StatusAceh.Net - Seorang peneliti sekaligus penjelajah asal Inggris bernama William Marsden, memulai pengamatan ke Pulau Sumatera pada tahun 1771. Ia berhasil mengungkapkan hal-hal yang tidak belum terungkap sebelumnya, bukunya, The History of Sumatra merupakan sebuah karya besar pada abad ke-18 yang ditulis berdasarkan riset dan observasi yang sudah tergolong canggih waktu itu.
William Marsden menuliskan kesannya ketika membuka bab 21 tentang Aceh, “Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Sumatera yang pernah mencapai pengaruh politik yang cukup terpandang bagi bangsa barat, sehingga catatan sejarahnya menjadi suatu subjek umum. Namun, kondisinya saat ini sangat berbeda dengan kondisi saat mereka berhasil mencegah kekuatan Portugis menjejakkan kaki di Sumatera dan para pangerannya menerima duta-duta dari seluruh bangsa besar di Eropa.”
Marsden disatu sisi mengakui kegemilangan sejarah masa lampau Aceh, namun disatu disisi juga mengamati bahwa pada akhir abad ke-18, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami penurunan kekuatan, pengaruh, dan sinarnya telah meredup.
Mengenai penduduk Aceh, Marsden menulis; “Karakteristik fisik orang Aceh sangat berbeda dengan orang Sumatera lainnya. Mereka biasanya lebih tinggi, lebih kekar, dan kulitnya lebih gelap. Bukan berarti mereka mewakili karakteristik fisik penduduk asli, tapi berdasarkan berbagai alasan, dapat diasumsikan merupakan percampuran antara orang Batak dan orang Melayu dengan orang chulia, yaitu orang-orang yang mereka sebut sebagai bangsa dari India barat (Pakistan sekarang-penulis) yang sudah sejak dulu sering mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Dari segi wataknya, mereka lebih aktif dan giat daripada beberapa penduduk negeri lainnya. Mereka lebih bijaksana, memiliki pengetahuan tentang negeri-negeri lainnya, dan sebagai pedagang mereka bertransaksi pada prinsip-prinsip yang lebih luas dan liberal. Namun, pengamatan terhadap prinsip-prinsip tersebut lebih banyak dilakukan terhadap para pedagang yang berada jauh dari ibu kota dan terhadap tulisan-tulisan mereka daripada pengamatan yang dilakukan di Aceh yang berdasarkan watak dan contoh tindakan raja yang sedang berkuasa seringkali berpikiran sempit, memeras dan, menindas.
Bahasa mereka merupakan salah satu dialek yang umum digunakan di kepulauan timur dan kemiripannya dengan bahasa Batak dapat dilihat pada tabel perbandingannya. Namun, mereka tetap menggunakan aksara Melayu.
Dalam segi agama, mereka menganut agama Islam dan memiliki banyak ulama. Mereka banyak berinteraksi dengan orang-orang asing yang juga beragama Islam. Bentuk peribadatan dan upacara-upacaranya dijalankan dengan cukup ketat pada aturan.”
Terlepas dari beberapa gambaran baik tentang Kesultanan Aceh, sebagaimana para penjelajah Eropa yang lain, Marsden menarik kesimpulan yang sama, bahwa Aceh merupakan salah satu negeri yang paling tidak jujur dan mengerikan di kawasan timur terutama ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara yaitu Inggris, Belanda, Portugis, Spanyol bahkan Perancis.
Baca di Sumber
William Marsden menuliskan kesannya ketika membuka bab 21 tentang Aceh, “Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Sumatera yang pernah mencapai pengaruh politik yang cukup terpandang bagi bangsa barat, sehingga catatan sejarahnya menjadi suatu subjek umum. Namun, kondisinya saat ini sangat berbeda dengan kondisi saat mereka berhasil mencegah kekuatan Portugis menjejakkan kaki di Sumatera dan para pangerannya menerima duta-duta dari seluruh bangsa besar di Eropa.”
Marsden disatu sisi mengakui kegemilangan sejarah masa lampau Aceh, namun disatu disisi juga mengamati bahwa pada akhir abad ke-18, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami penurunan kekuatan, pengaruh, dan sinarnya telah meredup.
Mengenai penduduk Aceh, Marsden menulis; “Karakteristik fisik orang Aceh sangat berbeda dengan orang Sumatera lainnya. Mereka biasanya lebih tinggi, lebih kekar, dan kulitnya lebih gelap. Bukan berarti mereka mewakili karakteristik fisik penduduk asli, tapi berdasarkan berbagai alasan, dapat diasumsikan merupakan percampuran antara orang Batak dan orang Melayu dengan orang chulia, yaitu orang-orang yang mereka sebut sebagai bangsa dari India barat (Pakistan sekarang-penulis) yang sudah sejak dulu sering mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Dari segi wataknya, mereka lebih aktif dan giat daripada beberapa penduduk negeri lainnya. Mereka lebih bijaksana, memiliki pengetahuan tentang negeri-negeri lainnya, dan sebagai pedagang mereka bertransaksi pada prinsip-prinsip yang lebih luas dan liberal. Namun, pengamatan terhadap prinsip-prinsip tersebut lebih banyak dilakukan terhadap para pedagang yang berada jauh dari ibu kota dan terhadap tulisan-tulisan mereka daripada pengamatan yang dilakukan di Aceh yang berdasarkan watak dan contoh tindakan raja yang sedang berkuasa seringkali berpikiran sempit, memeras dan, menindas.
Bahasa mereka merupakan salah satu dialek yang umum digunakan di kepulauan timur dan kemiripannya dengan bahasa Batak dapat dilihat pada tabel perbandingannya. Namun, mereka tetap menggunakan aksara Melayu.
Dalam segi agama, mereka menganut agama Islam dan memiliki banyak ulama. Mereka banyak berinteraksi dengan orang-orang asing yang juga beragama Islam. Bentuk peribadatan dan upacara-upacaranya dijalankan dengan cukup ketat pada aturan.”
Terlepas dari beberapa gambaran baik tentang Kesultanan Aceh, sebagaimana para penjelajah Eropa yang lain, Marsden menarik kesimpulan yang sama, bahwa Aceh merupakan salah satu negeri yang paling tidak jujur dan mengerikan di kawasan timur terutama ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara yaitu Inggris, Belanda, Portugis, Spanyol bahkan Perancis.
Baca di Sumber
loading...
Post a Comment