StatusAceh.Net - Sepanjang sejarah perjuangan perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah menyerah kalah. Aceh selalu membara dan melahirkan pahlawan-pahlawan, termasuk beberapa srikandi yang gagah perkasa.
Salah satu di antara mereka adalah Pocut Meurah Intan, srikandi Tanah Rencong. Makamnya baru saja ditemukan di tengah pekuburan rakyat desa Tegalsari, Blora. Siapakah dia dan bagaimana peranannya dalam perjuangan ?
Pantai Ceureumen dibalut sepi. Matahari telah lama bersembunyi di balik bukit sebelah barat. Bintang di langit terus berkerdip menyaksikan ulah beberapa penumpang kapal di pantai sana. Orang-orang Belanda di bawah pimpinan Major Jenderal J.H.R. Kohier sedang melakukan pengintaian ke daratan Aceh. Malam itu tanggal 6 April 1873.
Sejak kemarin kapal-kapal perang bersiap di perairan Aceh. Enam buah kapal perang Jambi, Citadel van Antwerpen, Marnix, Coehoorn, Soerabaya, dan Sumatra - dua buah kapal AL, Siak dan Bronbeek telah lama mengarahkan moncong meriam ke daratan Aceh. Di samping it masih ada pelengkap yang lain yaitu delapan kapal peronda, lima barkas, enam buah kapal pegangkut, lima kapal layar, diperkuat oleh sebuah kapal komando. Kompeni rupanya tidak main-main dengan ancaman mereka untuk membumihanguskan Aceh.
Armada Belanda di bawah pimpinan kapten laut J.F. Koopman mengirim pasukan laut da darat setelah komisaris pemerintah Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuyzen gagal mengultimatum Sultan Aceh, lalu menyatakan perang pada tanggal 26 Maret 1873. Jumlah kekuatan armada itu terdiri dari 168 perwira, 3198 bawahan, 100 pekerja paksa, 50 mandor, 220 wanita, 300 pelayan dan 149 ekor kuda. Pasukan infanteri dipimpin kolonel E.C. van Daalen disertai kepala staf dan bawahannya, ajudan-ajudan, komandan-komandan batalyon, zeni, kesehatan dan topografi. Akan tetapi Aceh pantang menyerah.
Tidak ada cerita dalam sejarah Aceh untuk tunduk merunduk pada lawan, menyerah tanpa perlawanan kepada para kaphe, alias kafir. Belanda mendapat julukan yang kurang sedap di Aceh dan peperangan melawan penjajah pun mereka namakan Prang Beulanda, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe. Armada Kohier itu pun mendapat pukulan yang hebat dari darat.
Kapal perang Citadel van Antwerpen pada pendaratan pertama itu harus menerima dua belas tembakan meriam dari Aceh. Seluruh penduduk Aceh tidak pernah merasa bahwa Belanda punya hak memerintah di negeri ujung utara — Sumatra itu. Akan tetapi Kompeni berpendirian lain. Sejak Inggris ditaklukkan di daratan Eropa, jajahan Britania di mana pun menjadi pajak kekalahan. Ditandatanganinya Traktat Sumatera oleh Inggris dan Belanda yang menyatakan bahwa Belanda bebas memperluas kekuasaannya di Sumatra (1871) bertentangan dengan perjanjian sebelumnya.
Dalam Traktat London, tahun 1824, Inggris tidak berhak mengusik kedaulatan Aceh. Akan tetapi perjanjian tahun 1871 itu jelas menginjak-injak jiwa kemerdekaan Aceh. Negeri ini pun membara, bergolak dan peperangan yang panjang. Pahlawan pun bermunculan, juga mujahidin wanita, pendekar bangsa pemandu kemerdekaan.
GERILYA RAKSASA Dl LAWEUNG DAN BATEE
Perang pun berkecamuk di tanah rencong. Tidak hanya pertempuran frontal, tetapi gerakan gerilya muncul di mana-mana, mengkocar-kacirkan tentara Belanda, termasuk marsose-marsose. Di Laweung dan Batee (sekarang kabupaten Pidie) gerakan gerilya dipimpin oleh seorang mujahidah, pendekar wanita yang bersemangat baja dan pantang menyerah. Dia adalah Pocut Meurah Intan alias Si Intan Merah.
Citanya pada tanah kelahiran yang diilhami oleh kepercayaan pada agama dan pendidikan masa kanak-kanak dari gum ngaji serta pengaruh Hikayat Perang Sabil, membuat Intan Merah memiliki jiwa perlawanan yang tidak kenal menyerah. Di hadapan moncong senapan dan keiewang marsose, wanita berdarah biru itu tak gentar dengan semangat jihad.
Keberaniannya menjadi teladan, dipuja bawahan, dihormati sesama pahlawan, disegani lawan. Belanda sendiri angkat topi pada keberanian srikandi yang satu ini. Suaminya lebih dahulu menyerah kepada Belanda, tetapi Intan menolak mentah-mentah dan tidak mengakui laki-laki, ayah anak-anaknya itu. "Dia bukan suamiku. Ayah anak-anakku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak pernah takut pada maut. Tetapi dia yang menyerah kepada Belanda adalah seorang pengecut yang lebih berharga seekor binatang," ucapnya.
Itulah sebabnya ia lebih suka mengajak tiga orang anaknya untuk bergerilya, membantai Belanda para kafir daripada hidup layak bersisihan dengan suami di kesultanan. Tatkala sang suami, Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah, wafat pada tahun 1245 Hijriah atau 1867 Masehi, Pocut Meurah Intan tetap melanjutkan perlawanan, bahkan lebih gigih lagi laksana singa betina yang kehilangan surai. Tiga orang putranya bahu-membahu dengan ibunda, membantai Belanda di Medan laga. Ketiga putra itu adalah Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin.
SEPOTONG EPHOS Dl KAMPUNG BIHEUE.
Awal November 1902, satu brigade patroli Belanda memasuki kampung Biheue. Hatroli dibawah pimpinan Mayor Jenderal T.J. Veltman itu beroperasi dari Sigli ke Padangtiji. Kampung Biheue dikenal sebagai daerah gerilya. Akan tetapi dalam sebuah operasi sebelumnya wilayah itu telah dibersihkan.
Itulah sebabnya Veltman sendiri melakukan pemeriksaan. Akan tetapi sesuatu telah terjadi. Di tengah jalan rombongan yang terdiri 18 orang prajurit berpapasan dengan seorang wanita. Kulitnya kuning, badannya tinggi, usianya sekitar 60 tahun. Sudah tua memang, tetapi dari kedua matanya seolah-olah membinar daya hidup yang luar biasa. Ini bukan wanita biasa, pikir Veltman yang memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa. Tetapi ketika beberapa serdadu mendekat, wanita yang berjalan seorang diri itu secepat kilat mencabut sesuatu dari bajunya. Sebuah rencong di tangan menyambar beberapa orang yang mendekatinya. Gerakannya cekatan.
Jurus-jurusnya adalah langkah seorang pendekar wanita. Untuk menyelamatkan diri tentara Belanda itu menembak wanita perkasa ini dan ia rebah ke tanah berlumuran darah. Dadanya berlobang. Dari bahu, kening jadan kepala darah mengalir deras. Di bahunya terdapat dua sabetan pedang, urat keningnya putus dan kepalanya terkena dua tetakan. Ketika seorang serdadu akan menghabisi nyawanya, Veltman mencegah.
"Biarkan wanita ini mati di tangan bangsanya sediri," perintah komandan itu. Meurah Intanpun ditinggalkan terkapar dalam keadaan bergelimang darah. Matikah wanita bersenjatakan rencong itu? Tubuh boleh dirobek peluru musuh tetapi jiwa dan semangatnya tidak pernah runtuh.
Senjata di tangan siap menikam lawan meskipun tenaga telah luruh dan darah mengental beku di tubuh. Raga bisa rapuh, memang, tetapi semangat tetap utuh. Pocut Meurah Intan ternyata mampu bertahan dari maut meskipun seluruh tubuhnya berselimut luka. Penduduk Biheue menyelamatkannya dan merawat luka-lukanya.
Beberapa hari setelah peristiwa perlawanan itu Veltman baru tahu bahwa wanita yang mereka temui tempo hari adalah seorang pimpinan gerilya, srikandi tanah Aceh, si Intan Merah. la pun mencoba untuk mencarinya dan hal itu tidak susah. Penduduk setempat yang tidak sampai hati menyaksikan penderitaan Meurah Intan mengadu pada Veltman dengan harapan agar pahlawan wanita itu diberi pertolongan, disembuhkan dari luka-lukanya.
Di' sebuah rumah penduduk si Intan ditemukan. Tubuhnya dibalut dengan bermacammacam kain dan menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya dioleskan kotoran sapi. Badannya lemah dan menggigil, mengerang kesakitan. Menyaksikan keadaan manusia yang demikian itu Veltman tidak sampai hati. la menawarkan bantuan dokter tetapi Meurah Intan menolak.
Di' sebuah rumah penduduk si Intan ditemukan. Tubuhnya dibalut dengan bermacammacam kain dan menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya dioleskan kotoran sapi. Badannya lemah dan menggigil, mengerang kesakitan. Menyaksikan keadaan manusia yang demikian itu Veltman tidak sampai hati. la menawarkan bantuan dokter tetapi Meurah Intan menolak.
Dengan susah payah komandan yang fasih berbahasa Aceh itu membujuknya, barulah Meurah Intan bersedia menerima pertolongan. Proses penyembuhannya lama sekali dan kakinya menjadi pincang. Kini status Pocut Meurah Intan sebagai tawanan dan ditempatkan di sebuah rumah di Kampung Keudah, Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Tidak lama kemudian ketiga putranya juga tertawan, demikian juga seorang panglima yang sangat setia padanya yaitu Pang Mahmud. Mereka ditawan bersama Pocut Meurah Intan.
Akan tetapi dalam tawanan mereka merencanakan perlawanan kembali dan memobilisasi gerilyawan yang bertebaran di sekitar Laweung, Biheue. Rencana itu cepat tercium Belanda. Pocut Meurah Intan dan anak-anaknya dibuang oleh Belanda ke luar Aceh.(SA/TM) Baca SELANJUTNYA
Dikutip Dari Buku karya: H. AMRAN ZAMZANY S.E.(PERSATUAN EX TP RESIMEN II ACEH DIVISI SUMATERA. Ketua Umum)
loading...
Post a Comment