![]() |
Andi Firdhaus Lancok Rudi |
Aceh Utara - Diskriminasi pelayanan di Bea Cukai telah merugikan pelaku Ekspor Impor Lokal dan Telah merugikan Perekonomian Aceh Secara Umum. Demikian rilis disampaikan Exim Union melalui Wakil Direkturnya, Andi Firdhaus Lancok Rudi, Rabu (6/1/2016) sore.
Dalam rillis perusahaan Exim Union itu disampaikan bahwa sehubungan dengan hasil pertemuan IMT-GT di Aceh pada September 2014 lalu, maka ketiga negara Thailand, Malaysia dan Indonesia menyepakati bahwa pelabuhan Krueng Geukuh masuk dalam jalur Maritime Connectivity Ranong-Phuket-Sabang-/Malahayati dan Krueng Geukuh-Penang/Port Klang. Kesepakatan tersebut merupakan posisi strategis pelabuhan Krueng Geukuh untuk jalur trasportasi laut antar negara.
Berkaitan dengan itu, kemudian permintaan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dalam rapat Koordinasi Percepatan Investasi dan Promosi Aceh pada 3 Maret 2015 di Pendopo Gubernur mengenai Optimalisasi Transportasi Laut dengan Negara-Negara Asean melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Selain itu, Gubernur juga meminta perizinan yang cepat, sederhana, dan transparan untuk memudahkan pelaku usaha atau investor bisa segera merealisasikan aktivitas investasi tanpa kendala dan hambatan.
Lalu usaha dan perjuangan Pemerintah Aceh dalam melahirkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013 mengenai ketentuan impor produk tertentu di Pelabuhan Krueng Geukuh, Lhokseumawe Aceh. Peraturan tersebut juga memberi harapan besar bagi hidupnya perekonomian Aceh melalui kegiatan ekspor impor.
Namun, terlepas dari harapan besar pemerintah Aceh dan berbagai aturan yang ditetapkan, kami sebagai pelaku ekpor impor yang selama ini merintis usaha tersebut mengalami banyak hambatan dan kendala. Untuk itu kami meminta kepada Bapak Bupati Aceh Utara dan semua pihak untuk merespon cepat permasalahan yang terjadi guna memajukan pelabuhan berstandar internasional tersebut sesuai dengan harapan rakyat Aceh, khususnya masyarakat Aceh Utara.
Kami perlu menyampaikan kendala dan hambatan terutama kegiatan ekspor impor menggunakan Kapal Besi/ Peti Kemas yang hingga saat ini tidak berjalan. Di bawah naungan perusahaan EXIM UNION, kami meminta Bapak Bupati Aceh Utara, Gubernur Aceh, DPRK Aceh Utara, DPR Aceh dan Badan Investasi Promosi Aceh untuk segera merespon dan menindaklanjuti keluhan kami sebagai pengusaha lokal dalam memajukan pelabuhan Krueng Geukuh sebagai berikut:
1. Meminta bea cukai, mulai dari pusat hingga daerah agar dapat mengambil kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif kepada semua pengusaha ekspor impor yang ada di Aceh. Sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 166 Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA). Kebijakan bea cukai menjadi kendala yang sangat berarti yang kami alami.
2. Meminta penetapan nilai pabean antara kapal kayu dan kapal besi/ peti kemas bisa disamakan. Sehingga tidak memberatkan kami sebagai importir yang menggunakan kapal besi/ peti kemas.Mendorong implementasi sesuai Pasal 163ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA).
3. Perlu segera menindaklanjuti kemungkinan adanya permainan dalam melayani kapal kayu dan kapal besi, sehingga kami sebagai importir kapal besi tidak dirugikan.Sidak anggota DPR Aceh dan DPRK Aceh Utara perlu ditindaklanjuti berkaitan dengan temuan barang impor terlarang. Sehingga pelabuhan yang berstandar internasional tersebut tidak dijadikan sarang mafia.
4. Kami meminta PT Pelindo dan Pemerintah Aceh untuk segera mencari solusi atas minimnya fasilitas pelabuhan, seperti crane dll. Sehingga berakibat lambatnya proses bongkar muat yang pada akhirnya merugikan pengusaha kapal besi/ peti kemas. Mengacu pada Pasal 172 Ayat 1,2 dan 3 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), pemerintah Acehmemiliki kewenangan yang besar dan mengelola dan membangun pelabuhan dengan menuangkannya dalam bentuk Qanun.
5. Meminta pemerintah serius dan bertindak cepat menangani persoalan tersebut, agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013 berdampak efektif untuk kemajuan perekonomian Aceh.
6. Kami sebagai pengusaha lokal meminta kepada pemerintah untuk mendukung upaya yang kami lakukan agar pelabuhan Krueng Geukuh berdenyut seperti harapan masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara.
7. Kami juga menganggap aneh, sejak ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013, belum terlihat kegiatan di pelabuhan tersebut lebih maju. Bahkan hanya satu importil kapal kayu yang selama ini leluasa menjalankan bisnisnya.
8. Kami meminta Pemerintah, Bea Cukai, PT Pelindo, DPR, dan pelaku usaha ekspor impor agar secepatnya melakukan pertemuan untuk mencari solusi terbaik dalam memajukan pelabuhan Krueng Geukuh.
9. Kami juga berharap, agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013 tidak dimanfaatkan hanya oleh pihak2 tertentu demi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja, sehingga tidak menyentuh perekonomian rakyat Aceh secara umum.
10. Kami juga prihatin atas kerugian yang dialami PT Pelindo I Lhokseumawe seperti yang disampaikan Managernya Wayan Wirawan hingga Rp 500 juta pada tahun 2013 dan meningkat kerugian menjadi Rp 4,6 Miliar pada tahun 2014. Perlu dicarikan solusi dan indikasi2 lain yang mengakibatkan kerugian ini. Berdasarkan UU-PA, kewenangan seluruh pelabuhan di Aceh menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh.
Sebagai pengusaha dan orang Aceh, kami terus berjuang demi kemajuan perekonomian Aceh, sehingga kami tidak terus menjadi penonton di negeri sendiri. Saatnya kami ingin berperan setelah Aceh mengalami konflik sekian lama.
Demikianlah siaran pers ini kami sampaikan, semoga menjadi informasi yang berguna untuk kemajuan pemberitaan dan perekonomian Aceh ke depan.(*)
Dalam rillis perusahaan Exim Union itu disampaikan bahwa sehubungan dengan hasil pertemuan IMT-GT di Aceh pada September 2014 lalu, maka ketiga negara Thailand, Malaysia dan Indonesia menyepakati bahwa pelabuhan Krueng Geukuh masuk dalam jalur Maritime Connectivity Ranong-Phuket-Sabang-/Malahayati dan Krueng Geukuh-Penang/Port Klang. Kesepakatan tersebut merupakan posisi strategis pelabuhan Krueng Geukuh untuk jalur trasportasi laut antar negara.
Berkaitan dengan itu, kemudian permintaan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dalam rapat Koordinasi Percepatan Investasi dan Promosi Aceh pada 3 Maret 2015 di Pendopo Gubernur mengenai Optimalisasi Transportasi Laut dengan Negara-Negara Asean melalui Pelabuhan Krueng Geukuh. Selain itu, Gubernur juga meminta perizinan yang cepat, sederhana, dan transparan untuk memudahkan pelaku usaha atau investor bisa segera merealisasikan aktivitas investasi tanpa kendala dan hambatan.
Lalu usaha dan perjuangan Pemerintah Aceh dalam melahirkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013 mengenai ketentuan impor produk tertentu di Pelabuhan Krueng Geukuh, Lhokseumawe Aceh. Peraturan tersebut juga memberi harapan besar bagi hidupnya perekonomian Aceh melalui kegiatan ekspor impor.
Namun, terlepas dari harapan besar pemerintah Aceh dan berbagai aturan yang ditetapkan, kami sebagai pelaku ekpor impor yang selama ini merintis usaha tersebut mengalami banyak hambatan dan kendala. Untuk itu kami meminta kepada Bapak Bupati Aceh Utara dan semua pihak untuk merespon cepat permasalahan yang terjadi guna memajukan pelabuhan berstandar internasional tersebut sesuai dengan harapan rakyat Aceh, khususnya masyarakat Aceh Utara.
Kami perlu menyampaikan kendala dan hambatan terutama kegiatan ekspor impor menggunakan Kapal Besi/ Peti Kemas yang hingga saat ini tidak berjalan. Di bawah naungan perusahaan EXIM UNION, kami meminta Bapak Bupati Aceh Utara, Gubernur Aceh, DPRK Aceh Utara, DPR Aceh dan Badan Investasi Promosi Aceh untuk segera merespon dan menindaklanjuti keluhan kami sebagai pengusaha lokal dalam memajukan pelabuhan Krueng Geukuh sebagai berikut:
1. Meminta bea cukai, mulai dari pusat hingga daerah agar dapat mengambil kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif kepada semua pengusaha ekspor impor yang ada di Aceh. Sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 166 Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA). Kebijakan bea cukai menjadi kendala yang sangat berarti yang kami alami.
2. Meminta penetapan nilai pabean antara kapal kayu dan kapal besi/ peti kemas bisa disamakan. Sehingga tidak memberatkan kami sebagai importir yang menggunakan kapal besi/ peti kemas.Mendorong implementasi sesuai Pasal 163ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA).
3. Perlu segera menindaklanjuti kemungkinan adanya permainan dalam melayani kapal kayu dan kapal besi, sehingga kami sebagai importir kapal besi tidak dirugikan.Sidak anggota DPR Aceh dan DPRK Aceh Utara perlu ditindaklanjuti berkaitan dengan temuan barang impor terlarang. Sehingga pelabuhan yang berstandar internasional tersebut tidak dijadikan sarang mafia.
4. Kami meminta PT Pelindo dan Pemerintah Aceh untuk segera mencari solusi atas minimnya fasilitas pelabuhan, seperti crane dll. Sehingga berakibat lambatnya proses bongkar muat yang pada akhirnya merugikan pengusaha kapal besi/ peti kemas. Mengacu pada Pasal 172 Ayat 1,2 dan 3 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), pemerintah Acehmemiliki kewenangan yang besar dan mengelola dan membangun pelabuhan dengan menuangkannya dalam bentuk Qanun.
5. Meminta pemerintah serius dan bertindak cepat menangani persoalan tersebut, agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013 berdampak efektif untuk kemajuan perekonomian Aceh.
6. Kami sebagai pengusaha lokal meminta kepada pemerintah untuk mendukung upaya yang kami lakukan agar pelabuhan Krueng Geukuh berdenyut seperti harapan masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara.
7. Kami juga menganggap aneh, sejak ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013, belum terlihat kegiatan di pelabuhan tersebut lebih maju. Bahkan hanya satu importil kapal kayu yang selama ini leluasa menjalankan bisnisnya.
8. Kami meminta Pemerintah, Bea Cukai, PT Pelindo, DPR, dan pelaku usaha ekspor impor agar secepatnya melakukan pertemuan untuk mencari solusi terbaik dalam memajukan pelabuhan Krueng Geukuh.
9. Kami juga berharap, agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 61/M-DAG/PER/2013 tidak dimanfaatkan hanya oleh pihak2 tertentu demi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja, sehingga tidak menyentuh perekonomian rakyat Aceh secara umum.
10. Kami juga prihatin atas kerugian yang dialami PT Pelindo I Lhokseumawe seperti yang disampaikan Managernya Wayan Wirawan hingga Rp 500 juta pada tahun 2013 dan meningkat kerugian menjadi Rp 4,6 Miliar pada tahun 2014. Perlu dicarikan solusi dan indikasi2 lain yang mengakibatkan kerugian ini. Berdasarkan UU-PA, kewenangan seluruh pelabuhan di Aceh menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh.
Sebagai pengusaha dan orang Aceh, kami terus berjuang demi kemajuan perekonomian Aceh, sehingga kami tidak terus menjadi penonton di negeri sendiri. Saatnya kami ingin berperan setelah Aceh mengalami konflik sekian lama.
Demikianlah siaran pers ini kami sampaikan, semoga menjadi informasi yang berguna untuk kemajuan pemberitaan dan perekonomian Aceh ke depan.(*)
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment