![]() |
Dok. Tentara Myanmar di Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar, Oktober 2016. Foto: BBC |
StatusAceh.Net - Militer Myanmar menghentikan operasi di negara bagian Rakhine, kata pejabat pemerintahan, mengakhiri tindakan kejam tentara terhadap Muslim Rohingya yang menurut PBB dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis.
Operasi yang dimulai pada Oktober setelah sembilan petugas penjaga perbatasan tewas terbunuh dalam sebuah serangan di dekat perbatasan Bangladesh. Hampir 69 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak saat itu, menurut data PBB, dikutip dari the Guardian hari ini.
Pemerintah Myanmar selalu membantah tuduhan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan tentaranya di Rakhine, termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Muslim Rohingya, dengan mengatakan bahwa operasi militer dilakukan sejalan dengan kebijakan kontra-terorisme.
"Situasi di Rakhine utara sudah stabil. Operasi pembersihan yang dilakukan militer sudah dihentikan, jam malam dilonggarkan dan hanya polisi yang bertugas untuk menjaga perdamaian," kata penasihan keamanan nasional Myanmar yang belum lama diangkat, Thaung Tun, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan kantor konselor negara Rabu.
Menurut pejabat PBB awal Februari lalu, lebih dari 1.000 Muslim Rohingya tewas terbunuh selama operasi militer Myanmar di Rakhine.
Beberapa hari sebelumnya, Human Rights Watch (HRW) mengatakan militer Myanmar juga melakukan pemerkosaan secara sistematis terhadap wanita dan gadis Muslim Rohingya selama operasi.
"Tidak ada alasan menggunakan kekuatan berlebih untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia fundamental dan tindakan kriminal dasar. Kami sudah menunjukkan bahwa kami siap bertindak jika memang ada bukti pelanggaran yang jelas," katanya kepada sekelompok diplomat dalam pertemuan dengan perwakilan PBB, menurut pernyataan itu.
Dua pejabat senior dari kantor kepresidenan Myanmar dan kementerian informasi membenarkan operasi militer di Rakhine telah diakhiri, tapi mengatakan sejumlah tentara tetap ditugaskan di sana untuk menjaga "perdamaian dan keamanan".
Sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya hidup dalam kondisi memprihatinkan di Rakhine. Kewarganegaraan mereka tidak diakui pemerintah Myanmar meski telah menetap di sana dari generasi ke generasi. Pemerintah Myanmar juga enggan menyebut mereka Rohingya, dan memilih label "Bengalis", atau imigran ilegal dari Bangladesh.
Jurnalis dan pengamat independen pun dilarang memasuki tempat tinggal Muslim Rohingya yang dijadikan zona operasi militer sejak terjadi serangan 9 Oktober. (rimanews.com)
Operasi yang dimulai pada Oktober setelah sembilan petugas penjaga perbatasan tewas terbunuh dalam sebuah serangan di dekat perbatasan Bangladesh. Hampir 69 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak saat itu, menurut data PBB, dikutip dari the Guardian hari ini.
Pemerintah Myanmar selalu membantah tuduhan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan tentaranya di Rakhine, termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Muslim Rohingya, dengan mengatakan bahwa operasi militer dilakukan sejalan dengan kebijakan kontra-terorisme.
"Situasi di Rakhine utara sudah stabil. Operasi pembersihan yang dilakukan militer sudah dihentikan, jam malam dilonggarkan dan hanya polisi yang bertugas untuk menjaga perdamaian," kata penasihan keamanan nasional Myanmar yang belum lama diangkat, Thaung Tun, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan kantor konselor negara Rabu.
Menurut pejabat PBB awal Februari lalu, lebih dari 1.000 Muslim Rohingya tewas terbunuh selama operasi militer Myanmar di Rakhine.
Beberapa hari sebelumnya, Human Rights Watch (HRW) mengatakan militer Myanmar juga melakukan pemerkosaan secara sistematis terhadap wanita dan gadis Muslim Rohingya selama operasi.
"Tidak ada alasan menggunakan kekuatan berlebih untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia fundamental dan tindakan kriminal dasar. Kami sudah menunjukkan bahwa kami siap bertindak jika memang ada bukti pelanggaran yang jelas," katanya kepada sekelompok diplomat dalam pertemuan dengan perwakilan PBB, menurut pernyataan itu.
Dua pejabat senior dari kantor kepresidenan Myanmar dan kementerian informasi membenarkan operasi militer di Rakhine telah diakhiri, tapi mengatakan sejumlah tentara tetap ditugaskan di sana untuk menjaga "perdamaian dan keamanan".
Sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya hidup dalam kondisi memprihatinkan di Rakhine. Kewarganegaraan mereka tidak diakui pemerintah Myanmar meski telah menetap di sana dari generasi ke generasi. Pemerintah Myanmar juga enggan menyebut mereka Rohingya, dan memilih label "Bengalis", atau imigran ilegal dari Bangladesh.
Jurnalis dan pengamat independen pun dilarang memasuki tempat tinggal Muslim Rohingya yang dijadikan zona operasi militer sejak terjadi serangan 9 Oktober. (rimanews.com)
loading...
Post a Comment