![]() |
Ilustrasi |
Rhoma oleh polisi, kelompok Persaudaraan Korban Napza untuk wilayah DKI Jakarta Menteng Matraman Community (MMC), menghimbau agar pihak kepolisian dapat menggunakan kewenangannya untuk merehabilitasi setiap korban narkotika.
Pasalnya, Mereka menilai, tak semua tersangka pengguna narkotika mendapatkan layanan tersebut.
“Kami MMC menyambut baik upaya penempatan tersangka pengguna narkotika ke dalam tempat rehabiltasi. Sayangnya tidak semua tersangka pengguna narkotika mendapatkan layanan tersebut,” kata Harry Hasman, Koordinator MMN, dalam siaran pers mereka yang diterima telegraf.co.id, Senin (27/03/2017).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 1 Maret 2017, terdapat 86.346 orang yang ditahan di rutan dan lembaga pemasyarakatan karena kasus narkotika.
Sebanyak 31.675 orang diputus sebagai pengguna narkotika, sisanya terjebak dalam sangkaan, dakwaan, atau putusan sebagai pengedar narkotika karena menguasai, memiliki, atau menyimpan narkotika yang akan mereka gunakan.
Sejak tahun 1981, KUHAP telah menegaskan bahwasanya Tersangka pengguna narkotika harus ditahan ditempat yang sekaligus tempat perawatan.
Sayang, faktanya proses penempatan tersangka pengguna narkotika kedalam tempat rehabilitasi baru terjadi 3 tahun belakangan ini dan tidak semua tersangka pengguna narkotika mendapatkan akses penilaian dari ahli untuk menentukan apakah mereka perlu ditempatkan direhabilitasi atau tidak.
Sampai saat ini, kata Harry, polisi belum menerapkan prosedur melakukan penilaian terhadap tersangka narkotika melalui proses TAT (tim assessment terpadu) untuk menentukan apakah mereka perlu ditempatkan di tempat rehabilitasi atau tidak.
Faktanya, tim tersebut sudah di bentuk sejak 2 tahun lalu hanya pada kasus saat tersangkanya adalah artis, politisi, dan orang kaya yang mendapatkan akses.
Sedangkan untuk masyarakat biasa atau yang tidak mampu, polisi tidak membuka akses penempatan tempat rehabilitasi atau menolak permintaan untuk dilakukan penilaian terhadap tersangka.
Penempatan tersangka pengguna narkotika ke dalam tempat rehabilitasi, bukan hanya membantu para pengguna untuk mengatasi permasalahan putus zat, tetapi juga untuk memperbaiki kondisi biologis, psikologis, dan sosial korban narkotika.
Hal itu juga untuk menjauhkan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum polisi, lapas, bahkan warga binaan sendiri terhadap penyiksaan, pemberian hukuman yang kejam dan tidak manusiawi sebagaimana disebutkan dalam Convention Against Torture yang telah diratifikasi Indonesia.
“Kami menyayangkan adanya sikap hukum yang tumpul ke atas namun runcing ke bawah sehingga ada indikasi tebang pilih untuk mendapatkan hak assessment tersebut,” Kata Harry.(telegraf)
loading...
Post a Comment