lustrasi suntik mati atau Euthanasia. FOTO/istock |
StatusAceh.Net - Sudah jatuh dan tertimpa tangga pula. Mungkin itu yang dapat menggambarkan Berlin Silalahi yang mengajukan permohonan suntik mati atau eutanasia ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Ia mengajukan eutanasia lantaran kondisinya yang lumpuh dan menderita sakit kronis.
Tak mampu berjalan serta menderita penyakit kronis tentu membuatnya tak dapat lagi menafkahi keluarga, sedangkan istrinya Ratna Wati adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Mereka juga tak memiliki rumah, dan tinggal di Barak Bakoy bersama korban tsunami lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Berlin hanya mengandalkan bantuan dari sesama korban di Barak Bakoy. Namun, setelah barak itu dibongkar pemerintah Kabupaten Aceh Besar, mereka terkatung-katung tanpa tujuan.
"Pemohon atau klien kami sudah berupaya mengobati penyakitnya. Namun hingga kini, pemohon tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biaya pengobatannya," ungkap Safaruddin, kuasa hukum Berlin Silalahi yang juga Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) seperti dikutip Antara.
Ratna Wati, istri pemohon, menyatakan suaminya mengajukan permohonan eutanasia sejak mereka diusir dari Barak Bakoy oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar beberapa waktu lalu.
"Kami tidak tahu [mau] tinggal di mana lagi. Sejak pembongkaran barak, suami saya tidak bisa berpikir positif lagi. Apalagi suami saya lumpuh dan dalam kondisi sakit kronis," ungkap dia.
Suntik mati atau disebut eutanasia mulai bermunculan sejak 2004 di Rumah Sakit Islam Bogor ketika Panca Satrya Hasan Kusumo melakukan permohonan eutanasia terhadap istrinya Agian Isna Nauli Siregal yang menderita kerusakan saraf permanen di otak dan mengalami koma.
Pengajuan eutanasia itu dilakukan lantaran ia sudah tak mampu lagi menyediakan dana pengobatan dan merasa kasihan melihat penderitaan istrinya yang tak kunjung sembuh. Namun, permohonan itu ditolak karena disebut melanggar hukum. Solusinya, pemerintah kemudian membiayai perawatan istrinya.
Setelah kejadian itu, bermunculan pula permintaan eutanasia lainnya. Sebagian besar dilakukan karena harapan hidup pasien yang kecil serta keluarga yang putus asa melihat kondisi keluarganya yang kritis atau koma.
Eutanasia dalam Hukum Indonesia
Menurut Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Arif Setiawan kepada Tirto mengungkapkan bahwa istilah eutanasia tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Namun dilihat dari pengertiannya sebagai hak untuk mengakhiri atau mempercepat kehidupan manusia, eutanasia bertentangan dengan hukum di Indonesia.
“Konstitusi kita tidak memberikan hak tersebut [hak mengakhiri hidup] karena yang ditentukan dalam konstitusi kita adalah hak untuk hidup,” kata Arif.
Hak untuk hidup diatur dalam konstitusi kita yakni pasal 28A UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu, menurut Arif, dalam pasal 344 KUHP terdapat ketentuan yang dapat dipahami sebagai larangan eutanasia.
Isi pasal 344: barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
“Dengan demikian, apabila ada seseorang termasuk dokter yang melakukan perbuatan membantu mematikan orang [pasien] meski atas permintaan orang itu sendiri, [dia] tetap dipidana,” lanjut Arif.
Eutanasia sendiri bermacam-macam, ada yang aktif dan ada yang pasif. Eutanasia aktif adalah mempercepat kematian dengan mengambil tindakan langsung seperti memberi pasien obat yang berlebihan sehingga overdosis atau menyuntikkan zat-zat mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia pasif adalah mempercepat kematian dengan cara menghentikan proses perawatan yang sedang berlangsung. Meski eutanasia dilarang, Arif menengarai eutanasia pasif sering dipraktikkan. Hanya saja, praktik itu hampir tidak pernah terjangkau hukum karena sulit dibuktikan.
“Padahal bisa saja dituntut dengan pasal tentang pembiaran medis yang mengabaikan orang lain atau pasien meninggal dunia akibat pengobatan atau penggunaan alat bantu kesehatan yang dihentikan,” kata Arif.
Menurut Arif, biasanya eutanasia pasif dilakukan tanpa persetujuan pasien, melainkan permintaan keluarga. Pihak keluarga dan dokter atau pihak rumah sakit tidak meneruskan pengobatan pasien.
Tak mampu berjalan serta menderita penyakit kronis tentu membuatnya tak dapat lagi menafkahi keluarga, sedangkan istrinya Ratna Wati adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Mereka juga tak memiliki rumah, dan tinggal di Barak Bakoy bersama korban tsunami lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Berlin hanya mengandalkan bantuan dari sesama korban di Barak Bakoy. Namun, setelah barak itu dibongkar pemerintah Kabupaten Aceh Besar, mereka terkatung-katung tanpa tujuan.
"Pemohon atau klien kami sudah berupaya mengobati penyakitnya. Namun hingga kini, pemohon tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biaya pengobatannya," ungkap Safaruddin, kuasa hukum Berlin Silalahi yang juga Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) seperti dikutip Antara.
Ratna Wati, istri pemohon, menyatakan suaminya mengajukan permohonan eutanasia sejak mereka diusir dari Barak Bakoy oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar beberapa waktu lalu.
"Kami tidak tahu [mau] tinggal di mana lagi. Sejak pembongkaran barak, suami saya tidak bisa berpikir positif lagi. Apalagi suami saya lumpuh dan dalam kondisi sakit kronis," ungkap dia.
Suntik mati atau disebut eutanasia mulai bermunculan sejak 2004 di Rumah Sakit Islam Bogor ketika Panca Satrya Hasan Kusumo melakukan permohonan eutanasia terhadap istrinya Agian Isna Nauli Siregal yang menderita kerusakan saraf permanen di otak dan mengalami koma.
Pengajuan eutanasia itu dilakukan lantaran ia sudah tak mampu lagi menyediakan dana pengobatan dan merasa kasihan melihat penderitaan istrinya yang tak kunjung sembuh. Namun, permohonan itu ditolak karena disebut melanggar hukum. Solusinya, pemerintah kemudian membiayai perawatan istrinya.
Setelah kejadian itu, bermunculan pula permintaan eutanasia lainnya. Sebagian besar dilakukan karena harapan hidup pasien yang kecil serta keluarga yang putus asa melihat kondisi keluarganya yang kritis atau koma.
Eutanasia dalam Hukum Indonesia
Menurut Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Arif Setiawan kepada Tirto mengungkapkan bahwa istilah eutanasia tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Namun dilihat dari pengertiannya sebagai hak untuk mengakhiri atau mempercepat kehidupan manusia, eutanasia bertentangan dengan hukum di Indonesia.
“Konstitusi kita tidak memberikan hak tersebut [hak mengakhiri hidup] karena yang ditentukan dalam konstitusi kita adalah hak untuk hidup,” kata Arif.
Hak untuk hidup diatur dalam konstitusi kita yakni pasal 28A UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu, menurut Arif, dalam pasal 344 KUHP terdapat ketentuan yang dapat dipahami sebagai larangan eutanasia.
Isi pasal 344: barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
“Dengan demikian, apabila ada seseorang termasuk dokter yang melakukan perbuatan membantu mematikan orang [pasien] meski atas permintaan orang itu sendiri, [dia] tetap dipidana,” lanjut Arif.
Eutanasia sendiri bermacam-macam, ada yang aktif dan ada yang pasif. Eutanasia aktif adalah mempercepat kematian dengan mengambil tindakan langsung seperti memberi pasien obat yang berlebihan sehingga overdosis atau menyuntikkan zat-zat mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia pasif adalah mempercepat kematian dengan cara menghentikan proses perawatan yang sedang berlangsung. Meski eutanasia dilarang, Arif menengarai eutanasia pasif sering dipraktikkan. Hanya saja, praktik itu hampir tidak pernah terjangkau hukum karena sulit dibuktikan.
“Padahal bisa saja dituntut dengan pasal tentang pembiaran medis yang mengabaikan orang lain atau pasien meninggal dunia akibat pengobatan atau penggunaan alat bantu kesehatan yang dihentikan,” kata Arif.
Menurut Arif, biasanya eutanasia pasif dilakukan tanpa persetujuan pasien, melainkan permintaan keluarga. Pihak keluarga dan dokter atau pihak rumah sakit tidak meneruskan pengobatan pasien.
loading...
Post a Comment