorang pemuda berusia 21 tahun bernama Ade Irawan, September 2017.

Selang sembilan bulan sejak pernikahan, Nenek Manih kembali mengejutkan warganet, setelah videonya yang mengakui hamil viral di media sosial.

Video tersebut disebar oleh akun Facebook Yuni Rusmini, Senin (11/6/2018). Dalam video itu, Nenek Manih mengakui hamil 7 bulan.

Dalam video tersebut, sang suami mengakui bersyukur kepada Tuhan atas kehamilan Nenek Manih. “Tepat setelah lebaran ini, usia calon anak kami genap 7 bulan,” tuturnya.

Video tersebut justru menjadi bahan perdebatan warganet. Sebagian merasa heran karena Nenek Manih yang sudah berusia 78 tahun masih bisa hamil ketika banyak perempuan seusianya sudah menopause.

Namun, ada pula warganet yang tak memedulikan fakta unik tersebut, dan memilih mendoakan agar Nenek Manih dan anak dalam kandungannya selalu sehat sampai persalinan nanti.

Sumber: suara.com

Kiri-kanan (atas): Sultanah Safiyatuddin dan Sultanah Nakiatuddin. Kiri-kanan (bawah): Sultanan Zakiyatuddin dan Sultanah Kamal Shah. Foto: Repro "59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu."
KITAB Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari menyatakan seorang raja haruslah laki-laki. Namun, justru di Acehlah tempat kitab itu disusun pada awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik takhta sesudah tahun 1641.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana.

Namun, bila diperlukan, misalnya untuk menghindari perang saudara, seorang putri raja dapat menggantikan ayahnya. Ia tak boleh tampil dan harus tetap tersembunyi di belakang tirai apabila hendak berbicara dengan menteri-menterinya.

Itu seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiyatuddin, sultanah pertama Kesultanan Aceh yang memerintah sejak 1641-1675 M. Dia menggantikan suaminya, Iskandar Thani yang wafat.

Putri Iskandar Muda ini, tulis Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, menjalankan pemerintahan yang lebih lunak. Perubahan-perubahan mendasar terjadi dalam kekuasannya. Ini akhirnya melahirkan struktur kerajaan yang sangat berbeda. Misalnya, dia memerintahkan untuk membuka semua pusat pendidikan tak cuma untuk laki-laki.

“Ratu menganjurkan, bahkan kadangkala mewajibkan kaum perempuan belajar,” tulis A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu.

Menurut Reid, sumber dari dalam maupun dari luar mengatakan Aceh di bawah pemerintahannya sangat tertib dan makmur. Dia pun berhasil menciptakan iklim yang sangat menguntungkan bagi pedagang luar negeri.

Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa sultanah menerapkan hukum yang keras, seperti hukuman mati kepada orang yang mencuri milik kesultanan. Pieter Willemsz, pegawai Belanda yang berada di Aceh pada 1642, menyaksikan seorang penduduk Aceh dihukum mati karena mencuri seekor kuda kerajaan.

Berdasarkan kesaksian Caspar Schmalkalden, seorang Jerman yang berkunjung ke Aceh pada 1647, hukum pencurian umum dibagi menjadi pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil biasanya diganjar dengan potong hidung atau kuping. Sedangkan pencurian besar dihukum dengan potong tangan dan kaki. Oleh karena itu, di jalanan Aceh, dia melihat banyak orang Aceh tak punya tangan dan kaki karena mencuri. Meski begitu mereka bisa berdiri, berjalan, bahkan berjoget dengan bantuan tongkat bambu.

Sultanah ke-14 itu juga menerapkan hukum yang ketat bagi para pemabuk. Menurut catatan Jacob Compostel, seorang utusan Belanda di Aceh, seorang Eropa dipotong tangannya karena ketahuan mabuk-mabukan di Kota Aceh. Bahkan, sultanah menghukum dua orang Aceh yang mabuk-mabukan dengan menyuruh mereka menelan timah panas.

Setelah Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin yang memerintah sejak 1675-1678.

Menurut Hasjmy dia mendapat tekanan kaum wujudiyah yang diperalat golongan politik tertentu yang ingin menduduki kursi kesultanan. Kaum wujudiyah menghanguskan istana dan Masjid Baitur Rahman serta sebagian besar Kota Banda Aceh. Sabotase ini membuat pemerintahannya lumpuh.

Untuk memperkuat kedudukannya,Nakiyatuddin merombak beberapa pasal dalam Kanun Meukuta Alam atau Undang-Undang Dasar Kerajaan. Dia juga menerapkan hukum yang tak jauh berbeda, khususnya pada kasus pencurian. Hukuman mati, potong tangan dan kaki tetap berlaku.

Setelah Nakiyatuddin mangkat, Inayat Syah Zakiyatuddin menggantikannya sejak 1678-1688. Menurut Hasjmy sebagaimana Sultanah Safiatuddin mempersiapkan Nakiatuddin untuk menggantikannya, Nakiatuddin juga mempersiapkan Zakiyatuddin menjadi sultanah. Mereka semua dididik dalam keraton dengan berbagai ilmu termasuk ilmu hukum, sejarah, filsafat, kesusastraan, agama Islam, Bahasa Arab, Persia, dan Spanyol.

Ketika memerintah, Zakiyatuddin mengikat perjanjian persahabatan dengan negara tetangga untuk saling bantu melumpuhkan kekuasaan VOC. Dia juga bertindak cepat memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

William Dampier, orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1688, mencatat Zakiyatuddin menerapkan hukuman yang berbeda. Jika seseorang mencuri untuk pertama kalinya dan tanpa kekerasan, dia hanya dihukum cambuk. Sementara jika dengan kekerasan dan nilai curiannya besar, hukumannya potong anggota badan sampai diasingkan seumur hidup. Sultanah ke-16 ini meniadakan hukum kisas. Ia memilih menjalankan hukum adat, yaitu hukum sula (mati).

Zakiyatuddin meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Tak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat, pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan Orang Kaya.

“Empat Orang Kaya yang tinggal jauh dari istana mengangkat senjata menantang ratu yang baru dan para Orang Kaya yang lain dan membawa pasukan sekira 5000 atau 6000 menyerang ibu kota,” tulis Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, mengutip William Dampier.

Opisisi itu menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki. Namun, sang ratu mengundurkan diri pada 1699 bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala.

“Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid.

Menurut Amirul Hadi, tak ada aturan baku yang jadi pedoman perihal apakah perempuan boleh naik takhta atau tidak. Kekaburan aturan ini justru memberi ruang yang fleksibel dalam suksesi raja-raja Aceh.

Dari sejarahnya, Reid menekankan, peran perempuan di kawasan ini memang sangat besar. Ini menjadi modal utama dalam membentuk watak masyarakat yang toleran terhadap pemerintahan ratu.

“Masyarakat Austronesia, termasuk Polinesia, Madagaskar, sebagaimana juga Indonesia dan Filipina barangkali lebih cenderung menempatkan perempuan dari keluarga bangsawan di singgasana daripada masyarakat di tempat lain,” tulisnya.

Pendapat Reid itu ada buktinya. Antara paruh kedua abad ke-14 dan paruh pertama abad ke-15, Samudra Pasai diperintah oleh dua ratu: Nur Ilah yang wafat pada 1380 M dan Nahrasiyyah yang wafat pada 1428 M. Sejak abad ke-14, Kerajaan Bone di Sulawesi juga diperintah oleh enam ratu. Sementara Kesultanan Malaka tidak pernah menempatkan perempuan pada pemerintahan tertinggi.

“Bukti-bukti historis ini juga yang akhirnya menjadi dasar kuat mengklaim, pemerintahan perempuan di kawasan ini merupakan fenomena biasa,” lanjut Amirul Hadi.(*)

StatusAceh.Net - Uskup Sophronius tergopoh-gopoh menyambut Umar bin Khattab di Yerusalem. Pemimpin Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) itu terkejut begitu melihat sosok Umar. Pakaiannya amat sederhana, bahkan tambal-sulam penuh jahitan, tak seperti yang dibayangkan bahwa orang itu adalah khalifah yang amat disegani karena keberaniannya.

Dikutip dari tulisan Mustafa Murrad dalam Kisah Hidup Umar ibn Khattab (2009), khalifah kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad itu memang datang ke Yerusalem tanpa iring-iringan pasukan. Uskup Sophronius semakin takjub lantaran Umar berjalan kaki, bersama seekor unta yang justru dinaiki oleh pengawalnya.

Sama seperti Sophronius, orang-orang Kristiani yang turut menyaksikan kedatangan Umar ikut terperangah. Di depan umatnya itu, Sophronius berucap dengan suara gemetar penuh takzim, “Lihatlah, sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial Sang Nabi ketika ia datang ke tempat ini.” (hlm. 95).

Ketika waktu sembahyang tiba, Uskup Sophronius menawarkan kepada Umar bin Khattab untuk menunaikan salat di dalam Gereja Makam Kudus yang amat disakralkan oleh umat Kristiani itu. Tapi, Umar menolak.

Menaklukkan Yerusalem
Bukan tanpa alasan Umar bin Khattab datang ke Yerusalem dengan berjalan kaki pada 637 Masehi itu. Usai memperoleh kabar bahwa Uskup Sophronius selaku juru kunci Gereja Makam Kudus ingin bertemu langsung dengannya, Umar langsung mempersiapkan seekor unta untuk berangkat.

Umar juga meminta kepada Aslam, seorang hamba yang telah dimerdekakan, untuk menemani perjalanannya. Lantaran hanya membawa seekor unta, maka Umar dan Aslam menaikinya secara bergantian. Nah, saat hendak memasuki Kota Yerusalem, Umar mendapat giliran berjalan kaki.

Aslam sebetulnya sudah memohon kepada tuannya itu agar menaiki unta demi menjaga wibawa sebagai pemimpin besar yang datang untuk mengambil-alih kota suci. Namun Umar menolak karena saat itu giliran Aslam yang naik unta.

Sesaat setelah memasuki pintu gerbang kota, penduduk Yerusalem bergegas menyambut dan memberi hormat kepada orang yang duduk di atas unta itu (Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad, 2012: 95). Mereka mengira Aslam adalah sang khalifah, sedangkan Umar pengawalnya. Tentu saja Aslam merasa canggung dan berusaha memberikan penjelasan bahwa ia bukanlah khalifah yang dimaksud.

Penjelasan dari Uskup Sophronius membuka tabir bahwa lelaki berbadan kekar berpakaian sederhana dan datang dengan berjalan kaki itulah sang Khalifah Umar bin Khattab.

Umar datang ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota suci itu dari Uskup Sophronius. Sebelumnya, Yerusalem masih berstatus tanah sengketa antara Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) yang beribukota di Konstantinopel (Istanbul) dan Kekhalifahan Rasyidin yang berpusat di Madinah.

Di kota yang dianggap suci bagi tiga agama sawami (Yahudi, Kristen, Islam) ini, terdapat Gereja Makam Kudus. Uskup Sophronius adalah pengampu otoritasnya, baik secara agama maupun politik, mewakili Kekaisaran Byzantium.

Pada November 636 M, pasukan muslim yang dipimpin Abu Ubaidah berhasil mengepung Yerusalem (Ahmad D. Marimba, Rangkaian Cerita dari Sejarah Islam, 1962: 59). Pengepungan berlangsung selama enam bulan sebelum akhirnya Uskup Sophronius angkat tangan. Namun, Sophronius hanya bersedia menyerahkan hak atas Yerusalem kepada Umar bin Khattab.

Menolak Salat di Gereja
Setelah menyerahkan kunci gerbang Yerusalem kepada Umar bin Khattab, Uskup Sophronius kemudian mengajak khalifah berjuluk Amir al-Mu`miniin (Pemimpin Orang-orang Beriman) ini berkeliling kota dan memasuki kompleks Gereja Makam Kudus.

Tepat siang hari, tibalah waktunya Salat Dzuhur. Uskup Sophronius pun mempersilakan Umar untuk menunaikan ibadah wajib itu di dalam gereja. Namun, Umar menampik dengan halus. Bukan terkait hukum boleh atau tidaknya orang Islam menjalankan salat di tempat ibadah pemeluk agama lain, termasuk gereja, namun Umar ternyata punya alasan yang jelas dan tegas perihal ini.

“Jika saya mendirikan salat di dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai masjid,” demikian alasan Umar (Murrad, 2009: 96).

Umar menilai Gereja Makam Kudus sangat sakral bagi orang-orang Nasrani. Umat Kristiani percaya bahwa di situlah Yesus disalibkan dan dibangkitkan, sehingga tempat itu menjadi tujuan ziarah sejak abad ke-4 Masehi.

Jika salat di dalam gereja itu, pikir Umar, ia akan merasa menzalimi umat Kristiani. Itu artinya, di masa depan Gereja Makam Kudus bisa saja dihancurkan. Seperti dikutip dari buku Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk (2003) karya Karen Armstrong, pemusnahan tak boleh terjadi, karena bagi Umar, tempat ibadah orang Kristen harus dilestarikan (hlm. 92).

Kepada Uskup Sophronius, Umar minta ditunjukkan lokasi reruntuhan Kuil Sulaiman atau Kuil Herod. Oleh Sophronius diantarkanlah Umar ke tempat yang terletak di seberang Gereja Makam Kudus. Setelah membersihkan tempat yang sangat tidak terurus itu, Khalifah Umar menunaikan Salat Dzuhur.

Di kawasan ini pula, nantinya berdiri masjid yang diberi nama Masjid Umar (Mosque of Omar). Dibangun tahun 1193 oleh Sultan Al Afdal, putra Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pendiri Dinasti Ayyubiyyah yang menguasai sebagian Timur Tengah dan Mesir, untuk mengenang peristiwa tersebut (Jerome Murphy O’Connor, The Holy Land, 2008: 62).

Namun, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa lokasi dibangunnya Masjid Umar berbeda dengan tempat di mana Umar bin Khattab menunaikan salat. Masjid ini terletak di sebelah selatan Gereja Makam Suci, sementara prasasti bekas reruntuhan Kuil Herod yang digunakan Umar untuk salat berada di sebelah timur gereja.

Pelindung Segala Umat
Umar bin Khattab memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat pemberani dan tidak segan-segan menghunus pedang untuk menghadapi musuh. Namun di balik sikap kerasnya, ternyata tersimpan sifat welas asih.

Hal tersebut terlihat dalam peristiwa bersejarah di Yerusalem pada 637 M itu. Setelah menunaikan salat di bekas reruntuhan Kuil Herod, Umar menyepakati perjanjian dengan Uskup Sophronius. Yerusalem takluk kepada kepemimpinan Islam, namun Umar berjanji akan menjamin keamanan dan keselamatan warga Yerusalem yang kala itu mayoritasnya memeluk Kristen.

Tak tanggung-tanggung, Umar menjanjikan jaminan keamanan jiwa, harta, bahkan gereja-gereja dan simbol-simbol Kristen lainnya. Warga Yerusalem tidak akan dipaksa meninggalkan agama dan dilindungi hak-haknya.

Untuk meminimalisir potensi konflik antar-umat beragama, sepeti dikutip dari sebuah artikel dalam jurnal Media Dakwah (2002) Umar kemudian membagi wilayah tersebut menjadi empat, yakni untuk orang-orang Armenia, serta para pemeluk Kristen, Yahudi, dan Islam (hlm. 42).

Setelah menolak menunaikan salat di dalam Gereja Makam Kudus pada 637 M itu demi melindungi tempat suci kaum Kristiani, Umar bin Khattab kemudian menetapkan peraturan yang menyatakan bahwa umat Islam dilarang menjalankan ibadahnya di gereja.

Hasilnya, sebagaimana diungkapkan oleh Hugh Kennedy dalam buku Penaklukan Muslim yang Mengubah Dunia (2015), gereja tetap berada di tangan orang Kristen, tidak direbut oleh orang Islam yang kemungkinan akan mengubahnya jadi masjid, seperti yang dikhawatirkan Umar (hlm. 114).

Umar bin Khattab, khalifah perkasa berjuluk Singa Padang Pasir itu, sekali lagi, ternyata memiliki rasa toleransi yang amat tinggi. Bukan saja pada sesama muslim, namun juga terhadap pemeluk agama lain. Sahabat Rasulullah paling pemberani ini pantas disebut sebagai pelindung segala umat, khususnya setelah penaklukkan Yerusalem yang merupakan tempat suci bagi pemeluk Yahudi, Kristen, juga Islam.(*)
 
Baca di SUMBER

StatusAceh.Net - Lagi seekor gajah dibunuh orang tak dikenal di Aceh. Bunta demikian nama gajah yang berjasa menjaga pemukiman penduduk dari serangan gajah liar, justru dibunuh dengan menggunakan racun. 

Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo membuat sayembara kepada seluruh masyarakat serta pihak mana pun bahwa pihaknya akan memberikan hadiah 10 juta rupiah kepada siapapun yang bisa memberikan informasi akurat terhadap pelaku pembunuh Gajah Bunta ini.

Hari ini Kepolisian Resort Aceh Timur melakukan identifikasi dan otopsi terhadap bangkai Gajah Bunta yang mati dibunuh orang tak dikenal dengan mengunakan racun di care respon unit (CRU) Serbajadi Aceh Timur.

Dari proses identifikasi terlihat bangkai gajah jantan yang itu sebagian wajahnya hilang bersama sebuah gading.

Merespon informasi itu tim gabungan BKSDA Aceh dan pihak kepolisian langsung menuju kelokasi untuk menyelidiki akibat kematian gajah jinak tersebut.

Gajah Bunta yang mati itu merupakan gajah yang sudah terlatih untuk mengiring gajah liar yang masuk kepemukiman warga, gajah yang berusia 27 tahun itu bernama Bunta, singkatan dari bungong unta. Gajah Bunta telah berada di Serbajadi sejak tahun 2016 silam, namun naas tahun 2018 ia diburu di rumahnya sendiri.

"Pelaku diduga membunuh gajah tersebut dengan memasukkan racun dalam makanan. Tim saat ini sedang melakukan penyelidikan," kata Kapolres Aceh Timur AKBP Wahyu Kuncoro, Minggu (10/6/2018).

Pembunuhan gajah jantan tersebut dilakukan pada Sabtu (9/6) kemarin sekitar pukul 08.00 WIB. Polisi menduga pelaku datang ke CRU Serbajadi dan selanjutnya memberikan pisang dan mangga yang sudah ditaruh racun ke gajah.

Setelah hewan bertubuh besar ambruk, pelaku kemudian memotong pipi gajah untuk diambil gadingnya. Aksi pembunuhan gajah jinak ini baru diketahui setelah mahout (pawang gajah) datang ke lokasi.

"Pada saat mahout sampai ke lokasi ia melihat gajah sudah mati dan salah satu gadingnya hilang," jelas Wahyu.

Chicco Jerikho mendukung petisi yang meminta pemerintah mengusut pembunuhan gajah di Aceh. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
StatusAceh.Net - Pembunuhan gajah jinak bernama Bunta di Aceh turut menarik perhatian para pesohor di Indonesia. Mereka menyatakan sikap dan ungkapan kesedihan karena pembunuhan sadis yang menyebabkan hilangnya salah satu gading milik gajah tersebut.

Sejumlah selebriti termasuk Chicco Jerikho, Arifin Putra, Wulan Guritno, Baim Wong, Ammar Zoni, Irish Bella, Melly Goeslaw, Putri Marino, Rio Dewanto serta Daniel Mananta pun menuntut diadakannya pengusutan atas kejadian itu, melalui media sosial.

Permintaan pengusutan pembunuhan gajah Bunta dari Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi di Aceh Timur pertama digagas oleh ulama perempuan dari Aceh, Teungku Nurhayati. Para selebriti yang peduli pun mengajak penggemar mendukung petisi itu.

Petisi meminta pengusutan kasus pembunuhan gajah Bunta dan meminta pemerintah Indonesia segera merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragahayati dan Ekosistem terkait penerapan hukuman yang berat bagi pembunuh satwa. Dalam 24 jam petisi yang dikeluarkan di Change.org itu telah mendapat dukungan lebih dari 7000 orang.

Chicco Jerikho sudah menuliskan dukungannya melalui Instagram Story sejak pekan lalu.

"Buat saya ini tidak bisa dibiarkan, sudah banyak kasus gajah mati dan akhirnya hilang begitu saja, padahal gajah adalah aset negara. Sekarang ini jumlahnya sudah sangat kritis. Perlu ada efek jera bagi para pemburu gading ini," tulisnya pada keterangan.

Bintang Fiosofi Kopi itu mengapresiasi kepala BKSDA Aceh yang segera mengambil tindakan dan menjanjikan hadiah bagi siapa saja yang memberikan informasi tentang pembunuh Bunta.

"Saya berharap DPR juga segera merevisi UU No. 5 Tahun 1990 agar tidak ada lagi Bunta-Bunta lain yang mengalami nasib yang sama," lanjutnya.

Artis peran Baim Wong juga menyatakan kesedihannya.

"Sungguh menyedihkan di bulan Ramadaan ini, kita malah mendapat kabar pembunuhan Bunta, dimana seharusnya adalah ajang memperbaiki diri. Saya berharap pembunuh Bunta segera ditemukan, dan mendapatkan hukuman yang setimpal," katanya dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com.

Dukungan lain disampaikan Wulan Guritno, Arifin Putra, Melly Goeslaw, Putri Marino, Rio Dewanto serta Daniel Mananta dengan mengunggah ulang unggahan WWF.

Baca Selanjutnya
loading...

Contact Form

Name

Email *

Message *

StatusAceh.Net. Theme images by i-bob. Powered by Blogger.