StatusAceh.Net - Kita semua patut bersedih ketika sang (mantan) pejuang ternyata mampu dibeli dengan harga yang sangat murah, hanya lima ratus juta rupiah. Eagle one has fallen! Kita semua mencari tokoh, seseorang dengan visi menjangkau jauh ke depan. Seorang pemimpin yang kuat dan jujur, serta memiliki daftar panjang kehebatan di masa lalu, yang menggugah dan mengayomi, seseorang yang pandai tapi juga mau diingatkan. Besar tapi merendah.
Harapan itu pudar pelan-pelan. Ketika (mantan) pejuang terpilih kembali, ia berubah menjadi pribadi yang tak kita kenal sebelumnya, ia menggila dengan menyerang pribadi orang-orang yang berseberangan dengannya, Ad Hominem. Sesuatu yang bagi kami tidak layak dimiliki oleh seorang pemimpin. Semakin lama ia semakin sombong dengan kekuasaannya. Beberapa oknum loyalis bahkan lebih ganas lagi di media sosial menyerang lawan politiknya, sebagaimana sebuah aksi akan mengundang reaksi, mengutip Hukum Newton. Perilaku menyerang menghasilkan serangan balasan, maka di depan mata kita secara telanjang terjadi pertempuran sosial media yang ganas karena periuk nasi, tentang ekonomi tentunya, yang tak terbayangkan oleh kita akan terjadi sebelumnya.
Tapi sejarah memang bisa menikung kearah yang tak kita perhitungkan, selalu ada belokan yang memperdaya di koridor panjang yang ditempuh. Sejarah itu sendiri adalah proses. Mungkin salah ketika kita terlalu berharap pada demokrasi, tingginya biaya politik telah membuat banyak kepala daerah terjerat korupsi. Maka politisi lain (terutama lawan), mungkin jangan terlalu senang. Siapapun bisa buntung, hanya beda waktu saja.
Apakah benar dia korupsi? Biarlah KPK yang membuktikan. Benar atau tidak sebenarnya kita semua sudah kalah, hancur. Korban yang sesungguhnya adalah masyarakat, betapa hancur mengetahui bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan ditelan bulat-bulat oleh para penguasa (dan sekutunya). Bertrilyun-trilyun uang darah konflik itu ternyata telah dikorupsi.
Berhakkah kita marah membabi buta kepadanya? Dari kacamata korban seharusnya kita merasa tak berhak. Mengapa? Karena ketika melihat wajahnya, berbalut rompi oranye itu, kita melihat wajah seorang manusia biasa, yang telanjang, menitikkan air mata, tanpa jaket pilot, tanpa kancing-kancing keemasan. Beliau adalah wajah kita, pemimpin selalu mencerminkan apa yang ia pimpin. Iya, marwah Aceh ditingkat nasional telah hancur.
Uang, jika dipikir-pikir adalah sebuah persekongkolan yang tak diucapkan, kita semua tahu bahwa uang hanyalah selembar kertas, atau sepotong logam. Sekarang uang bahkan sering tak terlihat, byte-byte computer menjelma sebagai kadar jumlah, ia seakan sebuah benda khayal yang berpindah dari sebuah rekening ke rekening yang jauh dalam buku tabungan. Tapi kita membuatnya menjadi begitu penting, sebab uang bisa kita ubah menjadi sekarung beras menjadi sejumlah suara dalam pemilu, serumus obat menjadi emas berlian, sebuah memo menjadi medali-medali, sebuah pedang emas kuno menjadi sebuah mobil. Uang adalah perantara yang menghubungkan.
Kepada para lawan politik beliau, kalaulah bisa saya mengingatkan. Jangan larut dalam euphoria politik yang menyesatkan. Bersatulah untuk kami, rakyat biasa. Jikalah bisa janganlah terlalu mengejar uang, tak akan ada ujungnya. Kekhususan serta kelokalan yang kita nikmati selama ini bisa saja terbang melayang, kemudian menghilang. Semua akibat apa? Keserakakan akan uang.
Jikalah hidup mengejar uang akan seperti papan datar yang diketam. Rata, mulus dan tak akan pernah mendalam. Dengan itu, harga-harga barang riuh bekerja dalam kepala manusia, sebutir kepala tak lagi spesial ketika memilih diam atau bergerak “hanya” karena angka-angka tersebut. Kepada ia yang gemar menghardik, ketahuilah, dengarkanlah sebuah lirik Bob Dylan; “Money doen’t talk; it swears,” kalau boleh sedikit bersenandung untuknya.
Harapan itu pudar pelan-pelan. Ketika (mantan) pejuang terpilih kembali, ia berubah menjadi pribadi yang tak kita kenal sebelumnya, ia menggila dengan menyerang pribadi orang-orang yang berseberangan dengannya, Ad Hominem. Sesuatu yang bagi kami tidak layak dimiliki oleh seorang pemimpin. Semakin lama ia semakin sombong dengan kekuasaannya. Beberapa oknum loyalis bahkan lebih ganas lagi di media sosial menyerang lawan politiknya, sebagaimana sebuah aksi akan mengundang reaksi, mengutip Hukum Newton. Perilaku menyerang menghasilkan serangan balasan, maka di depan mata kita secara telanjang terjadi pertempuran sosial media yang ganas karena periuk nasi, tentang ekonomi tentunya, yang tak terbayangkan oleh kita akan terjadi sebelumnya.
Tapi sejarah memang bisa menikung kearah yang tak kita perhitungkan, selalu ada belokan yang memperdaya di koridor panjang yang ditempuh. Sejarah itu sendiri adalah proses. Mungkin salah ketika kita terlalu berharap pada demokrasi, tingginya biaya politik telah membuat banyak kepala daerah terjerat korupsi. Maka politisi lain (terutama lawan), mungkin jangan terlalu senang. Siapapun bisa buntung, hanya beda waktu saja.
Apakah benar dia korupsi? Biarlah KPK yang membuktikan. Benar atau tidak sebenarnya kita semua sudah kalah, hancur. Korban yang sesungguhnya adalah masyarakat, betapa hancur mengetahui bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan ditelan bulat-bulat oleh para penguasa (dan sekutunya). Bertrilyun-trilyun uang darah konflik itu ternyata telah dikorupsi.
Berhakkah kita marah membabi buta kepadanya? Dari kacamata korban seharusnya kita merasa tak berhak. Mengapa? Karena ketika melihat wajahnya, berbalut rompi oranye itu, kita melihat wajah seorang manusia biasa, yang telanjang, menitikkan air mata, tanpa jaket pilot, tanpa kancing-kancing keemasan. Beliau adalah wajah kita, pemimpin selalu mencerminkan apa yang ia pimpin. Iya, marwah Aceh ditingkat nasional telah hancur.
Uang, jika dipikir-pikir adalah sebuah persekongkolan yang tak diucapkan, kita semua tahu bahwa uang hanyalah selembar kertas, atau sepotong logam. Sekarang uang bahkan sering tak terlihat, byte-byte computer menjelma sebagai kadar jumlah, ia seakan sebuah benda khayal yang berpindah dari sebuah rekening ke rekening yang jauh dalam buku tabungan. Tapi kita membuatnya menjadi begitu penting, sebab uang bisa kita ubah menjadi sekarung beras menjadi sejumlah suara dalam pemilu, serumus obat menjadi emas berlian, sebuah memo menjadi medali-medali, sebuah pedang emas kuno menjadi sebuah mobil. Uang adalah perantara yang menghubungkan.
Kepada para lawan politik beliau, kalaulah bisa saya mengingatkan. Jangan larut dalam euphoria politik yang menyesatkan. Bersatulah untuk kami, rakyat biasa. Jikalah bisa janganlah terlalu mengejar uang, tak akan ada ujungnya. Kekhususan serta kelokalan yang kita nikmati selama ini bisa saja terbang melayang, kemudian menghilang. Semua akibat apa? Keserakakan akan uang.
Jikalah hidup mengejar uang akan seperti papan datar yang diketam. Rata, mulus dan tak akan pernah mendalam. Dengan itu, harga-harga barang riuh bekerja dalam kepala manusia, sebutir kepala tak lagi spesial ketika memilih diam atau bergerak “hanya” karena angka-angka tersebut. Kepada ia yang gemar menghardik, ketahuilah, dengarkanlah sebuah lirik Bob Dylan; “Money doen’t talk; it swears,” kalau boleh sedikit bersenandung untuknya.
Baca Selanjutnya
loading...
Post a Comment