|
Ilustrasi |
StatusAceh.Net - Kisah kelam Pilkada Aceh tahun 2012 yang merenggut puluhan nyawa masih terserat di bumi serambi mekkah, pasalnya peristiwa tersebut terjadi setelah Aceh melewati masa konflik dan dalam status damai.
Dari rerimbun semak, Kamaruddin menyaksikan satu demi satu kendaraan melintasi jalur Pegunungan Geureutee, Aceh Besar, pada Jumat sore tahun 2012 yang lalu. Hingga konvoi belasan mobil itu menghilang, yang dicarinya tak terlihat: jip Wrangler Rubicon hijau lumut.
Pria yang biasa dipanggil Mayor itu menyimpulkan, Irwandi Yusuf, si empunya mobil, tak ikut dalam iring-iringan. Ketika menjabat Gubernur Aceh, Irwandi sendiri yang kerap menyetir jip itu.
Tak menemukan Rubicon pada Jumat sore itu, Kamaruddin urung memijit sakelar bom di tangannya.
“Pak Irwandi memang tak ada dalam konvoi,” kata Thamren Ananda, yang juga orang dekat Irwandi, pada waktu itu.
Menurut Thamren, semula Irwandi berencana menghadiri pemakaman Tengku Abuya Muhibuddin Waly al-Khalidi di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Sang ulama wafat dua hari sebelumnya.
Irwandi mendengar bakal ada yang mencelakainya di tengah jalan Meulaboh-Banda Aceh itu. Kepada orang-orang yang menanyainya, Irwandi bilang tetap akan pergi ke Labuhan Haji. “Tapi, ketika mau berangkat, Pak Irwandi malah pulang ke rumah,” ujar Thamren.
Informasi itu tak sampai ke telinga Mayor. Bersama Mansur alias Mancuk, Rizal Mustaqim, Usria alias Us, Sulaiman alias Ule Bara, dan Jamaluddin alias Dugok, ia tetap menunggu Irwandi di jalan itu. Selain menanam empat bom pipa, keenam orang itu menyiapkan dua AK-47.
“Untuk menyiram konvoi setelah bom meledak,” kata laki-laki 30 tahun itu ketika diperiksa polisi, seperti ditirukan penyidik di Kepolisian Daerah Aceh.
Menurut sumber itu, setelah konvoi lewat, Kamaruddin dan kawan-kawan mendengar kabar baru: sebetulnya Irwandi ikut dalam rombongan, tapi menunggang mobil lain. Merutuki kekeliruannya, Kamaruddin berkukuh menjalankan rencana semula.
Bom akan diledakkan malam itu, ketika rombongan pulang dari Labuhan Haji. Mayor meminta Mansur dan Rizal Mustaqim menemaninya. Adapun Usria, Sulaiman, dan Jamaluddin, ia suruh pulang ke Aceh Utara, kampung mereka.
Ditunggu hingga lewat tengah malam, iring-iringan mobil yang tadi tak terlihat melintas lagi.
“Rombongan pulang mengambil jalan lain,” kata polisi. Gagal lagi, Kamaruddin mengubur dua senapan AK-47 tak jauh dari lokasi bom ditanam. Kamaruddin dan dua anaknya meluncur ke arah Banda Aceh dengan Daihatsu Terios hitam, senjata itu baru ditemukan polisi.
Malam itu polisi bergerak cepat. Sekitar pukul 02.00, Sabtu dinihari, Terios hitam disergap di Desa Meunasah Lhok, Lhoong, Aceh Besar, tak jauh dari titik jalan yang ditanami bom.
Dengan kedua tangan tergari ke belakang, Mayor kabur ketika hendak digiring ke mobil. Ia ditangkap warga Meunasah, yang menyangka ia pencuri yang kabur dari kantor polisi, tak lama kemudian.
Terpisah ratusan kilometer, subuh itu polisi juga menangkap Usria, Sulaiman, dan Jamaluddin, yang baru tiba di Aceh Utara. Dua hari kemudian, mereka berenam diterbangkan ke Jakarta.
Setelah insiden bom gagal itu, teror di Aceh sepanjang Desember-Januari lalu mulai terurai.
Kepada polisi, kelompok Kamaruddin mengaku sebagai pelaku penembakan di mes Telkom, Bireuen, pada 31 Desember tahun lalu. Ketika itu sepuluh penggali kabel dihujani peluru..
Tiga tewas, sisanya harus menginap di rumah sakit karena luka tembak. Kelompok Kamaruddin juga mengaku terlibat dalam empat penembakan lainnya.
Menenteng AK-47, yang belakangan dikubur di Aceh Besar, Kamaruddin dan Jamaluddin menjadi eksekutor dalam setiap penembakan. Kepada polisi, mereka mengatakan senapan berasal dari zaman sebelum perjanjian Helsinki.
Dia merencanakan dan memilih targetnya di sebuah rumah toko di Cot Matahe, Aceh Utara—lokasi penangkapan Usria, Sulaiman, dan Jamaluddin. Di sana pula pembunuhan Tengku Agam—panggilan Irwandi—direncanakan.
Dari sinilah muncul nama Vikram Hasbi alias Ayah Banta. Menurut polisi, Vikram otak pengeboman yang gagal di Aceh Besar.
Pada akhir Februari hingga awal Maret, di rumah toko Cot Matahe, Vikram bersama Kamaruddin, Jamaluddin, Rizal, dan Mansyur meracik empat bom pipa—panjang 50 sentimeter dan berdiameter 15 sentimeter—yang bisa diledakkan dari jarak jauh dengan sakelar yang dihubungkan kabel. Vikram pula yang menanggung biaya perakitan bom.
Irwandi Yusuf mengatakan rencana pengeboman dan teror belakangan ini dilakukan musuh-musuh politiknya untuk menyingkirkannya dari pemilihan Gubernur Aceh.
Itu dikatakannya di depan ribuan pendukungnya di Peusangan, Bireuen, pada waktu itu yang mencalonkan diri sebagai gubernur Aceh melalui jalur independen .“Mereka merencanakan pembunuhan terhadap saya,” katanya.
Setelah Kamaruddin dan kawan-kawan diringkus, Vikram seolah-olah ditelan bumi. Ia tak pernah terlihat lagi dalam acara-acara partai, termasuk kampanye calon gubernur Partai Aceh, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf pada waktu itu.
Sehingga sejumlah anak buah Vikram yang dikontak Tempo bungkam soal keberadaan bosnya. Ketua Partai Aceh Utara Tengku Zulkarnaini Hamzah irit bicara mengenai keterlibatan Vikram dalam sejumlah teror. “Saya tidak tahu soal itu,” katanya singkat.
Pengurus pusat Partai Aceh yang juga wakil ketua fraksi partai itu di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Abdullah Saleh, menyangkal keberadaan Vikram di partainya.
“Saya tak ingat orangnya yang mana,” ujarnya. Ia mengatakan tak ada perintah partai untuk menakut-nakuti kontestan lain menjelang pemilihan Gubernur Aceh.
Kandidat dan Rekam Jejak pada tahun 2012.
Adapun kandidat yang berlaga dalam tarung demokrasi hari ini di Aceh, mengutip reportase rekan jurnalis Tempo, A. Warsidi, sbb:
1. Tgk Ahmad Tajuddin – Teuku Suriansyah Ahmad Tajuddin, dikenal sebagai mubaliq sekaligus pemilik pesantren di Desa Lampisang, Kecamatan Seulimun, Aceh Besar. Lahir 15 September 1962, Tajuddin mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh lewat jalur independen. Ia mengandeng Teuku Suriansyah, mantan anggota MPR asal Aceh periode 1987 - 1999 asal Lhokseumawe, 1 Mei 1954.
Suriansyah pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Kertas Kraft Aceh (2002 – 2007). Dia juga pernah menjadi penasihat presiden untuk urusan Aceh pada tahun 2000. Jabatannya terakhirnya adalah Anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
2. Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan Irwandi Yusuf adalah calon incumbent. Lelaki kelahiran Bireuen, 2 Agustus 1960, menamatkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Bergelar dokter hewan pada tahun 1987, Irwandi menjadi dosen di fakultas yang sama pada tahun 1989. Bekas Staff Khusus Psy-war Komando Pusat GAM pada 1998-2001 ini pernah dipercaya sebagai Senior Representatif GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM), lembaga pemantau perdamaian Aceh. Berduet dengan Muhammad Nazar, pada Desember 2006, Irwandi memenangkan Pemilihan Gubernur Aceh. Dia mengakhiri tugasnya pada 8 Februari lalu dan berniat maju kembali untuk periode 2012 – 2017.
Menggandeng Muhyan Yunan, mantan Kepala Dinas Cipta Karya dan Bina Marga Aceh, Irwandi maju via jalur independen. Muhyan sendiri adalah lelaki kelahiran Meukek, Aceh Selatan pada 9 Juni 1953. Muhyan, master dari University of Strathclyde Glasgow United Kongdom Scotlandia tahun 1993 ini adalah aktivis KOSGORO Aceh.
3. Darni M Daud MA – Ahmad Fauzi Darni Daud, lelaki asal Pidie, 25 Juli 1961 silam ini adalah Rektor Universitas Syiah Kuala. Besar di Desa Bandar Dua, Pidie (sekarang Pidie Jaya), Darni yang juga doktor lulusan Oregon State University, Corvallis, USA ini menjadi Rektor Unsyiah sejak 2006 silam. Mencalonkan diri menjadi gubernur Aceh, dari jalur independen,
Darni memilih mengandeng Ahmad Fauzi, saat ini beraktivitas sebagai Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh.
4. Muhammad Nazar – Nova Iriansyah Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar maju lagi. Tak bersama Irwandi, Nazar yang dijagokan Partai Demokrat, PPP dan Partai SIRA ini pecah kongsi dengan Irwandi. Lelaki kelahiran Ulim-Pidie 1 Juli 1973 itu dua kali menjadi tahanan politik semasa Aceh menuntut referendum digelar di Aceh. Nazar bebas sebagai tahanan politik pada 31 Agustus 2005, sebagai implementasi dari MoU Helsinki, untuk memberikan amnesty kepada seluruh tahanan politik yang terkait dengan GAM. Nova lahir di Banda Aceh pada 22 November 1963. Sebelum menjadi anggota dewan di senayan, dia menjadi dosen Teknik Arsitektur di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
4. Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf Diusung Partai Aceh, Zaini Abdullah adalah eks pentolan Gerakan Aceh Merdeka. Dalam pemilihan kali ini, Zaini berduet dengan Muzakkir Manaf, mantan Panglima GAM. Lahir di Desa Teureube, Kecamatan Kota Bakti, Pidie pada 24 April 1940, Zaini adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tahun 1972. Perjuangannya bersama GAM membuatnya meninggalkan Aceh tahun 1981 ke Swedia bersama Hasan Tiro. Menjadi buron pemerintah Indonesia, di Swedia, Zaini bekerja sebagai dokter dan mengkampanyekan perjuangan GAM di luar negari. Sejak Aceh berdamai, 15 Agustus 2005, Zaini kembali ke Aceh dan menjadi warga Indonesia sejak 2010 silam. Jelang Pilkada, dia dipilih oleh partai untuk maju menjadi Gubernur Aceh.
Muzakkir Manaf, wakilnya, adalah anak Sueneudon, Aceh Utara. Muzakkir yang juga eks panglima GAM mendapatkan pendidikan militer di Libya Maktabah Tanjura pada tahun 1986 – 1989. Tahun 2002, Muzakkir menjadi Panglima GAM menggantikan Alm Abdullah Syafie yang meninggal dalam kontak tembak. Masa damai, Muzakkir memimpin Komite Peralihan Aceh dan pada pertengahan 2007, Muzakkir ditampuk sebagai Ketua Umum Partai. (dikutip dari majalah tempo)
Saiful Cagee Ditembak oleh Mayor
Seperti dilansir serambinews.com, 27 November 2012 tahun lalu, Jamaluddin alias Dugok mengaku ikut serta dalam aksi penembakan Amirudin Husin alias Saiful Cagee (42) di depan Warung Kopi Gurkha, Matang Geulumpangdua, Bireuen, pada Jumat (22/7/2011) malam. Dia sebutkan, yang menembak korban adalah Kamaruddin alias Mayor. Sedangkan dirinya bersama Ayah Darut hanya mengawasi lokasi penembakan dengan pura-pura membeli sate dan rokok.
Dugok menceritakan peristiwa penembakan tersebut saat menjadi saksi dalam kasus penembakan di Aceh dengan terdakwa Kamaruddin alias Mayor, Fikram alias Ayah Banta, Mansyur alias Mancuk, dan M Rizal Mustakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (26/11/12).
Dugok mengatakan, ia ditelepon Mayor agar ikut ke Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen. “Kami pergi naik mobil. Saya sopirnya. Kami juga menjemput Ayah Darut. Kami berangkat bertiga,” kata Dugok lancar.
Sesampai di lokasi kejadian, Dugok lalu berpura-pura membeli sate, sedangkan Ayah Darut berpura-pura beli rokok. “Yang menembak Mayor,” ujar Dugok.
Saat ditanya jaksa penuntut umum alasan menghabisi Saiful Cagee, Dugok mengatakan tidak tahu. “Saya tidak tahu kenapa Cagee ditembak, karena saya tidak diberi tahu alasannya oleh Mayor,” kata Dugok.
Dugok dan Mayor merupakan “kawan seperjuangan” di GAM dan sama-sama pernah menjadi anggota tim sukses Irwandi Yusuf untuk wilayah Aceh Utara pada pemilihan gubernur Aceh 2006. Syaiful Cagee pernah mengetuai Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Batee Iliek, di samping awalnya kombatan GAM.
Dalam kesaksiannya, Dugok juga mengakui keterlibatannya pada penembakan di perkebunan PT Setya Agung, di Krueng Jawa, Kecamatan Geureudong, Aceh Utara, pada 5 Desember 2011. Dalam insiden itu tiga buruh beretnis Jawa meninggal dan empat lainnya luka-luka.
“Saya ikut menembak. Saya pegang senjata AK-56 bersama Mansyur, sedangkan Mayor pegang M-16,” beber Dugok. Menurut Dugok, dia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya menembaki dinding bangunan sekadar meneror. “Makanya saya minta orang-orang yang ada di warung itu tiarap,” katanya.
Ia baru mengetahui ada korban meninggal dan luka justru dari pemberitaan koran, esoknya. Disebutkan pula bahwa keterlibatan dirinya dalam peristiwa penembakan di PT Setya Agung karena diajak Mayor.
Peristwa lain yang melibatkan Dugok adalah pembuatan bom pipa dan memasangnya di kawasan Geureutee arah ke Calang, Aceh Jaya, dari Kota Banda Aceh. Bom itu dimaksudkan untuk menghantam rombongan gubernur Irwandi Yusuf yang akan melintas di jalur tersebut.
Saksi lainnya yang didengar keterangan adalah Sulaiman alias Ulee Bara yang menjemput Dugok dan kawan-kawan setelah penembakan di PT Setya Agung. “Saya ditelepon Dugok untuk jemput. Saya tidak mengetahui mereka baru menembak,” kata Sulaiman.
Pilkada 2017,
Jelang hari pemilihan pada 15 Februari 2017 mendatang sejumlah kandidat mulai melakukan aksinya dengan berbagai cara untuk menjatuhkan lawan politik, namun kekarasan di Pilkada Aceh 2017 tidak seperti pada tahun 2012, sekarang hanya pemutaran isu-isu dan program yang mereka yakini bisa menyoroti rakyat untuk memilihnya,
Semoga kasus Pilkada 2012 tidak terulang kembali, dan pilkada Aceh pada15 Februari bisa berjalan dengan damai dan demokrasi.
Tentukan pilihan anda untuk Aceh 5 tahun kedepan.!(Red)