StatusAceh.Net - Hoaks menjadi kata yang semakin banyak digunakan akhir-akhir ini, terutama di tengah momentum pilpres 2019 di mana masing-masing kubu politik mengklaim lawannya sebagai penyebar hoaks maupun mengklaim diri sebagai korbannya. Hoaks sesungguhnya bukanlah fenomena baru, dan pada faktanya hoaks tidak selalu berhubungan dengan politik.
Bermacam hoaks beredar di tahun 2018 lalu mulai dari Wali Kota Palu yg dikabarkan meninggal karena Tsunami padahal masih hidup, pemukulan Ratna Sarumpaet hingga berbagai macam hoaks mengenai korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang sebetulnya merupakan pesawat lain . Oleh karena semakin populernya kata maupun fenomena hoaks akhir-akhir ini, menarik untuk menelaah apa yang dimaksud hoaks menurut berbagai sumber yang kredibel.
Menurut Cambridge Dictionary, Hoaks adalah rencana yang digunakan untuk mengelabui seseorang. Sedangkan, Merriam Webster menyatakan bahwa hoaks adalah trik yang dimaksudkan agar orang lain percaya terhadap suatu hal yang tidak benar bahkan tidak masuk akal. Sumber lain dari Urban Dictionary menyebutkan bahwa hoaks adalah rekayasa kebohongan yang dibuat sengaja untuk menyamarkannya dengan kebenaran.
Sementara itu, mantan dosen Filsafat UI Rocky Gerung mendefiniskan hoaks sebagai sesuatu yang memiliki kadar informasinya nol atau lebih kecil. Definisi ini agak membingungkan, sebab lebih masuk akal kalau analoginya kadar informasinya lebih dari nol itu benar, nol berarti tidak ada informasi dan kurang dari nol artinya bohong.
Rocky juga menyatakan bahwa “pembuat hoaks terbaik adalah penguasa karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong, seperti intelijen, data statistik dan media”. Rocky melanjutkan “hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna”. Hoaks buatan Negara (pemerintah) yang menghasilkan perang besar yang merugikan masyarakat, diantaranya:
1) Insiden Gleiwitz, yakni insiden sabotase militer Polandia atas Jerman, yang sebenarnya diorkestrasi oleh Jerman sendiri. Hal ini sengaja dibuat Hitler sebagai alasan untuk melakukan invasi ke Polandia dan memulai Perang Dunia II, yang menelan jutaan korban.
2) Hoaks Erns Telegram. karena editing telegram Kaisar Prussia oleh PM Otto Von Bismarck. Bismarck menghapus lebih dari 200 kata, menyebabkan konten telegram yang diterima oleh Perancis seolah raja Wiliam menghina dubes Perancis Vincent Benedetti ketika berusaha melakukan lobi politik. Hoaks ini menghasilkan perang Perancis-Prussia yang metenggut ribuan nyawa.
Tesis Rocky Gerung tentang hoaks dapat diterima kalau melihat fakta-fakta tersebut. Namun, seiring dengan keterbukaan dan kecanggihan teknologi, hoaks dapat dilakukan oleh siapa saja. Contoh paling dekat adalah Ratna Sarumpaet ketika mengklaim bahwa ia menderita lebam akibat dipukuli padahal lebam-lebam yang dideritanya adalah akibat sedot lemak. Hoaks bahkan bisa dilihat dari hal-hal keseharian misalnya karyawan yang membolos kantor membuat whatsapp story sedang di klinik, padahal video yang diunggah tersebut direkamnya berapa bulan yang lalu.
Selain itu, ternyata masih ada hoaks yang masih dipercaya sebgian besar masyarakat kita. Yang pertama adalah:
1) Hoaks mengenai jumlah perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Kabar ini beredar dari mulai warung kopi hingga ke masjid. Padahal faktanya data CIA 2017 menunjukkan bahwa jumlah pria lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan 1.02 pria berbanding 1 perempuan. Artinya, terdapat 0.02 laki-laki (70 juta orang) yang terancam tidak memiliki pasangan. Jadi, praktek poligami sama saja dengan memperbesar kemungkinan laki-laki mendapatkan pasangan.
2) Hoaks mengenai pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin Jendral korban G30S yang dilakukan Pasukan Cakrabirawa. Hoaks tersebut terklarifikasi bohong tahun 2009 namun masih sering dipercaya hingga kini, karena masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap perkembangan informasi.
Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts dalam bukunya The Liar In Your Life: The Way To Truthful Relationships pada tahun 2009 menyebutkan bahwa Saat kepercayaan diri terancam seseorang akan dengan mudah membuat hoaks atau berbohong. Riset Feldman ini dimuat dalam Journal of basic and Applied Psychology. Riset tersebut menyebutkan setidaknya 60 persen dari orang yang diriset oleh Feldman ini berbohong dalam setiap perbincangan yang dilakukan.
Feldman menyebut orang kerap berbohong secara refleks ketika berbicara. Kebohongan, menurut Feldman, lahir karena banyak orang yang ingin diterima dan membuat orang lain terkesima pada diri kita, agar diterima atau membuat orang lain menjadi suka. Feldman percaya kalau manusia emang diprogram untuk berbohong sekaligus mempercayainya. Dalam keseharian hal ini dapat dilihat dari prilaku pura-pura suka, pura-pura ramah dll Fieldman melanjutkan bahwa tindkan mengelabui bahkan mengelabui diri sendiri itu diperlukan untuk bertahan.
Filsuf Jerman Friedrich Nieztche dalam penelitiannya “On Truth and lies in a nonmoral Sense” menyebutkan manusia akan percaya apapun tanpa konsekuensi logis asalkan diulang-ulang lebih dari sekali. Hal inilah yang membuat politisi tidak jarang berbohong demi terpilih sebagai pejabat publik.
Hoaks sebagai sebuah informasi fabrikasi yang bertujuan lelucon tentunya tidak berdampak banyak dan hanya berdampak pada indvidu atau sekelompok orang. Namun, hoaks juga banyak yang bertujuan bahkan untuk merenut kekuasaan bahwkan mengadu domba orang-orang bahkan antar Negara hingga menyebabkan perang.
Dibutuhkan literasi informasi masyarakat di era digital ini untuk segera dapat memeriksa kebenaran sebuah kabar. Sebenarnya generasi ini lebih diuntungkan dengan terciptanya media dari berbagai mediumbaik cetak, elektronik maupun internet. Generasi saat ini harusnya lebih bisa memeriksa sesuatu kabar hoaks atau bukan hoaks ketimbang generasi masa lalu yang terbatas terhadap akses media. | Rimanews.com
Bermacam hoaks beredar di tahun 2018 lalu mulai dari Wali Kota Palu yg dikabarkan meninggal karena Tsunami padahal masih hidup, pemukulan Ratna Sarumpaet hingga berbagai macam hoaks mengenai korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang sebetulnya merupakan pesawat lain . Oleh karena semakin populernya kata maupun fenomena hoaks akhir-akhir ini, menarik untuk menelaah apa yang dimaksud hoaks menurut berbagai sumber yang kredibel.
Menurut Cambridge Dictionary, Hoaks adalah rencana yang digunakan untuk mengelabui seseorang. Sedangkan, Merriam Webster menyatakan bahwa hoaks adalah trik yang dimaksudkan agar orang lain percaya terhadap suatu hal yang tidak benar bahkan tidak masuk akal. Sumber lain dari Urban Dictionary menyebutkan bahwa hoaks adalah rekayasa kebohongan yang dibuat sengaja untuk menyamarkannya dengan kebenaran.
Sementara itu, mantan dosen Filsafat UI Rocky Gerung mendefiniskan hoaks sebagai sesuatu yang memiliki kadar informasinya nol atau lebih kecil. Definisi ini agak membingungkan, sebab lebih masuk akal kalau analoginya kadar informasinya lebih dari nol itu benar, nol berarti tidak ada informasi dan kurang dari nol artinya bohong.
Rocky juga menyatakan bahwa “pembuat hoaks terbaik adalah penguasa karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong, seperti intelijen, data statistik dan media”. Rocky melanjutkan “hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna”. Hoaks buatan Negara (pemerintah) yang menghasilkan perang besar yang merugikan masyarakat, diantaranya:
1) Insiden Gleiwitz, yakni insiden sabotase militer Polandia atas Jerman, yang sebenarnya diorkestrasi oleh Jerman sendiri. Hal ini sengaja dibuat Hitler sebagai alasan untuk melakukan invasi ke Polandia dan memulai Perang Dunia II, yang menelan jutaan korban.
2) Hoaks Erns Telegram. karena editing telegram Kaisar Prussia oleh PM Otto Von Bismarck. Bismarck menghapus lebih dari 200 kata, menyebabkan konten telegram yang diterima oleh Perancis seolah raja Wiliam menghina dubes Perancis Vincent Benedetti ketika berusaha melakukan lobi politik. Hoaks ini menghasilkan perang Perancis-Prussia yang metenggut ribuan nyawa.
Tesis Rocky Gerung tentang hoaks dapat diterima kalau melihat fakta-fakta tersebut. Namun, seiring dengan keterbukaan dan kecanggihan teknologi, hoaks dapat dilakukan oleh siapa saja. Contoh paling dekat adalah Ratna Sarumpaet ketika mengklaim bahwa ia menderita lebam akibat dipukuli padahal lebam-lebam yang dideritanya adalah akibat sedot lemak. Hoaks bahkan bisa dilihat dari hal-hal keseharian misalnya karyawan yang membolos kantor membuat whatsapp story sedang di klinik, padahal video yang diunggah tersebut direkamnya berapa bulan yang lalu.
Selain itu, ternyata masih ada hoaks yang masih dipercaya sebgian besar masyarakat kita. Yang pertama adalah:
1) Hoaks mengenai jumlah perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Kabar ini beredar dari mulai warung kopi hingga ke masjid. Padahal faktanya data CIA 2017 menunjukkan bahwa jumlah pria lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan 1.02 pria berbanding 1 perempuan. Artinya, terdapat 0.02 laki-laki (70 juta orang) yang terancam tidak memiliki pasangan. Jadi, praktek poligami sama saja dengan memperbesar kemungkinan laki-laki mendapatkan pasangan.
2) Hoaks mengenai pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin Jendral korban G30S yang dilakukan Pasukan Cakrabirawa. Hoaks tersebut terklarifikasi bohong tahun 2009 namun masih sering dipercaya hingga kini, karena masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap perkembangan informasi.
Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts dalam bukunya The Liar In Your Life: The Way To Truthful Relationships pada tahun 2009 menyebutkan bahwa Saat kepercayaan diri terancam seseorang akan dengan mudah membuat hoaks atau berbohong. Riset Feldman ini dimuat dalam Journal of basic and Applied Psychology. Riset tersebut menyebutkan setidaknya 60 persen dari orang yang diriset oleh Feldman ini berbohong dalam setiap perbincangan yang dilakukan.
Feldman menyebut orang kerap berbohong secara refleks ketika berbicara. Kebohongan, menurut Feldman, lahir karena banyak orang yang ingin diterima dan membuat orang lain terkesima pada diri kita, agar diterima atau membuat orang lain menjadi suka. Feldman percaya kalau manusia emang diprogram untuk berbohong sekaligus mempercayainya. Dalam keseharian hal ini dapat dilihat dari prilaku pura-pura suka, pura-pura ramah dll Fieldman melanjutkan bahwa tindkan mengelabui bahkan mengelabui diri sendiri itu diperlukan untuk bertahan.
Filsuf Jerman Friedrich Nieztche dalam penelitiannya “On Truth and lies in a nonmoral Sense” menyebutkan manusia akan percaya apapun tanpa konsekuensi logis asalkan diulang-ulang lebih dari sekali. Hal inilah yang membuat politisi tidak jarang berbohong demi terpilih sebagai pejabat publik.
Hoaks sebagai sebuah informasi fabrikasi yang bertujuan lelucon tentunya tidak berdampak banyak dan hanya berdampak pada indvidu atau sekelompok orang. Namun, hoaks juga banyak yang bertujuan bahkan untuk merenut kekuasaan bahwkan mengadu domba orang-orang bahkan antar Negara hingga menyebabkan perang.
Dibutuhkan literasi informasi masyarakat di era digital ini untuk segera dapat memeriksa kebenaran sebuah kabar. Sebenarnya generasi ini lebih diuntungkan dengan terciptanya media dari berbagai mediumbaik cetak, elektronik maupun internet. Generasi saat ini harusnya lebih bisa memeriksa sesuatu kabar hoaks atau bukan hoaks ketimbang generasi masa lalu yang terbatas terhadap akses media. | Rimanews.com
loading...
Post a Comment