 |
Jurnalis Aceh kembali berkabung, Fakhrurradzie Gade Meninggal Dunia |
PUSARA itu tampak sepi. Sejumlah orang yang tadi ramai, memilih pulang kembali. Kini yang terlihat adalah gundukan tanah yang di atasnya diselimuti bongkahan batu.
Dalam suasana hening itu seorang lelaki tampak terpekur di sisi kiri pusara. Ali Raban, jurnalis Metro TV itu datang agak terlambat.
Dari raut wajahnya tampak ia tak kuasa menahan sedih yang membuncah dalam dadanya. Ia meratap lama dan hampa. Lalu bait-bait doa mengalir di keheningan.
Pikirannya seolah memutar kembali detik demi detik saat-saat kebersamaan itu terjalin. Ia terkenang akan sosok seorang sahabatnya, Fakhrurradzie Gade yang terbujur kaku dalam pusara di depannya.
Maarif Syahed, sahabat karib almarhum merekam momen itu dalam sebuah frame foto yang diunggah dalam akun facaebook miliknya. Berita meninggalnya Fakhrurradzie Gade atau biasa disapa Radzie tersebar cepat di jejaring sosial.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh itu menghembuskan nafas terakhir Jumat malam (11/11/2016) pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Pertamedika, Banda Aceh.
Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raajiun. Maarif adalah sahabat almarhum semasa kuliah di Fakultas Dakwah UIN Ar Raniry. Keduanya sempat menjadi perintis berdirinya majalah kampus "Tabloid Tajam", media yang dikenal pada masanya bersuara kritis.
Tabloid ini diterbitkan Lembaga Pers Kampus Fakultas Dakwah sekitar tahun 2001, saat Aceh masih bergejolak konflik. Radzie memulai karier jurnalistiknya dengan menjadi aktivis pers kampus yang kemudian membawanya melanglang buana ke dunia jurnalistik yang sesungguhnya.
Sampai kemudian ia bergabung dengan situs portal berita Aceh pertamayang melegendadengan nama acehkita.com.
Portal berita acehkita.com didirikan pada 19 Juli 2003 oleh Stanley Adi Prasetyo (sekarang ketua Dewan Pers) dan Dandhy Dwi Laksono sebagai pemimpin redaksi.
"Situs ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang memberlakukan status Darurat Militer di Aceh," kata Dandhy yang merasa sangat kehilangan atas kepergian Radzie yang sudah dianggapnya sebagai sahabat.
Dandhy yang berpengalaman sebagai jurnalis dan praktisi media mengenal Radzie sejak bersama mengasuh acehkita.com yang berbasis di Jakarta waktu itu.
"Ia salah satu jurnalis yang tekun selama masa perang di Aceh, 2003-2005. Bahkan ketika media ini sekarat ditinggalkan para pendonor, ia nyaris sendirian berusaha mempertahankannya, hingga pelan-pelan mendapat dukungan dari kawan-kawan dan tetap hidup hingga kini," ujar Dandhy di laman facebooknya.
Sempat mengalami kisruh internal, akhirnya manajemen acehkita bubar. Tapi kemudian almarhumRadzie bersama Dandhy menyelamatkan situs acehkita agar tetap eksis. Kecintaannya pada acehkita menjadi bukti cinta sejatinya pada dunia jurnalis.
Hingga akhir hayatnya, Radzie masih tetap aktif menulis dan menerbitkan berita seorang diri di acehkita. Ia melanjutkan generasi acehkita dengan menjadi jurnalisnya dan terkadang ia pula yang menjadi pemimpin redaksinya. Beberapa kontributor juga kerap mengirimkan naskah berita untuk dimuat.
Berita terakhir ia tulis melaporkan tentang "Masyarakat Aceh Diajak Lawan Intimidasi" dimuat pada 8 November 2016, tiga hari sebelum kepergiannya menghadap Sang Khalik. Sebetulnya Dhandy akan menemui almarhum tiga hari lagi di Aceh.
"Dzie, kenapa ga nunggu barang 3 hari lagi? Kamu kan tahu aku mau datang," ucap penulis buku "Jurnalisme Investigasi" itu.
Jurnalis terbaik
Kepergian Radzie membawa duka mendalam bagi dunia jurnalis di Aceh. Para insan pers di Aceh telah kehilangan sosok jurnalis yang tekun, ramah, bersahaja, santun, pekerja keras dan konsisten menegakkan kode etik jurnalistik.
"Di tengah problemmu, kau terus menjaga roda organisasi AJI Banda Aceh terus berjalan. Beberapa pertemuan nasional justru kau yang kerap hadir. Idealismu tentang pers yang independen, yang tak mengalah kepada pasar atau pun kekuasaan, tak lekang, tidak seperti tubuhmu yang terlihat kepayahan," ujar Arfi Bambi, Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Peneliti Human Rights Watch Andrea Harsono menyebut sosok Radzie adalah wartawan yang berkualitas yang mengedepankan subtansi.
"Kepergian yang mengejutkan. Saya kira dia salah satu wartawan terbaik Aceh dalam 100 tahun terakhir," ujar mantan jurnalis The Jakarta Post itu di kolom komentar faceboknya.
Dalam dua tahun terakhir almarhum memang sering masuk keluar rumah sakit. Diagnosa medis menyebutkan almarhum menderita komplikasi penyakit.
Sejak saat itu Radzie kehilangan berat badan drastis. Namun semua cobaan itu ia jalani dengan sabar. Di saat-saat sulit seperti itu, Radzie juga masih sempat meliput berita dan bergaul dengan sesama jurnalis.
Ia kerap mendatangi Kantor AJI Banda Aceh di Batoh, Banda Aceh menemui rekan-rekannya, bahkan menulis berita bersama.
Hingga kini ia juga tercatat sebagai stringer Kantor Berita Associated Press (AP) Jakarta. Tapi takdir berkata lain. Allah menyayanginya. Radzie menghembuskan nafas terakhir Jumat malam (11/11) pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Pertamedika, Banda Aceh di usia 37 tahun.
Lebih dari seorang jurnalis, sosok Radzie adalah sahabat yang supel, menyenangkan dan murah senyum dan memiliki jaringan yang luas.
Bagi para mahasiswa dan jurnalis pemula, sosok Radzie dianggap sebagai seorang guru yang ramah, hangat dan rendah hati. Ia kerap menjadi pemateri dalam berbagai forum pelatihan jurnalistik.
Hari-hari terakhir
Kepergian Radzie bagai petir di siang hari. Banyak pihak seolah tak percaya. Sejak Jumat malam jejaring sosial, facebook, twitter dan instagram dan pesan singkat dibanjiri ucapan duka. Para netizen menyuarakan rasa kehilangannya dengan bermacam ekspresi.
"Saya mengenalnya sejak sebelum pulang ke Aceh. Tulisannya di Acehkita, bersama tulisan kawan-kawan lain di media itu, sejak dulu selalu menjadi referensi kami di luar negeri. Penuh data," kenang mantan Juru Runding GAM di Swedia Munawar Liza di laman facebooknya.
Jurnalis Harian Waspada Munawardi Ismail antara lain menulis, "Semua lembar memori terkuak pagi ini, saat kau sudah tak lagi bersama kami...Sekarang tugas berat kami dan Acehkita melanjutkan cita-cita muliamu. Mohon maaf, ada permintaan terakhirmu belum kupenuhi, aku merasa berdosa akan hal itu, sekali lagi maafkan, semoga engkau damai di alam baka, amiin."
Suparta, adalah satu di antara sahabat seperjuangan Radzie lainnya yang juga merasakan duka mendalam. Ia bercerita tentang hari-hari terakhirnya bersama almarhum. Pertemuan itu terjadi pada Selasa 8 November. Saat itu Radzie mendapat jadwal mengajar mahasiswa di kelas komunikasi Universitas Syiah Kuala.
Suparta yang dikenal dengan nama Ucok Parta sempat meminjamkan sepatunya karena sepatu almarhum belum kering setelah dicuci. Pada hari itu, Radzie tampak bersemangat di depan mahasiswa.
Sesi perkuliahan itu pun berakhir di meja makan ditemani seorang dosen kelas. "Dia (almarhum) makan dengan lahap," kata Ucok Parta, jurnalis yang ikut terlibat dalam tim Ekspedisi Indonesia Biru bersama Dandhy Dwi Laksono. Ucok juga sempat membuatkan Radzie mi dan menggoreng telur pada Rabu 9 November.
"Malam itu di luar kebiasaan makannya sampai dua piring," ujarnya.
Pada Kamis 10 November, Radzie datang ke Kantor AJI Banda Aceh dengan niat meliput acara Deklarasi Damai di Mapolda Aceh. Tapi ia mengeluh sakit di bahu kiri, katanya masuk angin. Seperti biasa Radzie minta diboncengi Ucok menuju ke Mapolda. Tapi sampai di Mapolda, sebelum acara dimulai, dia minta kunci kereta mau pulang.
"Katanya terlalu dingin di dalam ruangan," ujar Ucok. Itulah hari terakhir kebersamaan Ucok dan almarhum.
Menyelesaikan tugas
Kepergian Radzie juga dirasakan teman-teman keperjuangannya di AJI Banda Aceh. Bahkan teman-teman keluarga besar AJI Banda Aceh seperti Ketua Adi Warsidi, Mukhtaruddin Yakob, Reza Fahlevi, Windy Paghta, Yayan Zamzami dan Maisarah (Kak Mai) mengatakan setelah keluar dari rumah sakit rencananya akan mengajak Radzie cek up ke Penang Malaysia. Tapi semua itu kini hanya menjadi cita-cita yang tertunda.
Di tengah kondisi kesehatannya yang tak stabil, beberapa waktu terakhir Radzie juga terlibat dalam penulisan buku Rindu (Tanpa) Perang, Pengalaman Wartawan Meliput Konflik Aceh.
Buku ini ditulis keroyokan oleh para wartawan senior peliput konflik Aceh. Mereka adalah; Adi Warsidi, Ali Raban, Ayi Jufridar, Bustamam Ali, Daspriani Y Zamzami, Imran MA, Mukhtaruddin Yakop, Munawardi Ismail, Murizal Hamzah, Nani Afrida, Nasir Husein, Nur Raihan Lubis, Riznal Faisal dan Saiful Bahri.
Almarhum bertindak sebagai editor dalam penerbitan buku tersebut. Di tengah euforia buku tersebut akan diluncurkan, duka menyelimuti para penulisnya. Mereka kehilangan sang editor.
Almarhum Fakhrurradzie Gade telah menuntaskan tugasnya, namun belum sepenuhnya merasakan buah manis dari kehadiran buku itu.
Bak ungkapan sebuah puisi, sosok almarhum pergi bersama jiwa yang hilang. Seperti yang ditulis pemilik akun facebook Sri Wahyuni Bener Meriah, aktivis perempuan Aceh yang juga sahabat almarhum. Serambinews.com mengutip utuh puisi yang khusus ditulis untuk almarhum itu.
Sahabat jiwa
Jiwa...sahabat, adalah jiwa
Yang menyatukan kita
Bukan...bukan benda sahabat
Tapi cinta
Cinta yang menyatukan kita
Kemanusiaan...sahabat..ya kemanusiaan
Ia yang menggamit kita bersama
Kau menangis saat kemanusiaan diinjak-injak
Kita bergegas bangun, turun ke jalan
Hirau pada penyebab kekisruhan
Ia ...itu dia sahabat..karena kau sejiwa, karena aku sejiwa
Maka saat kau pergi..yang hilang juga jiwa
Ooo sahabat..terbanglah dengan rentang sayap doa
Doa dari kami para sobat
Rintih harap kami pada pemilik jiwa
Almarhum Fakhrurradzie Gade dimakamkan di desa kelahirannya Cot Nuran, Kecamatan Kemala, Kabupaten Pidie, Sabtu pagi 12 November 2016...Selamat jalan sahabat, selamat jalan sang editor....(Anshari Hasyim)