|  | 
| Foto: Google.com | 
Aceh Utara -Malam merengkak kelam, membiarkan 
cahaya rembulan yang kaku nenerpa bumi. Rintik hujan dan sayup angin 
pesisir pantai bernyanyi mengantar dedaunan waru menari dengan 
lincahnya. Alam yang begitu bersahabat mendadak pias ditelan tagis pilu 
seorang bocah lelaki yang ditemani seorang ibunya.
Rumah yang saya tempati sekarang adalah sebuah rumah sederhana, keluarga
 saya keluarga miskin, saya bersama dengan anak-anak selalu bekerja 
keras guna membiayai kebutuhan keluarga.
Lalu turunlah hujan yang tidak begitu deras, malam belum menggigit. 
Namun, saya sedang menulis kisah tentang Saddam Husein ( 7 tahun ) dia 
adalah putra saya, saat itu dia masih duduk di bangku SD Impres Krueng 
Geukueh kelas 1.
Dia selalu menemani saya berjualan pisang goreng di lintasan Jalan 
Medan- Banda Aceh di simpang empat Krueng Geukueh sebelum berangkat 
sekolah. Demi mencukupi kebutuhan keluarga setiap paginya saya berjualan
 di tetap dapat bertahan hidup demi masa depan anak-anak saya. Saya 
dengan ayah ( Razali ) almarhum Saddam Husein telah lama bercerai, dari 
hasil perkawinan itu, saya di karuniai lima orang anak, yang bungsu 
Saddam Husein namanya.
Saddam Husein lahir di Meunasah Blang, Kabupaten Bireun, 03-02- 1992, 
dia lahir pada saat perak Irak, karena Presiden Irak waktu itu Saddam 
Husein, makanya suami saya memberi namanya dengan Saddam Husein. Putra 
saya Saddam Husein lahir pada hari Senin malam, ia meninggal dunia pada 
peristiwa berdarah di simpang KKA juga hari Senin 3 Mei 1999.
” Mak....,jak woe jak.....?” ( ibu.....,ayo pulang ) kata Saddam Husien sambil menarik-narik tangan saya.
Dua belas tahun yang lalu, tapi kata-kata itu masih melekat erat dalam 
benak saya, bagaimana bisa saya lupakan kata-kata itu. Justru gara-gara 
tidak menuruti ajakannya, saya harus kehilangan dia untuk selamanya.
Saya belum dapat melupakan peristiwa itu, saya masih merasa trauma 
sampai dengan hari ini. Malam-malam kelam masih menyelimuti perasaan 
saya, apalagi di kala saya menceritakan kisah ini dalam tulisan saya 
ini.
Saya tak mampu menghilangkan kenangan pahit dari ingatan saya, walau sudah berlangsung dua belas tahun lamanya.
Persis hari Senin, 3 Mei 1999 dua belas tahun yang lalu, saya sedang 
berjualan pisang goreng di simpang empat Krueng Geukueh, Saddam Husein 
anak saya yang baru usia SD berumur 7 tahun, segaja saya bawa ke Simpang
 KKA.
Kami semua yang berada di simpang empat Krueng Geukueh disuruh datang ke
 simpang KKA. Toko-toko di simpang empat Krueng Geukueh di suruh tutup 
oleh orang yang tidak saya kenal, jalan di blokir dengan kayu, bangku 
panjang dan beberapa kayu merintangi jalan.
Tak ada pilihan lagi bagi saya, saya terpaksa meninggalkan warung saya 
di Simpang Empat Krueng Geukueh, saat itu saya jualan pisang goreng, 
padahal waktu itu warung baru saja saya buka, belum ada yang laku. 
Hari-hari biasa dalam berusaha mencari rezki,biasanya saya pulang sore 
hari. Saya masih begitu ingat kala itu.
Sesudah menutup warung, saya berjalan kaki menuju ke Simpang KKA, 
sesekali, Saddam Husein saya gendong karena kakinya kepanasan menginjak 
aspal. Dia tidak memakai sandal waktu itu.
Sesampai di Simpang KKA, saya dan Saddam Husein berbaur dengan ratusan manusia yang sudah lebih dulu menyemut di sana.
Sebelum menuju ke simpang KKA, saya sempat menuju ke arah jalan Nisam, 
saya bingung, sepuluh menit kemudian Saddam berkata pada saya.
” Mak,...! kita belum ambil uang didalam laci.” Saddam Husein lari 
mengambil uang itu, saya kembali menyusul dia mengamil uang yang di 
maksud Saddam, uang itu berjumlah Rp.2000, uang itu terbungkus di dalam 
plastik hasil laku pertama sekali saya jualan.
Setelah itu saya hendak berangkat, tapi ada seseorang yang melarang saya
 agar tidak pergi dan tidak membawa Saddam Husein bersama. Tapi saya 
tidak percaya sama orang itu, karena saya takut dengan orang yang 
lainnya. Dalam perjalanan itu hati saya gelisah.
Beberapa saat kemudian setelah berada di Simpang KKA, Saddam Husein 
minta pulang pada saya, entah karena takut, atau teringat mau sekolah. 
Memang, biasanya dia masuk sekolah tiap pukul 13.00 Wib. Anak Saddam 
Husein baru kelas 1 di SD Impres Krueng Geukueh.
Apa hendak dikata, takdir telah di tentukan oleh yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak
” Mak....,jak woe jak...?” kata anak saya Saddam Husein waktu itu.
” Bek lee hai nyak, hana ta jeut woe,gob goeloem jiwoe ” ( Jangan dulu 
anakku, kita tidak berani pulang, orang lain belum pulang ),” ujar saya 
pada Saddam Husein untuk menengangkan sibuah hati kala itu.
Meski terasa berat, saya terpaksa menolak ajakan buah hati saya itu. Saya tidak berani bergerak dari lokasi itu.
Matahari semakin terik membakar tubuh, suasana makin memanas terasa oleh
 ribuan orang-orang yang berdatangan dari berbagai penjuru ke simpang 
KKA, Saddam Husein anak saya yang teramat saya cintai dan sayangi 
kembali merengek kepada saya.
” Mak...!! neu boeh ie bak ulee loen, ulee loen tutoeng that ” ( 
Ibu,...! siram air di kepala saya, kepala saya panas sekali ), pinta 
Saddam Husein kala itu pada saya. Saya mengabulkan permohonan dia, anak 
saya itu terlihat kembali tenang.
Kala itu jam mungkin sekitara pukul 12.30 Wib, kerena beberapa orang ada
 yang meninggalkan lokasi untuk melakukan shalat dzuhur di rumah-rumah 
terdekat.
Setelah saya sirami kepalanya dengan air Aqua ( mineral botol ) yang 
masih tersisa sedikit itu, dia malah minta berdiri di depan agar leluasa
 melihat-lihat keadaan. Namun, beberapa saat kemudian terdengar rentetan
 senjata menyalak, asap mesiu peluru menghalang 
pandang.....tor....toor.....tooor...tor....
Bedil menyalak tidak henti-hentinya, rentetan peluru tajam menerjang apa
 saja secepat kilat. Langit seakan runtuh, semua orang yang ada saat itu
 panik lari berhamburan menyelamatkan diri.
Ditengah suasana yang tak menentu dan panik, saya terjatuh pingsan. 
Ketika saya siuman, saya sudah berada di sebuah rumah warga di sekitar 
lokasi kejadian berdarah itu, entah siapa yang telah membawa saya 
kemari. Sesaat setelah siuman itu saya langsung teringat anak saya 
Saddam Husein.
” Hoe aneuk loen...? ( di mana anak saya? ) saya berseru kepada warga 
yang berada di dekat saya waktu itu. Namun, tak ada yang bisa 
menunjukkan keberadaan anak saya Saddam Husein.
Saya ingin keluar dari rumah itu untuk mencari anak saya Saddam Husein 
tapi dilarang oleh warga lain, pikiran saya semakin berkecamuk gelisah 
ingin mengetahui keberadaan Saddam Husein.
Suasana telah sedikit tenang, dua seorang laki-laki yang tidak saya 
kenal membujuk saya ,bawa saya dengan mobil Daihadzsun ke Rumah Sakit 
milik PT.Arun karena kabarnya anak saya Saddam Husein di larikan ke 
Rumah Sakit itu.
Saya memasuki ruang tempat anak saya berada, dia sudah diselimuti, 
begitu saya melihat anak saya, saya jatuh pingsan, begitu siuman saya 
sudah di tempat lain.
Beberapa saat kemudian, saya meminta bantuan pihak petugas Rumah Sakit 
PT. Arun agar bisa menhubungi mantan suami saya yang berpisah cerai 
sejak tahun 1994. Suami saya sudah kawin lagi.
Kelima anak-anak saya, termasuk Saddam Husein tinggal bersama saya di 
Kreueng Geukueh, kala itu. Meski telah berpisah, saya merasa perlu 
memberitahukan kondisi Saddam Husien yang telah tidak bernyawa lagi 
diterjang timah panas milik TNI, di Simpang KKA.
Saat mantan suami saya datang ke Rumah Sakit PT.Arun, dia menemukan 
Saddam Husein yang sudah terbujur kaku, kepala anak saya Saddam Husein 
sulit dijahit, saya sempat pingsan sekali lagi. Saya dan mantan suami 
kemudian membawa pulang Saddam Husein yang tak lagi bernafas ke rumah 
saudara di pasar Keude Krueng Geukueh.
Pukul 05.00 Wib, anak saya Saddam Husein, diantar pulang, tapi bukan 
kerumah saya, melainkan kerumah adik saya di Sudut Kota Krueng Geukueh 
di samping Kantor Pos, karena rumah saya sempit dan tidak layak. Rumah 
saya di jalan Rel Kereta Api itu rumah kontrakan.
Malam itu juga pukul 07.00 Wib anak saya Saddam Husein di kebumikan di 
pemakanaman umum Tgk Batee Timoeh, yang tidak jauh dari rumah adik saya.
 Dalam suasan pemakaman itu saya jatuh sakit.
Hari demi hari berlalu, Saddam Husein terus terbayang-bayang di mata 
saya, bila melihat anak orang lain yang seusia Saddam Husein saya 
bersedih dan berduka. Bila saya mengenang Saddam Husein sampai sekarang 
perasaan terhanyut dan terlalu sakit.
Orang-orang berbaju loreng telah menghabisi anak saya, apalagi pernah 
saya tahu dan membaca di surat kabar Serambi Indonesia, kata mereka anak
 saya Saddam Husein berusia 17 tahun.
Hati saya merasa sakit sekali, mereka membalikkan fakta, anak saya 
Saddam Husein berusia 7 tahun tidak yang dituduhkan mereka, anak saya 
bukan pemberontak.
Sebagai rasa kecintaan dan kasih sayang dan sebagai bukti, saya masih 
menyimpan baju anak saya Saddam Husein, baju itu baju yang dia pakai 
sewaktu peristiwa yang merenggut nyawanya itu. Baju itu warna putih,biru
 dan merah.
Baju itu baju pemberian pengurus pesantren di Samalanga, Kabupaten 
Bireun, di mana hadiah baju itu di berikan Waled ( Tgk.Nurul Zuhri ) 
tahun 1998, saya sempat bekerja disana sebagai tukang cuci pakaian di 
pesantren itu.
Hidup saya ibarat perjalanan yang sangat jauh untuk menempuh satu 
tujuan, bisakah saya mencapai dengan mudah atau malah sebaliknya?.
Saya memang harus bisa melalui satu persoalan, cobaan demi cobaan. 
Seperti itulah halnya hidup yang saya jalani selama ini. Saya 
membesarkan anak-anak lainnya seorang diri. Terkadang saya berpikir, 
bisakah saya melakukannya?
Terkadang saya juga bertanya pada diri sendiri, kenapa harus ada perang
Seandainya kejadian itu tidak terjadi, saya pulang atas desakan anak 
saya Saddam Husein, seandainya semua itu tidak ada, saya tidak akan 
kehilangan anak saya Saddam Husein.
Terkadang saya bangga, sekaligus sedih karena sampai hari ini saya telah
 mampu menjadi seorang ayah juga seorang ibu bagi anak-anak. Semua itu 
harus saya jalani walaupun terasa berat.
Tahun 2007 setelah perjanjian MoU Helsinki, anatara Pemerintah Republik 
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, saya bergabung dengan sebuah 
lembaga korban, bermacam kegiatan korban telah saya ikuti dengan lembaga
 kami itu.
Lembaga itu telah kami beri nama K2HAU, pertama sekali organisasi ini 
ada, saya di undang untuk mengikuti kegiatan pertemuan keluaraga korban.
Waktu pertama mengikuti pertemuan saya bimbang, tetapi setelah beberapa 
kali mengikutinya saya sudah sedikit memahami untuk apa kita 
berorganisasi dan tujuan organisasi.
Saya sendiri telah merasakan konflik itu. Ternyata sakit dan 
menyakitkan, setelah mengikuti berbagai acara, rasa takut atau curiga 
mulai berkurang.
Karena selama dalam organisasi itu saya selalu merasa dihargai, Murtala 
malah sudah saya anggap seperti keluarga sendiri, dia sering menghibur 
saya di kala saya bersedih. Bahkan dia sering kerumah saya, baik di kala
 saya sakit, sehat sedih atau gembira.
Karena perasan senasiplah saya betah di oraganisasi K2HAU, saya tidak 
merasa sendiri, ternyata masih banyak orang yang merasakan kepedihan 
saya.
Tulisan yang saya tulis ini, terasa terlukis dalam ingatan nyata. Dalam 
linangan air mata saya mencoba menyelesaikan sepenggal coretan hati, 
karena tulisan ini adalah sebagai bukti bagi orang yang memutar balik 
fakta tidak mungkin berkilah karena saya masih hidup untuk meluruskan 
semua fakta, buku yang saya tulis ini saya tinggalkan sebagai bukti di 
hari nanti.
Ini bukan karangan tetapi ini sejarah asli saya semuanya ada disini, 
yang mana saya benar ibu Saddam Husein, korban Tragedi Simpang KKA.
Bangka Jaya, 19 Maret 2011
Wassalam dari saya,
Fauziah Ibrahim
Ibu Kandung Saddam Husein
SUMBER : Bioarabasta
 
 
 
 
 
