Banda Aceh - Usul pembubaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dilontarkan oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menuai banyak kecaman. KKR merupakan amanah perjanjian MoU Helnsinki di Finlandia, yang mengantarkan Aceh dalam bingkai perdamaian.
Selain itu, wacana pembubaran KKR di Aceh telah melukai korban konflik yang hingga sekarang masih sedang mencari keadilan. Seperti korban konflik yang tergabung dalam Forum Korban dan Keluarga Korban Tragedi Aceh.
Mereka masih sangat menaruh harapan keberadaan KKR di Aceh bisa berjalan maksimal. Meskipun di tingkat nasional belum ada aturan yang mengatur, setidaknya, para korban konflik bisa sedikit mendapatkan titik terang untuk penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu.
Isu pembubaran KKR ini setelah salah seorang komisioner KKR Aceh, Muhammad MTA dalam laman facebook pada tanggal 4 Mei 2017 menulis akan mengembalikan SK kepada Gubernur Aceh pada pukul 20.00 WIB. Akan tetapi, malam itu urung dilakukan karena Gubernur tidak ada di Aceh dan hingga sekarang belum dikembalikan SK tersebut.
Pascapersitiwa itulah, beragam opini bermunculan dan kritikan semakin mencuat. Dari tidak maksimalnya fungsi lembaga KKR di Aceh. Kurangnya perhatian serius dari eksekutif hingga keberadaan KKR di Aceh ibarat harimau tanpa taring.
Hingga sekarang, lembaga KKR Aceh belum memiliki kantor sekretariat dan sejumlah fasilitas pendukung lainnya. Selain itu, biaya operasional untuk lembaga ini juga belum terealisasi. Sehingga lembaga ini belum bisa bekerja secara maksimal.
Menyikapi ada yang meminta KKR dibubarkan, FK3T-SP.KKA kemudian angkat bicara. Selaku organisasi yang menaungi korban konflik menyesalkan atas pernyataan pembubaran lembaga KKR yang sudah terbentuk di Aceh.
"YARA saja dibubarkan, jangan KKR. Pernyataan YARA yang meminta KKR Aceh dibubarkan melukai hati kami para korban. Kami telah bersusah payah mencari keadilan. Menempuh berbagai macam cara agar KKR Aceh terbentuk," kata Ketua FK3T-SP.KKA, Murtala, Minggu (7/5) di Banda Aceh.
Kata Murtala, seharusnya semua pihak harus secara bersama-sama memperkuat lembaga KKR tersebut. Bukan malah hendak membubarkan, karena lembaga KKR ini bagian dari aspirasi korban konflik di Aceh.
Sementara itu, Pengamat Politik Keamanan Aceh, Aryos Nivada MA mengatakan, lembaga KKR itu tidak serta merta bisa dibubarkan. Karena KKR merupakan mandat yang diamanahkan dalam MoU Helsinki yang diratifikasi dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh.
"UUPA mengamanatkan dan menegaskan pembentukan KKR di Aceh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 229 UUPA. Sedangkan teknis pelaksanaan KKR Aceh diatur dengan Qanun Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 230 UUPA. Artinya, pemerintah pusat mau tidak mau harus mengakomodir pembentukan KKR Aceh," jelas Aryos Nivada MA.
Aryos juga menjelaskan, meski payung hukum nasional yaitu UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dibatalkan MK. Akan tetapi Aceh masih tetap dapat mengacu kepada 3 instrumen hukum nasional .
"Instrumen hukum yang dapat digunakan yaitu TAP MPR N0 IV/1999, TAP MPR No.V/2000 dan UU Pengadilan HAM," ujarnya.
Penulis buku Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Transisi Politik Aceh menilai, wacana pembubaran KKR Aceh yang diembuskan oleh pihak tertentu yang hendak melemahkan kelembagaan KKR Aceh. Ada pihak yang sengaja tidak menghendaki adanya pemenuhan keadilan terhadap korban konflik Aceh masa silam.
"Tidak berlebihan bila dikatakan pihak pihak yang senang dengan dibubarkannya KKR ini patut diragukan sense of Acehnya. sehingga hampir mustahil rasanya bila keinginan tersebut keluar dari mulut orang Aceh yang merasakan pahit getirnya masa konflik Aceh," tukasnya. [Merdeka.com]
Selain itu, wacana pembubaran KKR di Aceh telah melukai korban konflik yang hingga sekarang masih sedang mencari keadilan. Seperti korban konflik yang tergabung dalam Forum Korban dan Keluarga Korban Tragedi Aceh.
Mereka masih sangat menaruh harapan keberadaan KKR di Aceh bisa berjalan maksimal. Meskipun di tingkat nasional belum ada aturan yang mengatur, setidaknya, para korban konflik bisa sedikit mendapatkan titik terang untuk penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu.
Isu pembubaran KKR ini setelah salah seorang komisioner KKR Aceh, Muhammad MTA dalam laman facebook pada tanggal 4 Mei 2017 menulis akan mengembalikan SK kepada Gubernur Aceh pada pukul 20.00 WIB. Akan tetapi, malam itu urung dilakukan karena Gubernur tidak ada di Aceh dan hingga sekarang belum dikembalikan SK tersebut.
Pascapersitiwa itulah, beragam opini bermunculan dan kritikan semakin mencuat. Dari tidak maksimalnya fungsi lembaga KKR di Aceh. Kurangnya perhatian serius dari eksekutif hingga keberadaan KKR di Aceh ibarat harimau tanpa taring.
Hingga sekarang, lembaga KKR Aceh belum memiliki kantor sekretariat dan sejumlah fasilitas pendukung lainnya. Selain itu, biaya operasional untuk lembaga ini juga belum terealisasi. Sehingga lembaga ini belum bisa bekerja secara maksimal.
Menyikapi ada yang meminta KKR dibubarkan, FK3T-SP.KKA kemudian angkat bicara. Selaku organisasi yang menaungi korban konflik menyesalkan atas pernyataan pembubaran lembaga KKR yang sudah terbentuk di Aceh.
"YARA saja dibubarkan, jangan KKR. Pernyataan YARA yang meminta KKR Aceh dibubarkan melukai hati kami para korban. Kami telah bersusah payah mencari keadilan. Menempuh berbagai macam cara agar KKR Aceh terbentuk," kata Ketua FK3T-SP.KKA, Murtala, Minggu (7/5) di Banda Aceh.
Kata Murtala, seharusnya semua pihak harus secara bersama-sama memperkuat lembaga KKR tersebut. Bukan malah hendak membubarkan, karena lembaga KKR ini bagian dari aspirasi korban konflik di Aceh.
Sementara itu, Pengamat Politik Keamanan Aceh, Aryos Nivada MA mengatakan, lembaga KKR itu tidak serta merta bisa dibubarkan. Karena KKR merupakan mandat yang diamanahkan dalam MoU Helsinki yang diratifikasi dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh.
"UUPA mengamanatkan dan menegaskan pembentukan KKR di Aceh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 229 UUPA. Sedangkan teknis pelaksanaan KKR Aceh diatur dengan Qanun Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 230 UUPA. Artinya, pemerintah pusat mau tidak mau harus mengakomodir pembentukan KKR Aceh," jelas Aryos Nivada MA.
Aryos juga menjelaskan, meski payung hukum nasional yaitu UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dibatalkan MK. Akan tetapi Aceh masih tetap dapat mengacu kepada 3 instrumen hukum nasional .
"Instrumen hukum yang dapat digunakan yaitu TAP MPR N0 IV/1999, TAP MPR No.V/2000 dan UU Pengadilan HAM," ujarnya.
Penulis buku Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Transisi Politik Aceh menilai, wacana pembubaran KKR Aceh yang diembuskan oleh pihak tertentu yang hendak melemahkan kelembagaan KKR Aceh. Ada pihak yang sengaja tidak menghendaki adanya pemenuhan keadilan terhadap korban konflik Aceh masa silam.
"Tidak berlebihan bila dikatakan pihak pihak yang senang dengan dibubarkannya KKR ini patut diragukan sense of Acehnya. sehingga hampir mustahil rasanya bila keinginan tersebut keluar dari mulut orang Aceh yang merasakan pahit getirnya masa konflik Aceh," tukasnya. [Merdeka.com]
loading...
Post a Comment