StatusAceh.Net - Bulan Sya'ban merupakan bulan setelah Rajab dan sebelum Ramadhan dalam penanggalan Islam. Karena menjadi pembuka Ramadhan, banyak kalangan yang menilai bulan Sya'ban memiliki banyak keistimewaan.
Pada bulan ini khususnya ti malam tanggal 15 Sya'ban, sebagian kalangan umat Muslim meyakini Allah Azza wajalla turun ke bumi dan membuka ampunan seluas-luasnya bagi para hama-Nya. Ada riwayat pula yang menyebutkan pada bulan Sya'ban, Rasulullah SAW berpuasa sunat lebih banyak daripada di bulan-bulan lainnya.
Namun sebagian ulama berpendapat, hadits-hadits yang menjadi dalil pandangan tersebut, tidak sampai pada derajat shahih. "Kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu," kata Ust. Ahmad Sarwat, seperti dikutip dari Rumah Fiqh.
Yang juga menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam Nisyfu Sya'ban itu? Para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil soal ritual bersama di masjid saat malam Nisyfu Sya'ban itu dhaif.
Pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam Nisfu Sya'ban di masjid-masjid, menurut Sarwat tidak dijumpai di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. "Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat."
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam Nisfu Sya'ban.
1. Berkumpul di Masjid
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktik seperti ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
2. Dijalankan Sendiri-sendiri
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.SELANJUTNYA
Pada bulan ini khususnya ti malam tanggal 15 Sya'ban, sebagian kalangan umat Muslim meyakini Allah Azza wajalla turun ke bumi dan membuka ampunan seluas-luasnya bagi para hama-Nya. Ada riwayat pula yang menyebutkan pada bulan Sya'ban, Rasulullah SAW berpuasa sunat lebih banyak daripada di bulan-bulan lainnya.
Namun sebagian ulama berpendapat, hadits-hadits yang menjadi dalil pandangan tersebut, tidak sampai pada derajat shahih. "Kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu," kata Ust. Ahmad Sarwat, seperti dikutip dari Rumah Fiqh.
Yang juga menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam Nisyfu Sya'ban itu? Para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil soal ritual bersama di masjid saat malam Nisyfu Sya'ban itu dhaif.
Pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam Nisfu Sya'ban di masjid-masjid, menurut Sarwat tidak dijumpai di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. "Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat."
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam Nisfu Sya'ban.
1. Berkumpul di Masjid
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktik seperti ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
2. Dijalankan Sendiri-sendiri
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment