![]() |
Jurnalis Aceh gelar aksi teatrikal. ©2017 Merdeka.com/afif |
Banda Aceh - Jurnalis di Aceh, menggelar aksi menolak kekerasan terhadap pekerja media, Senin (13/2) di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Aksi ini dilakukan sebagai respons atas sejumlah kekerasan yang menimpa jurnalis akhir-akhir ini. Namun belum ada satu pun pelaku kekerasan yang diseret ke pengadilan.
Peserta aksi dari lintas organisasi, selain berorasi juga menggelar teatrikal kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Semua kartu pers dan kamera diletakkan di atas jalan, lalu ada seorang jurnalis menampilkan teatrikal sedang dianiaya.
Selain membawa sejumlah poster yang dituliskan berbagai macam tuntutan, seperti "Lawan Premanisme Terhadap Press". Ada juga poster lainnya "Press Bebas Tanpa Intimidasi" "Jurnalis Bukan Target Kekerasan" dan sejumlah poster bernada protes lainnya. Sebagai simbul berduka atas kekerasan yang terus terjadi di Indonesia. Peserta aksi juga menggunakan ikat kepala dengan pita hitam selama aksi berlangsung.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Adi Warsidi dalam orasinya mengatakan, kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis di Indonesia tidak bisa dibiarkan terus terjadi.
"Kekerasan terhadap jurnalis itu tidak bisa ditolerir terus terjadi, ini harus dilawan," kata Adi Warsidi.
Menurutnya, pekerja media dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya dilindungi oleh undang-undang. Melakukan kekerasan dan menghalang-halangi terhadap jurnalis, berarti telah melanggar aturan yang ada di Indonesia.
Sementara itu Koordinator Aksi, Afifuddin Acal menegaskan, tindakan kekerasan ini mencerminkan masih ada warga negara yang tidak menghargai dan menghormati profesi jurnalis. Masih ada yang belum memahami bahwa jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya juga dilindungi oleh Undang-undang.
"Kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis ini tidak bisa ditolelir dan dimaafkan begitu saja. Penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian harus segera mengusut tuntas," tegasnya.
Ketua Divisi Advokasi AJI Banda Aceh itu menyebutkan, pasal 18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan, pelaku yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang- halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Pelakunya dapat diancam hukumannya dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
"Kalau pun ada pihak tertentu yang kurang puas, atau beranggapan pemberitaan tidak berimbang, ada saluran melapor pada Dewan Pers, atau minta hak jawab. Negera Indonesia Negara hukum, jangan gunakan hukum rimba," tegasnya.
Adapun organisasi yang terlibat pada aksi itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Aceh dan Aceh Movie Makers (AMM).(*)
Peserta aksi dari lintas organisasi, selain berorasi juga menggelar teatrikal kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Semua kartu pers dan kamera diletakkan di atas jalan, lalu ada seorang jurnalis menampilkan teatrikal sedang dianiaya.
Selain membawa sejumlah poster yang dituliskan berbagai macam tuntutan, seperti "Lawan Premanisme Terhadap Press". Ada juga poster lainnya "Press Bebas Tanpa Intimidasi" "Jurnalis Bukan Target Kekerasan" dan sejumlah poster bernada protes lainnya. Sebagai simbul berduka atas kekerasan yang terus terjadi di Indonesia. Peserta aksi juga menggunakan ikat kepala dengan pita hitam selama aksi berlangsung.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Adi Warsidi dalam orasinya mengatakan, kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis di Indonesia tidak bisa dibiarkan terus terjadi.
"Kekerasan terhadap jurnalis itu tidak bisa ditolerir terus terjadi, ini harus dilawan," kata Adi Warsidi.
Menurutnya, pekerja media dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya dilindungi oleh undang-undang. Melakukan kekerasan dan menghalang-halangi terhadap jurnalis, berarti telah melanggar aturan yang ada di Indonesia.
Sementara itu Koordinator Aksi, Afifuddin Acal menegaskan, tindakan kekerasan ini mencerminkan masih ada warga negara yang tidak menghargai dan menghormati profesi jurnalis. Masih ada yang belum memahami bahwa jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya juga dilindungi oleh Undang-undang.
"Kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis ini tidak bisa ditolelir dan dimaafkan begitu saja. Penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian harus segera mengusut tuntas," tegasnya.
Ketua Divisi Advokasi AJI Banda Aceh itu menyebutkan, pasal 18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan, pelaku yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang- halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Pelakunya dapat diancam hukumannya dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
"Kalau pun ada pihak tertentu yang kurang puas, atau beranggapan pemberitaan tidak berimbang, ada saluran melapor pada Dewan Pers, atau minta hak jawab. Negera Indonesia Negara hukum, jangan gunakan hukum rimba," tegasnya.
Adapun organisasi yang terlibat pada aksi itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Aceh dan Aceh Movie Makers (AMM).(*)
Merdeka.com
loading...
Post a Comment