![]() |
Korban konflik Aceh berunjuk rasa di halaman PN Aceh, Rabu (17/2/2016). (Metrotvnews.com/Nurul Fajri) |
Banda Aceh - Ribuan orang yang tergabung dalam Tim
Relawan Aceh atau TRA sejak pagi tadi mendatangi Pengadilan Negeri Banda
Aceh, Rabu 17 Februari 2016. Mereka datang untuk mengawal jalannya
sidang gugatan terhadap Presiden Republik Indonesia dan segenap elemen
Pemerintah Nanggroe Aceh Darusalam (NAD).
Sekjen TRA, Zulkifli mengatakan, massa datang dari seluruh penjuru Aceh atas inisiatif sendiri. Mereka merupakan korban konflik yang saat ini belum juga mendapat ganti rugi.
"Kami adalah bukti dan saksi konflik Aceh yang telah memakan korban, harta benda, dan nyawa rakyat Aceh," ujarnya, di depan gedung PN Banda Aceh.
Zulkifli meminta pemerintah Indonesia terutama Pemerintah NAD peka keadaaan rakyat. Hingga saat ini, masih banyak korban-korban konflik yang belum mendapatkan bantuan reintegrasi pascaperjanjian damai tahun 2005.
Sebelumnya, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) telah mengajukan gugatan kepada semua aktor yang terlibat dalam proses perjanjian damai Aceh. Mereka yang digugat seperti Presiden RI, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali NAD Malik Mahmud, dan Marti Antashari.
Dalam gugatannya, YARA meminta Pemerintah NAD segera merealisasikan butir-butir MoU Helsinki. Terutama pasal 326 tentang pembentukan komisi bersama penyelesaian klaim.
Direktur YARA, Safaruddin mengatakan komisi penyelesaian klaim ini harus dibentuk untuk menyelesaikan segala proses ganti rugi yang dialami masyarakat selama konflik bersenjata di Aceh. Kata dia, segala bentuk kompensasi bagi para korban konflik yang kehilangan harta benda hanya bisa diselesaikan lewat komisi ini.
“Karena klaim ini adalah ganti rugi harta benda bagi setiap orang di Aceh. Baik sipil, TNI, Polri yang kehilangan harta benda harus diganti kerena bagian dari kompensasi konflik,” tegas Safaruddin.
Menurut data yang ia pegang, Safaruddin mengklaim 5.000 orang anggota TRA belum tersentuh kompensasi reintegrasi. Dia mengatakan, jumlah tersebut bisa jadi terus bertambah.
Ribuan korban konflik yang belum mendapat bantuan dana setelah perjanjian damai tersebut, ungkapnya, merupakan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di sejumlah daerah di Aceh.
Bentuk ganti rugi
Sementara itu, Kepala Badan Penguatan Perdamaian Aceh, T. Maimun Ramli mengatakan selama ini pihaknya telah memberikan bantuan bagi para mantan kombatan GAM, mantan tahanan politik dan narapidana politik, serta masyarakat yang mendapat imbas akibat konflik bersenjata di Aceh.
Dia mengatakan, selama tahun 2015, pihaknya telah membangun 31 ribu unit rumah bagi para korban konflik di seluruh Aceh. Terutama daerah-daerah basis seperti Pidie, Pase, Perlak, Aceh Besar. Juga daerah lain yang terkena imbas konflik seperti Aceh Singkil dan Simeulu.
Maimum mengatakan, pihaknya juga sudah mengadakan pelatihan perbengkelan bagi 820 mantan kombatan GAM di seluruh Aceh. Termasuk, 120 orang janda konflik yang juga dilatih menjahit.
Sebelumnya, dia juga mengatakan sejak tahun 2006 pihaknya telah mengadakan program rehabilitasi fisik dan mental bagi masyarakat Aceh korban konflik. Program rehabilitasi tersebut bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit, baik dalam maupun luar negeri untuk mengobati para korban.
“Pemberian uang cash untuk mereka tidak ada,” sebutnya.
Reintegrasi
Konflik di Aceh bermula saat GAM resmi berdiri 4 Desember 1976. GAM melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia.
Setelah berkonflik hampir 30 tahun, akhirnya GAM dan pemerintah sepakat berdamai. Perdamaian itu dituangkan dalam perjanjian Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Atau, delapan bulan setelah Aceh dilanda gempa dan tsunami yang menewaskan ratusan ribu jiwa.
Atas kesepakatan Helsinki, dibentuklah Aceh Monitoring Mission (AMM). Tim yang beranggotakan lima negara ASEAN ditambah negara anggota Uni Eropa bertugas mengawasi implementasi perjanjian damai.
Dalam satu poin kesepakatan reintegrasi, pemerintah bersedia memberikan ganti rugi pada mantan pejuang GAM, amnesti pada tahanan politik, hingga ganti rugi pada keluarga dan janda pejuang GAM. Namun, hingga hari ini masih banyak warga yang mengklaim belum mendapat bantuan reintegrasi tersebut.(metrotv)
Sekjen TRA, Zulkifli mengatakan, massa datang dari seluruh penjuru Aceh atas inisiatif sendiri. Mereka merupakan korban konflik yang saat ini belum juga mendapat ganti rugi.
"Kami adalah bukti dan saksi konflik Aceh yang telah memakan korban, harta benda, dan nyawa rakyat Aceh," ujarnya, di depan gedung PN Banda Aceh.
Zulkifli meminta pemerintah Indonesia terutama Pemerintah NAD peka keadaaan rakyat. Hingga saat ini, masih banyak korban-korban konflik yang belum mendapatkan bantuan reintegrasi pascaperjanjian damai tahun 2005.
Sebelumnya, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) telah mengajukan gugatan kepada semua aktor yang terlibat dalam proses perjanjian damai Aceh. Mereka yang digugat seperti Presiden RI, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali NAD Malik Mahmud, dan Marti Antashari.
Dalam gugatannya, YARA meminta Pemerintah NAD segera merealisasikan butir-butir MoU Helsinki. Terutama pasal 326 tentang pembentukan komisi bersama penyelesaian klaim.
Direktur YARA, Safaruddin mengatakan komisi penyelesaian klaim ini harus dibentuk untuk menyelesaikan segala proses ganti rugi yang dialami masyarakat selama konflik bersenjata di Aceh. Kata dia, segala bentuk kompensasi bagi para korban konflik yang kehilangan harta benda hanya bisa diselesaikan lewat komisi ini.
“Karena klaim ini adalah ganti rugi harta benda bagi setiap orang di Aceh. Baik sipil, TNI, Polri yang kehilangan harta benda harus diganti kerena bagian dari kompensasi konflik,” tegas Safaruddin.
Menurut data yang ia pegang, Safaruddin mengklaim 5.000 orang anggota TRA belum tersentuh kompensasi reintegrasi. Dia mengatakan, jumlah tersebut bisa jadi terus bertambah.
Ribuan korban konflik yang belum mendapat bantuan dana setelah perjanjian damai tersebut, ungkapnya, merupakan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di sejumlah daerah di Aceh.
Bentuk ganti rugi
Sementara itu, Kepala Badan Penguatan Perdamaian Aceh, T. Maimun Ramli mengatakan selama ini pihaknya telah memberikan bantuan bagi para mantan kombatan GAM, mantan tahanan politik dan narapidana politik, serta masyarakat yang mendapat imbas akibat konflik bersenjata di Aceh.
Dia mengatakan, selama tahun 2015, pihaknya telah membangun 31 ribu unit rumah bagi para korban konflik di seluruh Aceh. Terutama daerah-daerah basis seperti Pidie, Pase, Perlak, Aceh Besar. Juga daerah lain yang terkena imbas konflik seperti Aceh Singkil dan Simeulu.
Maimum mengatakan, pihaknya juga sudah mengadakan pelatihan perbengkelan bagi 820 mantan kombatan GAM di seluruh Aceh. Termasuk, 120 orang janda konflik yang juga dilatih menjahit.
Sebelumnya, dia juga mengatakan sejak tahun 2006 pihaknya telah mengadakan program rehabilitasi fisik dan mental bagi masyarakat Aceh korban konflik. Program rehabilitasi tersebut bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit, baik dalam maupun luar negeri untuk mengobati para korban.
“Pemberian uang cash untuk mereka tidak ada,” sebutnya.
Reintegrasi
Konflik di Aceh bermula saat GAM resmi berdiri 4 Desember 1976. GAM melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia.
Setelah berkonflik hampir 30 tahun, akhirnya GAM dan pemerintah sepakat berdamai. Perdamaian itu dituangkan dalam perjanjian Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Atau, delapan bulan setelah Aceh dilanda gempa dan tsunami yang menewaskan ratusan ribu jiwa.
Atas kesepakatan Helsinki, dibentuklah Aceh Monitoring Mission (AMM). Tim yang beranggotakan lima negara ASEAN ditambah negara anggota Uni Eropa bertugas mengawasi implementasi perjanjian damai.
Dalam satu poin kesepakatan reintegrasi, pemerintah bersedia memberikan ganti rugi pada mantan pejuang GAM, amnesti pada tahanan politik, hingga ganti rugi pada keluarga dan janda pejuang GAM. Namun, hingga hari ini masih banyak warga yang mengklaim belum mendapat bantuan reintegrasi tersebut.(metrotv)
loading...
Post a Comment