![]() |
Mantan Narapidana Teroris Menceritakan Kisah hidupnya Selepas Keluar dari Penjara. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi) |
StatusAceh.Net - Sofyan Tsauri, mantan terpidana kasus terorisme menceritakan beratnya menjalani kehidupan setelah mengirup udara bebas tahun 2015 dan saat menjalani hukuman di penjara.
Menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk Membedah Revisi UU Antiterorisme di Jakarta, Sabtu (3/6), Sofyan mencurahkan isi hatinya. Mulai dari dikucilkan keluarga, rekan-rekannya hingga sulitnya mencari pekerjaan karena predikat teroris yang disandangnya.
Meskipun dia telah meninggalkan 'dunia teroris' sejak ditangkap tahun 2010 dan dijatuhi hukuman setahun kemudian.
"Saya dua kali diracun dalam makanan di sel penjara di sel LP Cipinang. Saya dianggap murtad, saya lemah dalam perjuangan," ujar Sofyan.
Sofyan, yang pernah menjadi polisi itu, divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Depok karena terbukti menjual senjata api kepada gembong teroris, Dulmatin. Senjata tersebut kemudian digunakan oleh jaringan kelompok teroris di Aceh.
Usai dijatuhi vonis, Sofyan menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Tak sampai 10 tahun, dia mendapatkan pembebasan pada 2015.
Racun itu, kata Sofyan, diberikan ketika Sofyan memilih keluar dari kelompoknya. Dia tidak menceritakan secara rinci tentang peristiwa racun tersebut.
Pilihannya untuk 'bertobat' bukanlah tanpa risiko. Tak hanya percobaan pembunuhan lewat racun. Risiko terberat lain justru muncul setelah keluar dari penjara. Terutama penolakan dari masyarakat dan sulitnya mencari pekerjaan.
Walau sudah menanggalkan cerita masa lalunya, kata dia, hingga kini cap sebagai seorang teroris dari masyarakat masih dirasakannya.
Ia bercerita, ketika resmi keluar dari jeruji besi banyak perusahaan-perusahaan menolaknya. Bahkan, keinginan menjadi driver ojek online kandas. Alasannya, dia tidak memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
"Sedangkan dari Polri enggak bisa menghilangkan pernah terlibat terorisme," ungkapnya.
Kini, Sofyan memilih menjadi guru agama. Dia berkeinginan, mengembalikan reputasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Dia ingin membuktikan: saya sudah tidak lagi berbahaya seperti dulu.
Karena itu, dia meminta pemerintah lebih memerhatikan mantan-mantan napi teroris. Karena untuk kembali dan menghilangkan stigma teroris di masyarakat bukan hal mudah.
"Kami butuh pekerjaan. Ada pekerjaan yang paling ini sepertinya jadi Grab tapi kami urus, masalah di SKCK," kata Sofyan.
Perhatian Lebih
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto, mengakui bahwa mantan narapidana kasus terorisme membutuhkan perhatian lebih.
Bukan hanya saat bebas dari penjara, melainkan ketika masih menjalani masa hukuman.
"Mereka butuh saluran dari pemerintah, ajak mereka bicara, lindungi dan kasih makan. Mereka banyak curhat, saya seperti sampah tidak ada yang mau deket semuanya takut," kata Wawan.
Wawan mengaku pernah mendengarkan curahan hati para mantan napi teroris.
"Saya bicara dari mantan napi dan yang di dalam. Cari hobi dan kebiasaan serta kesenangan mereka. Selama positif enggak apa-apa, tidak bisa satu lembaga. Ini masalah kekosongan isi kepala dan perut, jadi semua elemen harus kerjasama," ujar Wawan.
Perhatian, kata Wawan juga tidak hanya kepada pelaku, melainkan keluarga si mantan narapidana. Bagi dia, keluarga narapidana, misalnya anak juga butuh makan hingga pendidikan.
"Banyak emang yang nakal. Karena kan tidak mudah untuk merubah ideologi," kata Wawan.
Ia mengimbau, pada tiap masyarakat agar lebih mengawasi anggota keluarganya.
Jika menemukan salah satu anggota keluarga bersikap tidak seperti biasa, ada baiknya mulai diajak berbicara.
"Karena mereka (teroris) merekrut yang pintar. Contoh Bahrun Naim ahli IT, ada juga ahli fisika. Nah makanya semua tergantung kepada keluarga," kata dia.(CNN)
Menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk Membedah Revisi UU Antiterorisme di Jakarta, Sabtu (3/6), Sofyan mencurahkan isi hatinya. Mulai dari dikucilkan keluarga, rekan-rekannya hingga sulitnya mencari pekerjaan karena predikat teroris yang disandangnya.
Meskipun dia telah meninggalkan 'dunia teroris' sejak ditangkap tahun 2010 dan dijatuhi hukuman setahun kemudian.
"Saya dua kali diracun dalam makanan di sel penjara di sel LP Cipinang. Saya dianggap murtad, saya lemah dalam perjuangan," ujar Sofyan.
Sofyan, yang pernah menjadi polisi itu, divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Depok karena terbukti menjual senjata api kepada gembong teroris, Dulmatin. Senjata tersebut kemudian digunakan oleh jaringan kelompok teroris di Aceh.
Usai dijatuhi vonis, Sofyan menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Tak sampai 10 tahun, dia mendapatkan pembebasan pada 2015.
Racun itu, kata Sofyan, diberikan ketika Sofyan memilih keluar dari kelompoknya. Dia tidak menceritakan secara rinci tentang peristiwa racun tersebut.
Pilihannya untuk 'bertobat' bukanlah tanpa risiko. Tak hanya percobaan pembunuhan lewat racun. Risiko terberat lain justru muncul setelah keluar dari penjara. Terutama penolakan dari masyarakat dan sulitnya mencari pekerjaan.
Walau sudah menanggalkan cerita masa lalunya, kata dia, hingga kini cap sebagai seorang teroris dari masyarakat masih dirasakannya.
Ia bercerita, ketika resmi keluar dari jeruji besi banyak perusahaan-perusahaan menolaknya. Bahkan, keinginan menjadi driver ojek online kandas. Alasannya, dia tidak memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
"Sedangkan dari Polri enggak bisa menghilangkan pernah terlibat terorisme," ungkapnya.
Kini, Sofyan memilih menjadi guru agama. Dia berkeinginan, mengembalikan reputasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Dia ingin membuktikan: saya sudah tidak lagi berbahaya seperti dulu.
Karena itu, dia meminta pemerintah lebih memerhatikan mantan-mantan napi teroris. Karena untuk kembali dan menghilangkan stigma teroris di masyarakat bukan hal mudah.
"Kami butuh pekerjaan. Ada pekerjaan yang paling ini sepertinya jadi Grab tapi kami urus, masalah di SKCK," kata Sofyan.
Perhatian Lebih
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto, mengakui bahwa mantan narapidana kasus terorisme membutuhkan perhatian lebih.
Bukan hanya saat bebas dari penjara, melainkan ketika masih menjalani masa hukuman.
"Mereka butuh saluran dari pemerintah, ajak mereka bicara, lindungi dan kasih makan. Mereka banyak curhat, saya seperti sampah tidak ada yang mau deket semuanya takut," kata Wawan.
Wawan mengaku pernah mendengarkan curahan hati para mantan napi teroris.
"Saya bicara dari mantan napi dan yang di dalam. Cari hobi dan kebiasaan serta kesenangan mereka. Selama positif enggak apa-apa, tidak bisa satu lembaga. Ini masalah kekosongan isi kepala dan perut, jadi semua elemen harus kerjasama," ujar Wawan.
Perhatian, kata Wawan juga tidak hanya kepada pelaku, melainkan keluarga si mantan narapidana. Bagi dia, keluarga narapidana, misalnya anak juga butuh makan hingga pendidikan.
"Banyak emang yang nakal. Karena kan tidak mudah untuk merubah ideologi," kata Wawan.
Ia mengimbau, pada tiap masyarakat agar lebih mengawasi anggota keluarganya.
Jika menemukan salah satu anggota keluarga bersikap tidak seperti biasa, ada baiknya mulai diajak berbicara.
"Karena mereka (teroris) merekrut yang pintar. Contoh Bahrun Naim ahli IT, ada juga ahli fisika. Nah makanya semua tergantung kepada keluarga," kata dia.(CNN)
loading...
Post a Comment