![]() |
Aryos Nivada |
Hal ini dikarenakan KKR Aceh ini sendiri merupakan mandat dari Mou Helsinky, Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) serta aturan lainnya yang mengatur tentang HAM.
“KKR Aceh tidak bisa serta merta dibubarkan, karena pembentukan KKR Aceh merupakan amanat langsung dari MoU Helsinky dan UUPA. Sebagaimana diketahui MoU sendiri merupakan ikatan perjanjian perdamaian antara pihak yang berkonflik di Aceh yaitu gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani tahun 2005″, jelas Aryos.
Menurut Aryos penandatanganan nota kesepahaman ini menjadi titik balik dari seluruh rangkaian konflik dan kekerasan yang terjadi di Aceh selama kurang lebih tiga dekade dan dalam UUPA juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh yang memiliki mandat untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah undang-undang ini diundangkan sebagaimana termaktub dalam pasal 28 UUPA .
Sedangkan untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu, UUPA mengamanatkan dan menegaskan pembentukan sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 229 UUPA.
“Teknis pelaksanaan KKR Aceh diatur dengan Qanun Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 230 UUPA. Artinya, pemerintah pusat mau tidak mau harus mengakomodir pembentukan KKR Aceh”, jelas alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Gajah Mada ini.
Aryos juga menjelaskan, meski payung hukum nasional yaitu UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dibatalkan MK. Aceh masih tetap dapat mengacu kepada 3 instrumen hukum nasional, “instrumen hukum yang dapat digunakan yakni TAP MPR N0 IV/1999, TAP MPR No.V/2000 dan UU Pengadilan HAM”, ujar penulis Buku Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Transisi Politik Aceh ini.
Lebih lanjut, Aryos sendiri menyesalkan wacana pembubaran KKR Aceh yang kini kencang dihembuskan oleh pihak pihak tertentu yang hendak melemahkan kelembagaan KKR Aceh.
“Desakan pembubaran KKR ini adalah wacana sesat yang dihembuskan oleh pihak tertentu yang tidak menghendaki adanya pemenuhan keadilan terhadap korban konflik Aceh masa silam.
Wacana ini dihembuskan sebagai rencana untuk melemahkan advokasi terhadap korban konflik Aceh, tentunya kita semua patut menyesalkan adanya desakan pembubaran KKR tersebut oleh sejumlah pihak tidak bertangung jawab ini.
Tidak berlebihan bila dikatakan pihak pihak yang senang dengan dibubarkannya KKR ini patut diragukan sense of Acehnya, sehingga hampir mustahil rasanya bila keinginan tersebut keluar dari mulut orang Aceh yang merasakan pahit getirnya masa konflik Aceh.
Pihak-pihak yang menghendaki agar KKR dibubarkan sesungguhnya tidak memahami dan merasakan kepedihan yang dialami korban konflik Aceh. Seharusnya pihak pihak yang mendesak agar KKR dibubarkan ini dapat melakukan refleksi,terlebih dikabarkan wacana ini berhembus dari pihak yang konon dikabarkan aktif dalam kampanye advokasi rakyat Aceh”, ucap Dosen Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala ini.
Terakhir, Aryos mengatkan, “sejatinya intitusi KKR adalah institusi yang dipercaya mengadvokasi hak hak korban konflik Aceh untuk mendapatkan pemenuhan keadilan, terutama terkait kompensasi, restitusi, reparasi dan rekonsiliasi.
Selain itu keberadaan KKR Aceh mempunyai misi terpenting yaitu pengungkapan kebenaran melalui penyelidikan dan investigasi. KKR Aceh adalah satu satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh UUPA untuk melakukan hal itu.
Sehingga upaya untuk melemahkan kelembagaan ini patut diwaspadai, sebagai bagian dari upaya menutupi pengungkapan kebenaran terhadap konflik aceh masa silam.
Wacana pembubaran KKR merupakan wacana sesat yang dikeluarkan pihak pihak yang tidak pro terhadap korban konfilk”, demikian tutup Aryos. [Red/TM]
loading...
Post a Comment