![]() |
Ilustrasi |
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka korupsi, Selasa (3/4/2018). Mereka diduga menerima suap masing-masing sekitar Rp300-350 juta dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Korupsi berjemaah di Sumut ini bukan yang pertama. Pada 21 Maret 2018, KPK juga menetapkan 19 tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan 19 tersangka ini merupakan pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Moch. Arief Wicaksono (Pimpinan DPRD) dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono.
Jika ditarik lebih jauh lagi, kasus korupsi berjemaah ini jumlahnya akan semakin banyak, seperti kasus Hambalang, kasus cek perjalanan pemilihan deputi gubernur BI, dan skandal proyek e-KTP. Dalam kasus e-KTP misalnya, disebutkan bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama, dari legislatif, eksekutif hingga pihak swasta.
Bagaimana modus-modus korupsi berjemaah ini terjadi?
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faridz menyatakan korupsi berjemaah terjadi setidaknya karena dua unsur sebagai pintu masuk. Pertama, kongkalikong antara pihak legislatif dan eksekutif. Kedua, minimnya integritas pejabat publik.
“Enggak mungkin kemudian proyeksi anggaran dilakukan akan terpenuhi targetnya kalau tidak melibatkan dua pintu tadi, karena integritasnya sama-sama buruk akhirnya korupsi. Ini kan soal perilaku,” kata Donal kepada Tirto, Rabu (4/4/2018).
Donal mengatakan umumnya korupsi berawal dari permohonan pengusaha yang mengiming-iming sejumlah hadiah atau uang. Anggota legislatif biasanya akan mengkondisikan proses penganggaran proyek. Setelah anggaran disahkan, menurut Donal para pengusaha itu mengkondisikan lelang. Modus seperti ini terjadi dalam proses korupsi berjamaah e-KTP.
Sementara itu, untuk modus korupsi berjemaah di Sumut, Donal berpendapat karena peran legislatif yang memiliki fungsi pengawasan anggaran. Dalam konteks ini, persetujuan anggaran menjadi alat anggota DPRD untuk mendapatkan uang dari pengesahan APBD.
Partai Ikut Berperan
Peran partai politik tidak bisa diabaikan bila ada korupsi berjemaah. Ia mengingatkan, para anggota legislatif dan pejabat eksekutif dipilih berdasarkan rekomendasi partai. Sayangnya, kata dia, ketika kader parpol ada yang terlibat kasus korupsi, mereka tidak mengambil sikap tegas.
Menurut Donal, meskipun sejumlah partai pada ramai menyebut slogan “berantas korupsi”, namun tidak sedikit kadernya yang tetap melakukan tindakan korupsi. Donal menilai, hal itu terjadi akibat para kader yang koruptif memiliki peran sentral bagi kelangsungan partai.
“Orang-orang yang bermasalah itu justru kadang-kadang banyak berkontribusi terhadap partai politik, mereka sambil menduduki jabatan strategis di partai,” kata Donal.
Donal menyatakan, kader-kader bermasalah tersebut memberikan kontribusi beragam, salah satunya pendanaan seperti yang dilakukan Setya Novanto. Donal mengatakan pada persidangan korupsi e-KTP diketahui politikus yang dikenal “licin” itu pernah memberikan uang sebesar Rp5 miliar untuk Rapimnas Partai Golkar.
Donal menilai, pemberian uang itu sangat diperlukan demi menjalankan roda organisasi kepartaian yang memerlukan biaya besar. Oleh sebab itu, keaktifan dan kontribusi para kader partai bermasalah membuat parpol tetap memberikan posisi strategis.
Menurut Donal, korupsi berjemaah terjadi akibat minimnya niat partai untuk berubah. Ia berkata, selama ini slogan partai bersih hanya sebagai permainan semata. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengatur partai politik agar korupsi berjamaah tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Baca Selengkapnya
Korupsi berjemaah di Sumut ini bukan yang pertama. Pada 21 Maret 2018, KPK juga menetapkan 19 tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan 19 tersangka ini merupakan pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Moch. Arief Wicaksono (Pimpinan DPRD) dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono.
Jika ditarik lebih jauh lagi, kasus korupsi berjemaah ini jumlahnya akan semakin banyak, seperti kasus Hambalang, kasus cek perjalanan pemilihan deputi gubernur BI, dan skandal proyek e-KTP. Dalam kasus e-KTP misalnya, disebutkan bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama, dari legislatif, eksekutif hingga pihak swasta.
Bagaimana modus-modus korupsi berjemaah ini terjadi?
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faridz menyatakan korupsi berjemaah terjadi setidaknya karena dua unsur sebagai pintu masuk. Pertama, kongkalikong antara pihak legislatif dan eksekutif. Kedua, minimnya integritas pejabat publik.
“Enggak mungkin kemudian proyeksi anggaran dilakukan akan terpenuhi targetnya kalau tidak melibatkan dua pintu tadi, karena integritasnya sama-sama buruk akhirnya korupsi. Ini kan soal perilaku,” kata Donal kepada Tirto, Rabu (4/4/2018).
Donal mengatakan umumnya korupsi berawal dari permohonan pengusaha yang mengiming-iming sejumlah hadiah atau uang. Anggota legislatif biasanya akan mengkondisikan proses penganggaran proyek. Setelah anggaran disahkan, menurut Donal para pengusaha itu mengkondisikan lelang. Modus seperti ini terjadi dalam proses korupsi berjamaah e-KTP.
Sementara itu, untuk modus korupsi berjemaah di Sumut, Donal berpendapat karena peran legislatif yang memiliki fungsi pengawasan anggaran. Dalam konteks ini, persetujuan anggaran menjadi alat anggota DPRD untuk mendapatkan uang dari pengesahan APBD.
Partai Ikut Berperan
Peran partai politik tidak bisa diabaikan bila ada korupsi berjemaah. Ia mengingatkan, para anggota legislatif dan pejabat eksekutif dipilih berdasarkan rekomendasi partai. Sayangnya, kata dia, ketika kader parpol ada yang terlibat kasus korupsi, mereka tidak mengambil sikap tegas.
Menurut Donal, meskipun sejumlah partai pada ramai menyebut slogan “berantas korupsi”, namun tidak sedikit kadernya yang tetap melakukan tindakan korupsi. Donal menilai, hal itu terjadi akibat para kader yang koruptif memiliki peran sentral bagi kelangsungan partai.
“Orang-orang yang bermasalah itu justru kadang-kadang banyak berkontribusi terhadap partai politik, mereka sambil menduduki jabatan strategis di partai,” kata Donal.
Donal menyatakan, kader-kader bermasalah tersebut memberikan kontribusi beragam, salah satunya pendanaan seperti yang dilakukan Setya Novanto. Donal mengatakan pada persidangan korupsi e-KTP diketahui politikus yang dikenal “licin” itu pernah memberikan uang sebesar Rp5 miliar untuk Rapimnas Partai Golkar.
Donal menilai, pemberian uang itu sangat diperlukan demi menjalankan roda organisasi kepartaian yang memerlukan biaya besar. Oleh sebab itu, keaktifan dan kontribusi para kader partai bermasalah membuat parpol tetap memberikan posisi strategis.
Menurut Donal, korupsi berjemaah terjadi akibat minimnya niat partai untuk berubah. Ia berkata, selama ini slogan partai bersih hanya sebagai permainan semata. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengatur partai politik agar korupsi berjamaah tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Baca Selengkapnya
loading...
Post a Comment