Banda Aceh - Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) mengadakan Konferensi Pers bersama yang berlokasi di Hotel Grand Arabia, Banda Aceh. Dalam Konferensi Pers tersebut, Yayasan HAkA menyampaikan hasil pemantauan hutan yang mereka lakukan di Provinsi Aceh dalam setahun terakhir, dan MaTA memaparkan kajian penggunaan anggaran Provinsi Aceh untuk perlindungan hutan dan lingkungan, pada Hari Selasa (01/03/2022)
Yayasan HAkA yang telah ikut memantau hutan di Aceh sejak tahun 2015 kini mulai melakukan pembaruan dalam metode pemantauan hutan yang mereka lakukan. Salah satu perubahan yang mereka lakukan adalah dengan menggunakan citra satelit Planet dari Planet Labs Inc yang memiliki resolusi hingga 3 - 5 meter. Penggunaan data ini memungkinkan kita memperoleh hasil analisis deforestasi yang lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan data pada tahun – tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil pemantauan Yayasan HAkA, sejak 2020 hingga Juni 2021 telah terjadi deforestasi seluas 19.443 Ha di Provinsi Aceh. Angka ini diperoleh dengan melakukan interpretasi visual/manual dan bantuan data Global Land Analysis Discovery (GLAD) yang diperoleh dari situs web University of Maryland – Global Forest Watch (GFW). “Data yang kami hasilkan ini telah melalui proses uji akurasi, dengan tingkat akurasi sebesar 96%”, tutur Lukmanul Hakim selaku GIS Manager Yayasan HAkA.
Yayasan HAkA juga melakukan Analisis deforestasi berdasarkan tutupan lahan kelas hutan. Diperoleh hasil bahwa deforestasi terbanyak terjadi di Hutan Lahan Kering Sekunder dengan luas 13.452 Ha (69%), diikuti oleh Hutan Lahan Kering Primer dan Hutan Mangrove Sekunder dengan luas deforestasi masing - masing sebesar 3.724 Ha (19%) dan 1.130 Ha (6%). Jika dilakukan analisis berdasarkan fungsi kawasan hutan, diperoleh hasil bahwa 58% deforestasi terjadi di dalam kawasan hutan, yang mana deforestasi terbanyak terjadi di Hutan Lindung dengan luas 5.995 Ha. Di lain sisi, Aceh Tengah menjadi kabupaten yang mengalami deforestasi paling besar. Tercatat dari periode 2020 hingga Juni 2021, sebanyak 3.343 Ha hutan di Kabupaten Aceh Tengah telah mengalami kerusakan.
Selanjutnya, kajian anggaran perlindungan lingkungan dan hutan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh dipresentasikan oleh Hafijal mewakili MaTA. Pada paparannya, beliau menyebutkan alokasi anggaran di DLHK pada tahun 2022 sejumlah Rp 194.421.865.000,- atau hanya 1,20% dari total APBA 2022. Dari total anggaran tersebut, 60.65% anggaran tersebut dialokasikan untuk kegiatan perlindungan lingkungan hidup, and 39.35% dialokasikan untuk kegiatan perlindungan hutan. MaTA menilai gambaran alokasi anggaran pada DLHK Aceh TA 2022 ini tidak mengarah pada upaya penyelesaian masalah urusan sektor kehutanan di Aceh, dan peran Pamhut dalam melindungi hutan di Aceh belum maksimal karena kurangnya biaya operasional untuk melakukan kegiatan perlindungan di hutan yang dialokasikan.
“Pemerintah Aceh wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pamhut dan alokasi anggaran untuk urusan pemerintahan bidang kehutanan yang menjadi tanggungjawab DLHK harus ditambah guna memaksimalkan peran Pamhut dalam pelaksanaan pengamanan dan perlindungan hutan,” tambah Hafijal.
Konferensi Pers bersama ini juga dihadiri oleh Dedek Hadi, Kasi Konservasi Sumber Daya Alam dan Irfannusir, Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang membidangi isu kehutanan, untuk menanggapi materi yang disampaikan oleh Yayasan HAkA dan MaTA. Menurut mereka, anggaran untuk perlindungan hutan dan lingkungan di Provinsi Aceh masih agak minim mempertimbangkan kekayaan hutan dan lingkungan di Provinsi Aceh. Untuk upaya meningkatkan porsi anggaran untuk kehutanan di Aceh, perlu untuk dilakukan lobi untuk ke pemerintah pusat. “Saat ini kondisi keuangan untuk kegiatan konservasi dan perlindungan hutan masih sangat terbatas bahkan pada 2022 terjadi pengurangan anggaran diakibatkan oleh refocusing anggaran. Kami harap setelah ini kita bisa bekerja sama untuk berupaya meningkatkan anggaran, khususnya agar pamhut dapat terus beraktivitas untuk melindungi hutan di Provinsi Aceh,” tanggap Dedek Hadi.
Konferensi Pers bersama ini adalah komitmen LSM di Aceh untuk selalu turut ikut serta dalam pemantauan hutan di Aceh dan mendukung pemerintah Aceh untuk meningkatkan upaya perlindungan hutan dan lingkungan di Aceh. “Data deforestasi ini diharapkan dapat menjadi data pendamping terhadap data resmi yang nantinya akan dikeluarkan oleh pemerintah, dan kami harap dengan paparan materi hari ini dapat menjadi masukan untuk pemerintah Aceh agar perlindungan hutan di Aceh menjadi lebih baik,” ucap Lukmanul Hakim di akhir konferensi pers.