Dr H Jazuli Juwaini, MA (Ketua Fraksi PKS DPR )
ULAMA punya maqom terhormat dalam sosio-kultural bangsa kita. Secara teologis ulama adalah waris atau penerus para Nabi.
Sebagai penerus Nabi, tugas ulama adalah men-syiar-kan ajaran agama sepeninggal Nabi dan Rasul. Maka peran mereka mahapenting dalam membimbing umat untuk tetap istikamah dalam berislam, memurnikan aqidah, dan menegakkan syariat Allah.
Dalam dimensi kebangsaan peran mereka adalah penjaga akhlak dan moralitas bangsa. Mereka mengajarkan nilai agama yang menjadi napas kebangsaan kita sejalan dengan sila pertama Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian ditegaskan kembali dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1): ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Landasan konstitusional tersebut menegaskan ciri khas negara kita sebagai negara-bangsa yang religius (religious nation state). Indonesia memang bukan negara agama dalam arti ada satu agama yang menjadi agama negara, tapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan urusan negara (publik) dan agama (privat).
Indonesia jelas bukan negara ateis (tidak beragama) sebagaimana dianut negara komunis. Agama di Indonesia—agama apa pun—menempati posisi yang penting, bahkan vital, dalam kebangsaan kita.
Dengan narasi demikian, peran ulama sebagai penerus Nabi dan penjaga kemurnian agama menempati posisi yang terhormat. Pemuka agama bukan saja menjadi rujukan umat beragama, tetapi juga menjadi rujukan pemerintah/penguasa. Tugas ulama meluruskan pemimpin jika melenceng dari nilai-nilai luhur agama.
Hal itu bukan saja memiliki landasan teologis, tetapi juga landasan konstitusional. Maka sepanjang periode pemerintahan di negara ini, penguasa (umara) selalu berusaha menjaga relasi yang harmonis dengan ulama.
Peran Historis
Di samping berperan sebagai penjaga moralitas bangsa, ulama punya peran historis yang sangat menonjol dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ulama menjadi motor dan penggerak utama dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Ulama sebagai anutan umat, perintahnya laksana perintah komandan kepada pasukannya.
Maka kita mendengar berbagai kisah heroik laskar-laskar santri yang dipimpin ulama, ada Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain. Kita juga mengetahui kisah masyhur tentang fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asyari yang berperan besar mengobarkan perlawanan mengusir Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan membonceng sekutu. Dengan resolusi tersebut, perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabilillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama.
Belanda pun kewalahan menghadapi barisan ulama dan santri hingga mengeluarkan segala cara dan bujuk rayu untuk menaklukkan mereka. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah iming-iming kemudahan berhaji dengan fasilitas dan biaya murah dari Belanda.
Menghadapi propaganda itu, para ulama tetap pada sikap nonkooperatif hingga KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa haram hukumnya pergi haji menggunakan kapal Belanda. Gerakan nonkooperatif ini pun dilakukan dan dipimpin ulama-ulama lainnya.
Para ulama memobilisasi dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan penjajah. Banyak ulama yang menjadi pemimpin perlawanan seperti Pangeran Dipenogoro, Fatahillah, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Abbas Buntet, KH Zainal Mustafa.
Peran itu terus berlanjut setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, para ulama pergerakan tetap memainkan peran vital pada fase awal pembentukan negara bangsa: penyusunan dasar negara, konstitusi, dan pemerintahan Indonesia merdeka.
Sejumlah ulama aktif dalam PPKI, BPUPKI, lalu menjadi menteri kabinet dan anggota parlemen, di antaranya yang bisa disebut namanya: KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, KH Kahar Muzakir, KH M Natsir, KH Agus Salim. Tentu saja lebih banyak yang beramal bakti di lapangan masyarakat melalui ormas yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan sebagainya.
Dengan seluruh paparan peran historis tersebut, jangan pernah meragukan kesetiaan ulama kepada NKRI karena mereka berjuang di garis depan merebut kemerdekaan hingga proses pembentukan negara. Jangan pertanyakan jiwa besar ulama dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan negeri ini.
Cukuplah sepenggal kisah tentang hapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentang ”kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”—atas permintaan saudara kita Nasrani dari Indonesia timur—menjadi saksi betapa ulama negeri ini lebih cinta persatuan dan kesatuan daripada siapa pun.
Memuliakan Ulama
Sejak masa penjajahan para ulama menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan para penjajah. Spirit penyadaran tersebut tak pernah hilang dari peran para ulama.
Di berbagai pesantren, madrasah, organisasi, tablig, ceramah, dan pertemuan lain, para ulama menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dus, garis perjuangan ulama sejak dulu kala jelas dalam menjaga republik ini dari tindakan yang merusak dan mengarahkan pada maslahat bagi seluruh rakyat.
Maka dalam menyikapi berbagai peristiwa aktual, antara lain ketika ulama memimpin umat melakukan kritik dan koreksi atas kesewenangan hingga menuntut penegakan hukum yang berkeadilan atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang pejabat publik, hendaknya kita melihat dalam kacamata positif dan konstruktif bagi masa depan kebangsaan Indonesia yang religius.
Demikian halnya pandangan kita terhadap otoritas/ kewenangan ulama dalam mengeluarkan fatwa terkait dengan berbagai masalah umat Islam dan masalah-masalah kebangsaan.
Menjadi tugas ulama untuk menjaga kemuliaan agama dan ajarannya sekaligus mengarahkan umat dalam menyikapi berbagai problematika kebangsaan. Dengan cara pandang tersebut, menjadi kewajiban seluruh warga bangsa untuk memuliakan ulama beserta seluruh fatwa/ pandangan keagamaannya dalam rangka membimbing umat.
Jangan ada pihak-pihak yang mendiskreditkan bahkan menuduh ulama dan fatwanya sebagai sumber kegaduhan. Jangan ada pula pihak yang sewenang-wenang menyerang integritas pribadi atau organisasi ulama dengan maksud atau tujuan politis, apalagi membangun opini jahat bahwa gerakan (aksi) ulama dan umat dalam membela Islam sebagai wujud intoleransi, antikebinekaan, memecah belah persatuan, atau bahkan mengancam Pancasila dan NKRI.
Sikap dan pandangan itu bukan saja melecehkan ulama, tetapi juga mengingkari peran dan kontribusi ulama yang teramat besar bagi bangsa ini. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi bangsa ini kecuali memuliakan ulama dan mengokohkan maqom-nya pada posisi yang terhormat di republik ini.(*)
Sebagai penerus Nabi, tugas ulama adalah men-syiar-kan ajaran agama sepeninggal Nabi dan Rasul. Maka peran mereka mahapenting dalam membimbing umat untuk tetap istikamah dalam berislam, memurnikan aqidah, dan menegakkan syariat Allah.
Dalam dimensi kebangsaan peran mereka adalah penjaga akhlak dan moralitas bangsa. Mereka mengajarkan nilai agama yang menjadi napas kebangsaan kita sejalan dengan sila pertama Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian ditegaskan kembali dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1): ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Landasan konstitusional tersebut menegaskan ciri khas negara kita sebagai negara-bangsa yang religius (religious nation state). Indonesia memang bukan negara agama dalam arti ada satu agama yang menjadi agama negara, tapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan urusan negara (publik) dan agama (privat).
Indonesia jelas bukan negara ateis (tidak beragama) sebagaimana dianut negara komunis. Agama di Indonesia—agama apa pun—menempati posisi yang penting, bahkan vital, dalam kebangsaan kita.
Dengan narasi demikian, peran ulama sebagai penerus Nabi dan penjaga kemurnian agama menempati posisi yang terhormat. Pemuka agama bukan saja menjadi rujukan umat beragama, tetapi juga menjadi rujukan pemerintah/penguasa. Tugas ulama meluruskan pemimpin jika melenceng dari nilai-nilai luhur agama.
Hal itu bukan saja memiliki landasan teologis, tetapi juga landasan konstitusional. Maka sepanjang periode pemerintahan di negara ini, penguasa (umara) selalu berusaha menjaga relasi yang harmonis dengan ulama.
Peran Historis
Di samping berperan sebagai penjaga moralitas bangsa, ulama punya peran historis yang sangat menonjol dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ulama menjadi motor dan penggerak utama dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Ulama sebagai anutan umat, perintahnya laksana perintah komandan kepada pasukannya.
Maka kita mendengar berbagai kisah heroik laskar-laskar santri yang dipimpin ulama, ada Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain. Kita juga mengetahui kisah masyhur tentang fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asyari yang berperan besar mengobarkan perlawanan mengusir Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan membonceng sekutu. Dengan resolusi tersebut, perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabilillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama.
Belanda pun kewalahan menghadapi barisan ulama dan santri hingga mengeluarkan segala cara dan bujuk rayu untuk menaklukkan mereka. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah iming-iming kemudahan berhaji dengan fasilitas dan biaya murah dari Belanda.
Menghadapi propaganda itu, para ulama tetap pada sikap nonkooperatif hingga KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa haram hukumnya pergi haji menggunakan kapal Belanda. Gerakan nonkooperatif ini pun dilakukan dan dipimpin ulama-ulama lainnya.
Para ulama memobilisasi dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan penjajah. Banyak ulama yang menjadi pemimpin perlawanan seperti Pangeran Dipenogoro, Fatahillah, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Abbas Buntet, KH Zainal Mustafa.
Peran itu terus berlanjut setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, para ulama pergerakan tetap memainkan peran vital pada fase awal pembentukan negara bangsa: penyusunan dasar negara, konstitusi, dan pemerintahan Indonesia merdeka.
Sejumlah ulama aktif dalam PPKI, BPUPKI, lalu menjadi menteri kabinet dan anggota parlemen, di antaranya yang bisa disebut namanya: KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, KH Kahar Muzakir, KH M Natsir, KH Agus Salim. Tentu saja lebih banyak yang beramal bakti di lapangan masyarakat melalui ormas yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan sebagainya.
Dengan seluruh paparan peran historis tersebut, jangan pernah meragukan kesetiaan ulama kepada NKRI karena mereka berjuang di garis depan merebut kemerdekaan hingga proses pembentukan negara. Jangan pertanyakan jiwa besar ulama dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan negeri ini.
Cukuplah sepenggal kisah tentang hapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentang ”kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”—atas permintaan saudara kita Nasrani dari Indonesia timur—menjadi saksi betapa ulama negeri ini lebih cinta persatuan dan kesatuan daripada siapa pun.
Memuliakan Ulama
Sejak masa penjajahan para ulama menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan para penjajah. Spirit penyadaran tersebut tak pernah hilang dari peran para ulama.
Di berbagai pesantren, madrasah, organisasi, tablig, ceramah, dan pertemuan lain, para ulama menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dus, garis perjuangan ulama sejak dulu kala jelas dalam menjaga republik ini dari tindakan yang merusak dan mengarahkan pada maslahat bagi seluruh rakyat.
Maka dalam menyikapi berbagai peristiwa aktual, antara lain ketika ulama memimpin umat melakukan kritik dan koreksi atas kesewenangan hingga menuntut penegakan hukum yang berkeadilan atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang pejabat publik, hendaknya kita melihat dalam kacamata positif dan konstruktif bagi masa depan kebangsaan Indonesia yang religius.
Demikian halnya pandangan kita terhadap otoritas/ kewenangan ulama dalam mengeluarkan fatwa terkait dengan berbagai masalah umat Islam dan masalah-masalah kebangsaan.
Menjadi tugas ulama untuk menjaga kemuliaan agama dan ajarannya sekaligus mengarahkan umat dalam menyikapi berbagai problematika kebangsaan. Dengan cara pandang tersebut, menjadi kewajiban seluruh warga bangsa untuk memuliakan ulama beserta seluruh fatwa/ pandangan keagamaannya dalam rangka membimbing umat.
Jangan ada pihak-pihak yang mendiskreditkan bahkan menuduh ulama dan fatwanya sebagai sumber kegaduhan. Jangan ada pula pihak yang sewenang-wenang menyerang integritas pribadi atau organisasi ulama dengan maksud atau tujuan politis, apalagi membangun opini jahat bahwa gerakan (aksi) ulama dan umat dalam membela Islam sebagai wujud intoleransi, antikebinekaan, memecah belah persatuan, atau bahkan mengancam Pancasila dan NKRI.
Sikap dan pandangan itu bukan saja melecehkan ulama, tetapi juga mengingkari peran dan kontribusi ulama yang teramat besar bagi bangsa ini. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi bangsa ini kecuali memuliakan ulama dan mengokohkan maqom-nya pada posisi yang terhormat di republik ini.(*)
Sumber: Sindonews.com
loading...
Post a Comment