StatusAceh.Net ---Tgk Ni. Entah apa yang ada dibenak kepalanya, ia membuat
sebuah surat yang ditujukan kepada kaki tangan orang-orang yang ada
dibawahnya. Pernyataan dari surat tersebut terkesan menghasut untuk
melakukan sesuatu yang salah dan melanggar hukum. Dalam bahasa
sehari-hari, orang yang demikian disebut juga sebagai provokator.
Semua terkejut, ternyata isi dari surat tersebut intinya adalah untuk
menggerakan kekuatan-kekuatan militer yang pernah ada, yang 10 tahun
kebelakang kabarnya sudah dibubarkan. Jika memang demikian, artinya
mereka adalah penghianat, yang secara sengaja berusaha untuk merusak
situasi dan kondisi yang belakangan ini sudah berjalan cukup baik.
Panglima Wilayah KPA/PA Wilayah Pase adalah Tgk. Zulkarnaini Bin Hamzah alias Tgk Ni
yang biasa disapa atau dikenal banyak orang. Belum selesai atas
tindakannya yang sudah menghina Presiden RI, Joko Widodo di muka umum,
kembali lagi Tgk Ni mencoba menghasut Komando Pusat
(Panglima GAM Pusat), Pimpinan Partai Aceh Pusat, Pimpinan Majelis
MUNA, Tuha 4 KPA Wilayah Pase, Panglima Sagoe/Ule Sagoe, Seluruh
Ketua Pengurus Partai Kecamatan untuk melakukan pengibaran bendera Bulan
Bintang diseluruh Aceh. Dengan berdalih bahwa bendera Bulan Bintang
tersebut merupakan hasil kesepakatan MoU Helsinki RI-GAM, Panglima
Wilayah KPA/PA Wilayah Pase mengintruksikan agar bendera Bulan Bintang,
dikibarkan diseluruh Aceh. Jika hal ini terjadi, maka otomatis Tgk Ni
adalah seorang provokator.
Beberapa bulan kebelakang memang permasalahan bendera Bulan Bintang
untuk propinsi Aceh, menjadi gunjang-gunjing baik dari para pejabat di
propinsi Aceh sampai dengan kelompok masyarakat Aceh secara luas. Tetapi
jika kita membaca kembali apa yang dituliskan dalam Mou helsinki, kita
akan mengerti secara jelas, apa yang dimaksud dari isi pernyataan
kesepakatan tersebut.
Untuk Tgk. Zulkarnaini Bin Hamzah alias Tgk Ni yang
saya hormati, mari kita lihat kembali 2 pasal MoU helsinki, yakni pasal
1.1.5 dan pasal 4.2. Adapun isi dari pasal 1.1.5 tertulis “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne”, sedangkan dipasal 4.2 tertulis “GAM
melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM
tidak akan memakai seragam maupun menunjukan emblem atau simbol militer
setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini”. Dari kedua pasal
tersebut tentunya Tgk Ni dapat menyimpulkan arti tiap-tiap pasal
tersebut. Kalau kurang jelas, mari kita kilas balik kembali kebelakang.
Pada tanggal 25 maret 2013, Pemerintah Provinsi Aceh pernah
menetapkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Daerah,
tetapi Qanun tersebut menuai protes keras dari Pemerintah Pusat.
Walaupun dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pemerintah Aceh
diperbolehkan menetapkan Bendera dan Lambang Daerah sendiri, namun
bendera yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh tersebut dipersepsikan
sebagai simbol perlawanan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,
karena bendera yang disahkan tersebut pernah dipakai sebagai bendera
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semasa konflik dahulu, sehingga hal ini dapat
memicu kembalinya potensi gerakan separatisme di Aceh. Untuk
menghindari persepsi bendera yang sudah dituliskan dalam Qanun Nomor 3
Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Daerah, maka Pemerintah Pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang
Daerah. Adapun isi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang
Lambang Daerah tersebut pada pasal 6 (4) tertulis “Desain logo
dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Jadi walaupun Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang
Daerah sudah ditetapkan oleh Pemerintah Aceh, tetapi perlu diingat
didalam pasal 1 dari Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan
Lambang Daerah menyebutkan “Aceh adalah daerah
Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem danprinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur”. Sudah jelas bukan......pada pasal 1 dari Qanun Nomor 3 tahun 2013 diatas,....SISTEM dan PRINSIP
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu ketika
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007
tentang Lambang Daerah, seharusnya Pemerintah Aceh harus mematuhi
peraturan tersebut, termasuk Tgk Ni dan rekan-rekan Tgk Ni yang lain.
Semoga penjelasan lon ini dapat diterima secara bijak oleh Tgk
Ni...Salam hormat lon buat teman-teman di Aceh...dari saudara kalian
yang ada diperantauan...(tgkmuharam).
Dikutip dari tempo.co
loading...
Post a Comment