Lhokseumawe - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof Mohammad Mahfud MD menyinggung soal peradaban dalam dunia politik dengan menjadikan Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah sebagai referensi. Perguruan tinggi dinilai sebagai salah satu tempat untuk membangun peradaban.
Mahfud memaparkan, membangun kampus pada prinsipnya adalah untuk membangun keadaban yang sangat penting dalam kehidupan. Masyarakat Indonesia bisa hidup maju seperti sekarang adanya pembangunan keadaban.
“Keadaban yang dibangun di Indonesia sebenarnya mengambil substansi dari keadaban yang dibangun Nabi Muhammad melalui Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah,” katanya ketika menyampaikan orasi ilmiah dalam Peringatan Dies Natalis ke-54 Universitas Malikussaleh di Gedung ACC Kampus Uteunkot, Lhokseumawe, Senin (12/6/2023).
Ia mengisahkan Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Yatsrib dan ingin membangun negara beradab yang masyarakatnya tidak merasa menang sendiri dan saling serang karena beda agama atau beda suku. “Piagam Madinah itu antara lain menetapkan penduduk Madinah itu, apapun agamanya, apa pun sukunya, apapun rasnya, apa pun bahasanya, mereka itu satu,” jelas Mahfud.
Istilah Masyarakat Madani di Indonesia muncul yang berarti masyarakat bisa hidup bersama dalam perbedaan. Mahfud juga mengisahkan tentang pendeta Yahudi yang alim dan kaya raya, Mukhairiq, yang berperang bersama Nabi Muhammad dalam perang Uhud. “Mukhairiq mengatakan bukan masuk Islam, tapi ia berperang membela tanah air. Kebetulan pemimpinnya Muhammad,” sebut Mahfud.
Dalam orasinya, Mahfud juga menyebutkan jumlah koruptor di Indonesia mencapai 1.298 orang. Dari jumlah tersebut, koruptor dari lulusan perguruan tinggi 87 persen. “Berarti lulusan perguruan tinggi itu paling dominan melakukan korupsi,” ungkap Mahfud.
Ia juga menyebutkan Universitas Malikussaleh memiliki prospek bagus karena memiliki peminat dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan kondisi saat ini, Universitas Malikussaleh menjadi laboratorium pluralisme yang patut terus dikembangkan.
Keberadaan perguruan tinggi juga berperan dalam mengintegrasikan ilmu dan agama. Orang berilmu tidak menghilangkan jati dirinya sebagai orang beragama. Ia mengatakan dulu ada anggapan orang pintar tidak beragama. Menurut Mahfud, ilmu pengetahuan di dunia ini berkembang karena orang ingin menjalankan ajaran agama secara ilmiah.
“Dalam sistem pendidikan kita, ilmu pengetahuan dan agama itu satu. Rasionalisme diterima sebagai salah satu sumber kebenaran. Tidak semua kebenaran itu harus berlandaskan rasionalitas, ada intervensi wahyu. Ilmu itu harus memihak. Kalau belajar di Barat dikatakan, ilmu itu netral, bebas nilai. Kita yang berpancasila harus mengatakan, ilmu itu memihak kepada kebaikan,” papar Mahfud di hadapan peserta yang terdiri dari anggota Forkopimda dari 23 kabupaten/kota, akademisi dari berbagai perguruan tinggi, dan mahasiswa.
Mahfud juga menyinggung soal hukum yang menurutnya berubah karena tempat dan waktu. Ia mencontohkan hukum di zaman Abu Bakar, berbeda dengan hukum di zaman Umar bin Khattab seperti dalam orang-orang yang berhak menerima zakat.
Selain menyampaikan orasi ilmiah, sebelumnya Mahfud juga berdialog dengan masyarakat dari berbagia kabupaten/kota di Gedung Serba Guna PT Perta Arun Gas, Batuphat, Lhokseumawe, Ahad (11/6/2023) malam. Dalam kesempatan itu, sejumlah ulama dari Aceh Utara antara lain menyampaikan harapan agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka,
“Ada delapan partai politik menginginkan sistem pemilu dengan proporsional terbuka. Masyarakat juga ingin dengan sistem yang terbuka. Hanya lima orang yang menginginkan tertutup. Kalau MK kemudian memutuskan tertutup, maka mengabaikan aspirasi masyarakat luas,” kata anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara, Tgk Samsul Bahri.[]