STATUSACEH.NET - Sekilas bila kita membaca nama Bayu pasti terbayang sosok sebuah nama lelaki. Bukan, ini merupakan sebuah pemberontakan yang dilakukan Tgk. Abdul Jalil terhadap Jepang. Setelah beberapa bulan pemerintah Jepang menduduki Aceh yang dimulai bulan Maret 1942, terjadilah perlawanan pertama dari rakyat pada 7 November 1942 yang dipimpin oleh Tgk. Abdul Jalil. hal ini berarti 9 bulan setelah pemerintah jepang berada di Aceh.
Namun siapak Tgk. Abdul Jalil?
Ssosok pejuang kita yang satu ini lebih dikenal dengan nama Tgk. Cot Plieng atau Tgk. Di Buloh, dilahirkan di Desa Blang Ado Buloh Balng Ara Kecamatan Kuta Makmur Aceh Utara. Ibu beliau bernama Nyak Cut Buleun seorang guru agama di kampung yang masih keturunan ulama. Pada saat beliau berusia remaja, beliau aktif menuntut ilmu pengetahuan juga agama. Pada tahun 1911-1921, beliau belajar di Volk School secara terus-menerus belajar agam dan bahasa Arab di dayah-dayah terkenal. Antara lain di Bireuenghang, Ie Rot Bungkaih (Muara Batu), Tanjong Samalanga, Mon Geudong, Cot Plieng, Krueng Kale (Banda Aceh), Teuping Pungit dan pada tahun 1937 kembali ke Dayah Cot Plieng, di bawah pimpinan Teungku Ahmad.
Setelah Teungku Ahmad meninggal dunia pada tahun 1937 secara resmi Teungku Abdul Jalil diangkat menjadi pimpinan (Teungku) Dayah Cot Plieng. Selama beliau memimpin Dayah Cot Plieng banyak terjadi perubahan-perubahan dan beliau juga mengadakan hubungan-hubungan kerjasama dengan dayah-dayah lain di seluruh Aceh. Beliau juga sangat anti pejajah. Perasaan ini tumbuh selama beliau membaca Hikayat Prang Sabi. Untuk memajukan dayah yang dipimpin Teungku Abdul Jalil mengunjungi beberapa dayah samapi ke Aceh Selatan. setelah kunjungan-kunjungan tersebut beliau secara terus menerus memberikan semangat patriotisme kepada murid-murid guna menghadapi penjajahan. Beliau tidak mudah terpopraganda oleh Jepang, PUSA, dan barisan-barisan Fujiwara Kikan.
Pada suatu malam, bulan Juli 1942, Tgk. Abdul Jalil diundnah untuk memberikan dakwah di Kampung Krueng Lingka Kecamatan Baktia, Kabupaten Aceh Utara. Dalam dakwah tersebut beliau menceritakan hal-hal yang membahayakn agama dan keadaan rakyat yang makin lama terpuruk ekonomi dan hak-hak rakyat yang tidka diperdulikan lagi. Isi pidato ini mengakibatkan para orang-orang yang berpihak pada Jepang merasa tidak senang. Mereka melaporkan isi pidato ini pada polisi Jepang yang berkedudukan di Sigli. Sehingga Suntyo Lhokseumawe dan Suntyo Bayu diperintahkan untuk memaggil Teungku agar datang ke kantor polisi Sigli guna mempertanggungjawabkan isi pidatonya. Namun, panggilan ini tidak diperdulikan oleh Teungku.
Melihat hubungan yang tidka baik antara diirnya dengan pihak Jepang, Tgk mulai melatih murid-muridnya mempergunakan senjata perang. Juli 1942 beliau beserta para pengikutnya sekitar 300 orang mengadakan konsinyer di kompleks Dayah dan bersumpah untuk melawan Jepang apabila mereka datang untuk menangkap dan menyerang mereka. Peristiwa ini menyebabkan pembesar-pembesar pemerintah baik yang berkedudukan di Lhokseumawe, Sigli, Bahkan di Kuta Raja melakukan panggilan terhadap Teungku. Tetap saja panggilan demi panggilan tidak pernah dipedulikan oleh Teungku, alhasil para ulama-ulama diturunkan seperti Tgk. Mahmud, Tgk. Abdul Azis, bahkan dengan mantan gurunya sendiri Tgk. Hasan Krueng Kale. Namun bujukan mereka agar Tgk, mengubah sikap dan pendirian terhadap Jepang tidaklah berubah.
Bertolak belakang dengan pemerintah, masyarakat malah mendukung snag Tgk dengan memberikan bahan makanan ke kompleks Dayah. Karena Tgk tidak berhasil dibujuk, 7 November 1942 Kempetisi dari Lhokseumawe yang bernama Hayasi langsung datang ke Cot Plieng Bayu dengan tujuan membujuk Tgk. Abdul Jalil. Akan tetapi hayasi tidka diperkenankan masuk malah ia ditikam dengan tombak oleh salah seorang penjaga dayah dengan keadaan ini pula ia dibawa pulang oleh temannya ke Lhokseumawe. Atas kejadian ini lah 7 November 1942 dikerahkan pasukan-pasukan Jepang dari Bireun, Lhokseumawe, dan Lhok Sukom dengan persenjataan lengkap guna melakuka penyerangan ke Dayah Cot Plieng. Pertempuran berlangsung dari jam 12.00 dan akhirnya pada jam 16.00 pasukan Jepang dapat menguasai kompleks dayah serta membakar habis semua bangunan, mesjid dan sebelas rumah Rakyat yang berdekatan dengan dayah tersebut. Dalam pertempuran ini gugur 86 orang pengikut Tgk. Abdul Jalil.
Karena ketidakseimbangan kekuatan yang dimilki oleh Tgk, maka mereka mundur ke Mesjid paya Kambok di Kecamatann Meurah Mulya. Disinipun terjadi pertempuran untuk kedua kalinya yang berlangsung pada 8 November 1942. Lalu mereka mundur lagi ke Desa Buloh Gampong Teungoh. Perjalan ditempuh selama 2 hari, dna disinilah terjadi pertempuran yang dahsyat, tepatnya pada 10 November 1942 di meunasah Blang Buloh Gampong Teungoh setelah Tgk sembahyang Jumat. Sehingga syahid lah sang Tgk. Abdul Jalil [ada jam 18.00 sore. Jenaza di bawa ke Lhokseumawe beserta dengan keluarga beliau yang masih hidup. 11 November 1942, jenazah dibawa kembali ke bayu dan dimakamkan di komplek Dayah Cot Plieng.
Jumlah keseluruha yang gugur dlam pemberontakan ini adalah:
a. Pertempuran di Cot Plieng 86 orang
b. Pertempuran di Desa Neuheun 4 orang
c. Peretmpuran di Meunasah Blang buloh 19 orang
d. Ditangkap selesai pertempuran tidak kembali 5 orang.
Namun siapak Tgk. Abdul Jalil?
Ssosok pejuang kita yang satu ini lebih dikenal dengan nama Tgk. Cot Plieng atau Tgk. Di Buloh, dilahirkan di Desa Blang Ado Buloh Balng Ara Kecamatan Kuta Makmur Aceh Utara. Ibu beliau bernama Nyak Cut Buleun seorang guru agama di kampung yang masih keturunan ulama. Pada saat beliau berusia remaja, beliau aktif menuntut ilmu pengetahuan juga agama. Pada tahun 1911-1921, beliau belajar di Volk School secara terus-menerus belajar agam dan bahasa Arab di dayah-dayah terkenal. Antara lain di Bireuenghang, Ie Rot Bungkaih (Muara Batu), Tanjong Samalanga, Mon Geudong, Cot Plieng, Krueng Kale (Banda Aceh), Teuping Pungit dan pada tahun 1937 kembali ke Dayah Cot Plieng, di bawah pimpinan Teungku Ahmad.
Setelah Teungku Ahmad meninggal dunia pada tahun 1937 secara resmi Teungku Abdul Jalil diangkat menjadi pimpinan (Teungku) Dayah Cot Plieng. Selama beliau memimpin Dayah Cot Plieng banyak terjadi perubahan-perubahan dan beliau juga mengadakan hubungan-hubungan kerjasama dengan dayah-dayah lain di seluruh Aceh. Beliau juga sangat anti pejajah. Perasaan ini tumbuh selama beliau membaca Hikayat Prang Sabi. Untuk memajukan dayah yang dipimpin Teungku Abdul Jalil mengunjungi beberapa dayah samapi ke Aceh Selatan. setelah kunjungan-kunjungan tersebut beliau secara terus menerus memberikan semangat patriotisme kepada murid-murid guna menghadapi penjajahan. Beliau tidak mudah terpopraganda oleh Jepang, PUSA, dan barisan-barisan Fujiwara Kikan.
Pada suatu malam, bulan Juli 1942, Tgk. Abdul Jalil diundnah untuk memberikan dakwah di Kampung Krueng Lingka Kecamatan Baktia, Kabupaten Aceh Utara. Dalam dakwah tersebut beliau menceritakan hal-hal yang membahayakn agama dan keadaan rakyat yang makin lama terpuruk ekonomi dan hak-hak rakyat yang tidka diperdulikan lagi. Isi pidato ini mengakibatkan para orang-orang yang berpihak pada Jepang merasa tidak senang. Mereka melaporkan isi pidato ini pada polisi Jepang yang berkedudukan di Sigli. Sehingga Suntyo Lhokseumawe dan Suntyo Bayu diperintahkan untuk memaggil Teungku agar datang ke kantor polisi Sigli guna mempertanggungjawabkan isi pidatonya. Namun, panggilan ini tidak diperdulikan oleh Teungku.
Melihat hubungan yang tidka baik antara diirnya dengan pihak Jepang, Tgk mulai melatih murid-muridnya mempergunakan senjata perang. Juli 1942 beliau beserta para pengikutnya sekitar 300 orang mengadakan konsinyer di kompleks Dayah dan bersumpah untuk melawan Jepang apabila mereka datang untuk menangkap dan menyerang mereka. Peristiwa ini menyebabkan pembesar-pembesar pemerintah baik yang berkedudukan di Lhokseumawe, Sigli, Bahkan di Kuta Raja melakukan panggilan terhadap Teungku. Tetap saja panggilan demi panggilan tidak pernah dipedulikan oleh Teungku, alhasil para ulama-ulama diturunkan seperti Tgk. Mahmud, Tgk. Abdul Azis, bahkan dengan mantan gurunya sendiri Tgk. Hasan Krueng Kale. Namun bujukan mereka agar Tgk, mengubah sikap dan pendirian terhadap Jepang tidaklah berubah.
Bertolak belakang dengan pemerintah, masyarakat malah mendukung snag Tgk dengan memberikan bahan makanan ke kompleks Dayah. Karena Tgk tidak berhasil dibujuk, 7 November 1942 Kempetisi dari Lhokseumawe yang bernama Hayasi langsung datang ke Cot Plieng Bayu dengan tujuan membujuk Tgk. Abdul Jalil. Akan tetapi hayasi tidka diperkenankan masuk malah ia ditikam dengan tombak oleh salah seorang penjaga dayah dengan keadaan ini pula ia dibawa pulang oleh temannya ke Lhokseumawe. Atas kejadian ini lah 7 November 1942 dikerahkan pasukan-pasukan Jepang dari Bireun, Lhokseumawe, dan Lhok Sukom dengan persenjataan lengkap guna melakuka penyerangan ke Dayah Cot Plieng. Pertempuran berlangsung dari jam 12.00 dan akhirnya pada jam 16.00 pasukan Jepang dapat menguasai kompleks dayah serta membakar habis semua bangunan, mesjid dan sebelas rumah Rakyat yang berdekatan dengan dayah tersebut. Dalam pertempuran ini gugur 86 orang pengikut Tgk. Abdul Jalil.
Karena ketidakseimbangan kekuatan yang dimilki oleh Tgk, maka mereka mundur ke Mesjid paya Kambok di Kecamatann Meurah Mulya. Disinipun terjadi pertempuran untuk kedua kalinya yang berlangsung pada 8 November 1942. Lalu mereka mundur lagi ke Desa Buloh Gampong Teungoh. Perjalan ditempuh selama 2 hari, dna disinilah terjadi pertempuran yang dahsyat, tepatnya pada 10 November 1942 di meunasah Blang Buloh Gampong Teungoh setelah Tgk sembahyang Jumat. Sehingga syahid lah sang Tgk. Abdul Jalil [ada jam 18.00 sore. Jenaza di bawa ke Lhokseumawe beserta dengan keluarga beliau yang masih hidup. 11 November 1942, jenazah dibawa kembali ke bayu dan dimakamkan di komplek Dayah Cot Plieng.
Jumlah keseluruha yang gugur dlam pemberontakan ini adalah:
a. Pertempuran di Cot Plieng 86 orang
b. Pertempuran di Desa Neuheun 4 orang
c. Peretmpuran di Meunasah Blang buloh 19 orang
d. Ditangkap selesai pertempuran tidak kembali 5 orang.
loading...
Post a Comment