![]() |
Efriza koordinator LFDI |
Pilkada DKI Jakarta bagi Efriza, telah menyita energi masyarakat, perdebatan terjadi antarpribadi, kelompok, dan di pemukiman warga. Medium yang turut berperan besar selain media massa adalah media baru dan media online. Perguliran pendapat itu memberi pengaruh terhadap orang banyak dalam waktu tertentu.
Isu publik yang terekspos di Pilkada DKI Jakarta tidak hanya bersifat umum seperti visi-misi yang ditawarkan pasangan calon, juga adanya stigma intoleransi beragama terhadap salah satu pasangan calon.
Opini publik dalam iklim demokrasi, kehidupan politik dan komunikasi politik diibaratkan sebagai vox Populi, vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Opini publik di satu sisi sebagai kontrol sosial masyarakat, di sisi lain juga menunjukkan adanya nalar dari warga negara.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta salah satu pasangan calon Ahok memperoleh stigma intoleransi. Stigma merupakan sisi lain dari opini publik (Lynda Lee Kaid, 2015). Ketika stigma itu dilekatkan tentu saja identitas orang itu menjadi terganggung, stigma tentu mengisolasi Ahok, sehingga ia sulit berlaku seperti umum dirinya. Stigma tentu telah mengajarkan Ahok untuk menyesuaikan penampilan, sikap, dan bertutur sehingga bisa diterima oleh masyarakat.
Opini publik tentu tidak berhenti di sana. Pakar-pakar komunikator politik (tim-tim sukses) dari pasangan calon masing-masing, juga menciptakan perguliran isu untuk menjadi opini-opini publik lainnya. Situasi ini tentu tidak membuat pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, bisa membusungkan dada menganggap bahwa mereka telah dipercaya oleh masyarakat.
Pasangan ini disudutkan dalam pendapat masyarakat yang menganggap bahwa pasangan tersebut tidak memiliki tawaran kebijakan lebih baik. Malah terkesan, mereka setuju dengan kebijakan-kebijakan pasangan calon dari petahana (Ahok-Djaraot) hanya sedikit-sedikit saja yang dikutak-katik, seperti Kartu Jakarta Pintar menjadi Kartu Jakarta Pintar Plus.
Pendapat masyarakat lainnya, pasangan calon ini cuma punya gagasan dalam isu calon pemimpin baru saja tanpa adanya program baru yang dapat sangat memikat masyarakat, artinya hanya asal bukan Ahok, itu saja.
Jika begitu, di mana arti penting Opini Publik? Beberapa minggu ini, perguliran isu pun banyak berhamburan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Seperti, Presiden Joko Widodo meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama (24/03).
Sebelumnya, tentu manuver politik dari partai-partai politik, dengan mana memasuki putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, koalisi PDI Perjuangan atau koalisi Gerindra begitu gencar mendekati partai politik seperti Partai Demokrat, PPP, PAN, dan PKB.
Komposisi lebih besar dimenangkan oleh PDI Perjuangan dengan bertambahnya gerbong koalisi melalui dukungan PPP dan PKB. Image Partai Demokrat tidak sepenuhnya dapat dianggap non-blok di antara dua blok, melalui terjalinnya pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat SBY dengan Presiden Jokowi yang notabene merupakan petugas partai dari PDI Perjuangan (09/03).
Partai Amanat Nasional memilih bergabung dengan koalisi PKS-Gerindra, meski terjadi implikasi koalisi PAN ditingkat provinsi itu tidak selaras dengan pemerintah pusat, sekaligus juga mempertanyakan keseriusan PAN dalam koalisi baru tersebut.
Pendapat Jokowi yang memisahkan agama dan politik, dan juga adanya peran para tokoh-tokoh partai politik seperti dari DPR, DPRD Provinsi dan Kota, dan pejabat-pejabat eksekutif daerah yang turut diterjunkan di DKI Jakarta oleh masing-masing koalisi pasangan calon, maupun peran yang diberikan terhadap anggota baru dari koalisi seperti PPP dan PKB, maupun PAN, untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta bagi pasangan calonnya masing-masing. Upaya ini dilakukan agar opini publik diharapkan dapat memainkan perannya dalam sifatnya yang dinamis dan mudah berubah.
Ini pula yang akhirnya isu agama perlahan-lahan mulai bergeser dalam perangkingan isu dari khalayak. Sebab, memang apa yang sudah dipercayai oleh khalayak belum tentu langsung dianggapnya penting.
Persoalan ini pun akhirnya, menunjukkan bahwa yang menentukan terakhir dari pilihan masyarakat adalah nilai-nilai kesejahteraan. Nilai-nilai kesejahteraan menjadi pertimbangan besar dalam pemungutan suara di Pilkada DKI Jakarta Putaran kedua pada Rabu (19/04) pekan nanti.
Perubahan di khalayak ini yang perlu diperhatikan dari pasangan-pasangan calon. Sebab, perubahan itu ditunjukkan efeknya dalam bentuk perilaku publik dengan memberikan suara untuk kemenangan dalam Pilkada DKI Jakarta Putaran kedua terhadap pasangan calon petahana atau sebaliknya. Ini yang menunjukkan bahwa opini publik turut berperan dalam kontrol sosial dan tentu saja nalar turut menyertainya.
Apapun pilihan rakyat nantinya, kita perlu menyatakan dalam sikap bahwa di antara dua pasangan calon terpilih itu, adalah pasangan-pasangan terbaik dari hasil pilihan-pilihan partai politik dan tentu saja pilihan mayoritas publik terhadap pasangan calon menunjukkan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu telah memenangkan hati publik.
Jangan pernah menyalahkan pilihan rakyat karena keterpilihan dari pasangan calon berdasarkan pilihan warga negara itu adalah juga bagian dari esensi dasar negara demokrasi (dengan catatan tanpa kecurangan). SELAMAT MEMILIH
Oleh: Efriza
Kordinator Program dan Riset di lembaga Forum Demokrasi untuk Indonesia (FD.I)
loading...
Post a Comment