Reklamasi membuat nelayan harus pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan ikan. |
Jakarta - Ruang wartawan di kantor Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 31 Maret 2016, mendadak tegang. Ada
kabar lembaga anti rasuah di Indonesia, kembali menangkap penyelenggara
negara karena diduga suap.
Semua isu itu menjadi jelas, tatkala pukul 20.00 WIB, tampak
rombongan kendaraan dinas KPK masuk dari pintu samping KPK. Tiga
kendaraan langsung memasuki parkir di lantai bawah tanah gedung,
termasuk di antaranya sebuah mobil Jaguar hitam dengan plat B 123 RX.
Para pemburu berita curiga. Menduga mobil mewah itu milik orang yang
tertangkap dalam operasi KPK. Belakangan, mobil itu diketahui milik
Mohamad Sanusi. Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Gerindra.
Mobil berharga miliaran buatan Inggris itu pernah dia gunakan saat
dilantik menjadi anggota legislatif.
Esok harinya, pukul 18.00 WIB, Ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode M.
Syarif menggelar konferensi pers. Secara resmi KPK menjelaskan adanya
upaya suap terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dan
Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Muhammad Sanusi tersangka penerima
suap terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dan Raperda
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dari kasus ini, ditetapkan tiga tersangka, yaitu Muhammad Sanusi
sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan pegawai PT Agung Podomoro
Land (APL), Triananda Prihantoro, serta Presiden Direktur PT APL,
Ariesman Widjaja, menjadi tersangka pemberi.
Pimpinan KPK, Saut Situmorang, menjelaskan kasus ini hanya pucuk dari
sebuah skandal mega korupsi. Di mana pihak swasta berupaya memengaruhi
kebijakan pemerintah, demi mengeruk keuntungan lebih besar.
Menurutnya, suap ini diduga menyangkut strategi pembangunan pantai di
kawasan teluk Jakarta. Para pengembang berupaya membuat jalan pintas
agar proyek bisa segera dikerjakan, meski Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta belum memiliki peraturan daerah (Perda) mengenai teknis rencana
pembangunan di atas pulau buatan.
"Ada proses yang tidak jalan atau belum sesuai urutan yang benar
dalam pelaksanaan proyek atau pelaksanaan pembangunan, yang
diperdebatkan kan itu, belum ada izin," ungkap Saut pada VIVA.co.id, Kamis, 7 April 2016.
Saut meyakini, Sanusi, Ariesman, dan Triananda tak sendirian di kasus
ini. Pasalnya, kepentingan proyek reklamasi mencakup banyak pihak. Ada
17 pulau dengan total tambahan lahan Jakarta seluas 5.100 hektare. "Ini
yang masih kita dalami karena kita tidak boleh langsung (menuding), tapi
indikasi-indikasi itu ada."
Menurut Saut, dilihat dari rencana pembangunan yang disiapkan di atas
pulau buatan ini, maka pihak yang berkepentingan agar proyek reklamasi
di Teluk Jakarta bisa segera dimulai, tak hanya sembilan perusahaan yang
kebagian proyek reklamasi ini.
"Di sana (pulau reklamasi) nanti tidak hanya orang yang menguruk
saja. Di situ banyak orang juga kan, di situ nanti ada kepentingan bikin
hotel dan lain-lain. di atas tanah segala kemungkinan bisa, mau bikin
judi di masa depan, rumah, ruko, apartemen, tempat hiburan," ungkap
Saut.
Dari sisi pembuat kebijakan, legislatif juga tak bisa sendirian
merancang dan mengesahkan sebuah peraturan daerah (Perda). Kebijakan ini
merupakan hasil keputusan bersama antara DPRD dan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. "Mereka berinteraksi di situ. Itulah, sepanjang negara ini
berdiri kan begitu, perselingkuhan persekongkolan antara eksekutif dan
legislatif dalam menetapkan pasal-pasal," ujar Saut.
Suap pun ditengarai mengarahkan pembuat kebijakan, agar pasal dalam
Raperda mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara
Jakarta, menjadi lebih ramah pada pihak swasta. Hal ini menyangkut
proses perizinan, pembagian kontribusi pulau, serta penataan ekologi dan
sosiologi.
"Orang bilang kan itu ngurukin pasir doang,
sebenarnya tidak juga kalau hanya itu yang disasar dengan Perda. Bukan
begitu, rencana tata ruang kan bukan begitu, harus jelas," terangnya.
Demi memudahkan penyidikan kasus ini, KPK juga melarang sejumlah
orang bepergian ke luar negeri. Dalam surat permohonan cegah yang
dikirimkan ke kantor Imigrasi, mereka adalah bos PT Agung Sedayu Grup,
Sugiyanto Kusuma alias Aguan; Direktur Utama PT Agung Sedayu Richard
Halim Kusuma; staf khusus Gubernur DKI Jakarta Ahok, Sunny Tanuwidjaja;
sekretaris direksi PT APL, Berlian dan seorang swasta Geri Prasetya.
Larangan bepergian ke luar negeri ini dimaksudkan agar saat KPK
membutuhkan keterangan mereka, para pihak itu memenuhi panggilan
pemeriksaan, sehingga kasus ini bisa cepat selesai.
Sebab, dari pemeriksaan sementara, diduga mereka yang tertangkap
hanya menjalankan perintah dari pihak yang lebih berkuasa dari mereka.
Adalah mereka yang memiliki kaitan dengan semua perusahaan bidang
properti itu, dan berkepentingan dengan investasi di 17 pulau buatan.
"Sebetulnya itu bagian dari perusahaan dia juga kan, jadi maksudnya
apakah ada pengembangan-pengembangan ke (perusahaan) pengembang yang
lain. Kami (KPK) belum bisa katakan ada kaitan lebih lanjut, tapi akal
sehat kita mengatakan ada big boss-nya," tambah Saut.
Selanjutnya...Reklamasi Tetap Jalan
loading...
Post a Comment