StatusAceh.Net - Hari
ini, 15 Agustus 2016, genap sebelas tahun usia perdamaian Aceh sejak
Nota Kesepahaman Damai diteken pihak RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
tahun 2005 di Helsinki, Finlandia.
Hari ini tentu saja merupakan hari paling bersejarah bagi rakyat Aceh, karena sudah sebelas tahun kita tak lagi hidup dalam pusaran konflik bersenjata yang telah menelan korban hampir 30.000 jiwa selama 29 tahun fase konflik.
Kita juga tak lagi perlu risau dan khawatir melakukan berbagai aktivitas, mulai dari mencari nafkah, menuntut ilmu, sampai menunaikan ibadah hingga larut malam, karena di lingkungan kita tak ada lagi para kombatan. Saat konflik berkecamuk, mereka biasanya kerap bertempur dengan aparat keamanan negara, sehingga peluru nyasar, bom, ataupun lemparan granat dari mereka yang bertempur itu bisa saja melukai tubuh bahkan mencabut nyawa kita, para warga sipil. Dari sisi dapat kita maknai bahwa perdamaian telah menghadirkan rasa aman yang luas dan efektif, sehingga indeks ‘human security’ di Aceh meningkat.
Kita juga tak perlu lagi meratapi kematian demi kematian sia-sia yang sedikitnya 1.000 orang per tahun, akibat benturan dua kepentingan. Di satu sisi GAM yang ingin Aceh pisah dari Indonesia dan di sisi lain Indonesia yang tak ingin Aceh yang kaya dan pemurah, bahkan daerah modal bagi kemerdekaan RI, lepas dari rangkulannya.
Hari ini, mari kita syukuri nikmat perdamaian itu, seperti 71 tahun lalu kita mensyukuri nikmat kemerdekaan setelah silih berganti direcoki kolonial.
Hari ini mari pula kita berkata jujur bahwa perdamaian sungguh belum menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh warga Aceh. Angka kemiskinan di provinsi ini bukan saja masih tinggi, tapi bahkan lebih tinggi dari angka secara nasional. Aceh 17,11%, sedangkan nasional hanya 11%. Artinya, hampir satu juta dari 5,8 juta penduduk Aceh masih miskin. Angka penggangguran terbuka di Aceh pun masih terbilang tinggi. Tahun lalu angkanya tercatat 9,93% dari 2,2 juta angkatan kerja. Ya, kurang lebih 218.460 orang Aceh kini tak punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemimpin Aceh saat ini, maupun yang terpilih pada Februari tahun depan dalam Pilkada Aceh. Kita tentunya tak boleh menyia-nyiakan nikmat perdamaian ini dengan tak mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan kesejahteraan yang merata bagi rakyat Aceh. Pendulum perdamaian, seperti dikatakan Profesor Johan Galtung, pakar komunikasi dan resolusi konflik dari Amerika Serikat, haruslah bergerak ke arah positif. Ke arah pemberdayaan ekonomi, peningkatan income per kapita, dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Adalah kesalahan yang tak terampuni jika di masa damai pemerintah gagal dan gagal lagi menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika konflik tak lagi jadi faktor penghalang. Seperti dikatakan Gubernur Aceh di Harian Serambi Indonesia kemarin bahwa perdamaian harus menghadirkan kesejahteraan untuk semua. Itulah target kita ke depan, agar perdamaian Aceh penuh makna dan membahagiakan bagi semua. Pendek kata, perdamaian Aceh sebagai legacy (warisan yang sangat bernilai) dari SBY-Malik Mahmud dan Martti Ahtisaari, harus bisa kita maknai dan gerakkan ke arah positif. Bukan hanya sekadar telah menghadirkan ‘human security’, tapi harus pula mampu mewujudkan ‘human happiness’. Semua orang tentunya ingin hidup bahagia, termasuk di Aceh. Semoga menjadi nyata.
Sumber: Serambi Indonesia
Hari ini tentu saja merupakan hari paling bersejarah bagi rakyat Aceh, karena sudah sebelas tahun kita tak lagi hidup dalam pusaran konflik bersenjata yang telah menelan korban hampir 30.000 jiwa selama 29 tahun fase konflik.
Kita juga tak lagi perlu risau dan khawatir melakukan berbagai aktivitas, mulai dari mencari nafkah, menuntut ilmu, sampai menunaikan ibadah hingga larut malam, karena di lingkungan kita tak ada lagi para kombatan. Saat konflik berkecamuk, mereka biasanya kerap bertempur dengan aparat keamanan negara, sehingga peluru nyasar, bom, ataupun lemparan granat dari mereka yang bertempur itu bisa saja melukai tubuh bahkan mencabut nyawa kita, para warga sipil. Dari sisi dapat kita maknai bahwa perdamaian telah menghadirkan rasa aman yang luas dan efektif, sehingga indeks ‘human security’ di Aceh meningkat.
Kita juga tak perlu lagi meratapi kematian demi kematian sia-sia yang sedikitnya 1.000 orang per tahun, akibat benturan dua kepentingan. Di satu sisi GAM yang ingin Aceh pisah dari Indonesia dan di sisi lain Indonesia yang tak ingin Aceh yang kaya dan pemurah, bahkan daerah modal bagi kemerdekaan RI, lepas dari rangkulannya.
Hari ini, mari kita syukuri nikmat perdamaian itu, seperti 71 tahun lalu kita mensyukuri nikmat kemerdekaan setelah silih berganti direcoki kolonial.
Hari ini mari pula kita berkata jujur bahwa perdamaian sungguh belum menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh warga Aceh. Angka kemiskinan di provinsi ini bukan saja masih tinggi, tapi bahkan lebih tinggi dari angka secara nasional. Aceh 17,11%, sedangkan nasional hanya 11%. Artinya, hampir satu juta dari 5,8 juta penduduk Aceh masih miskin. Angka penggangguran terbuka di Aceh pun masih terbilang tinggi. Tahun lalu angkanya tercatat 9,93% dari 2,2 juta angkatan kerja. Ya, kurang lebih 218.460 orang Aceh kini tak punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemimpin Aceh saat ini, maupun yang terpilih pada Februari tahun depan dalam Pilkada Aceh. Kita tentunya tak boleh menyia-nyiakan nikmat perdamaian ini dengan tak mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan kesejahteraan yang merata bagi rakyat Aceh. Pendulum perdamaian, seperti dikatakan Profesor Johan Galtung, pakar komunikasi dan resolusi konflik dari Amerika Serikat, haruslah bergerak ke arah positif. Ke arah pemberdayaan ekonomi, peningkatan income per kapita, dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Adalah kesalahan yang tak terampuni jika di masa damai pemerintah gagal dan gagal lagi menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika konflik tak lagi jadi faktor penghalang. Seperti dikatakan Gubernur Aceh di Harian Serambi Indonesia kemarin bahwa perdamaian harus menghadirkan kesejahteraan untuk semua. Itulah target kita ke depan, agar perdamaian Aceh penuh makna dan membahagiakan bagi semua. Pendek kata, perdamaian Aceh sebagai legacy (warisan yang sangat bernilai) dari SBY-Malik Mahmud dan Martti Ahtisaari, harus bisa kita maknai dan gerakkan ke arah positif. Bukan hanya sekadar telah menghadirkan ‘human security’, tapi harus pula mampu mewujudkan ‘human happiness’. Semua orang tentunya ingin hidup bahagia, termasuk di Aceh. Semoga menjadi nyata.
Sumber: Serambi Indonesia
loading...
Post a Comment