BENTANG alam dan suasana perkampungan antara Provinsi Yala dan Narathiwat
 mirip sekali dengan suasana di Aceh. Hamparan sawah dan kebun karet 
terlihat dominan selama perjalanan. Sekolah atau madrasah di tepi jalan 
dipenuhi anak-anak berseragam sekolah. Yang paling khas adalah anak-anak
 perempuan berwajah Melayu atau campuran Melayu-Thailand semuanya 
berjilbab, sangat mirip dengan suasana di Aceh.
Berbicara tentang adanya kaitan antara Aceh dan Narathiwat di kawasan 
selatan Thailand, rasanya sulit dipercaya kalau di kawasan ini akan 
ditemui jejak-jejak Aceh karena berbagai alasan. Secara geografis, Aceh 
dan Thailand dipisahkan oleh Selat Malaka dan berhadapan langsung dengan
 Provinsi Satun, Trang, Krabi, Phuket, dan Phang Nga, dan tidak 
berbatasan dengan Narathiwat yang berhadapan dengan Teluk Thailand. 
Dugaan saya ternyata salah besar, sehari sebelumnya ketika bertemu 
dengan Wakil Rektor Universitas Fatoni (dulunya disebut Yala Islamic 
University), beliau mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada tiga negeri 
Darussalam: Aceh Darussalam, Pattani Darussalam, dan Brunei Darussalam. 
Sebelum jatuh ke Thailand, Kerajaan Pattani Darussalam menguasai 
Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat di bagian Thailand dan sebagian 
kawasan Kelantan dan Perlis di bagian Malaysia. Sekarang saya sadari, 
hubungan antara Aceh dan Narathiwat mungkin dimulai dari Kerajaan Aceh 
Darussalam dengan Kerajaan Pattani Darussalam dalam berbagai bentuk.
Kali ini saya sempatkan mengunjungi dua pesantren di Narathiwat, salah 
satunya Madrasah Ahmadiah Islamiah. Kata ‘Ahmadiah’ pada nama pesantren 
ini tak ada hubungannya dengan aliran Ahmadiah, melainkan diambil dari 
nama pendirinya yang bernama Ahmad. Masyarakat Islam di selatan Thailand
 lebih mengenal pesantren yang dipimpin Ustaz Muhammad Lutfi Haji Samin 
ini dengan sebutan ‘Pondok Sala Anak Ayam’. Pesantren ini menyimpan 
kitab kuno dalam jumlah cukup besar yang berasal dari Andalusia, Arab, 
Thailand, dan Indonesia. Sekitar 30% koleksi naskah kuno tersebut 
berasal dari Aceh dan sekitar 70% koleksinya berasal dari provinsi 
lainnya di Indonesia.  Di antara koleksi kuno tersebut terdapat Alquran 
tulisan tangan Syech Nuruddin Ar-Raniry yang ditulis selama lima tahun 
(1636-1641 Masehi). Terdapat juga beberapa Quran tulisan tangan lainnya 
dari Aceh di sini.
Selain Alquran, terdapat juga kitab-kitab fikih karangan ulama Aceh 
zaman dulu, seperti kitab Fiqih Sirat Al-Musatqim karangan Syech 
Nuruddin Ar-Ranir. Ustaz Muhammad Lutfi Haji Samin, sang pemimpin 
pesantren, memastikan kepada saya bahwa beliau memiliki sejumlah kitab 
dari Aceh lainnya yang belum dipajang (masih disimpan) di dalam gudang. 
Di antara koleksi naskah Aceh lainnya terdapat tiga buku pantun karangan
 Hamzah Fansyuri. Beliau katakan bahwa pada masa kejayaan Islam Pattani 
dan Aceh banyak sekali Quran dan kitab-kitab yang ditulis tangan oleh 
ulama-ulama dari kedua negeri, namun dari segi jumlah lebih banyak 
ditulis ulama-ulama dari Aceh. Tak heran kalau koleksi dari Aceh cukup 
signifikan jumlahnya di pesantren ini.
Kondisi sejumlah Alquran dan koleksi naskah kuno lainnya sangat 
memprihatinkan. Beberapa naskah kuno tersebut ada yang dalam kondisi 
rusak berat dan ada bagian yang sudah melekat satu sama lain.  Sebagai 
pesantren yang minim dana, restorasi semua naskah kuno yang mereka 
miliki adalah sebuah mimpi yang tak mungkin terwujud.  Jangankan untuk 
merestorasi, mengidentifikasi naskah saja tidak mungkin mereka lakukan 
karena tidak memiliki keahlian di bidang itu. Oleh karenanya, mereka 
berusaha mencari bantuan ke berbagai sumber agar naskah yang sangat 
berharga itu direstorasi. Alhamdulillah, Pemerintah Turki telah membantu
 untuk merestorasi enam Alquran dan naskah kuno, termasuk satu Alquran 
dari Aceh.
Pertanyaan besar yang masih mengganjal di kepala saya, bagaimana Alquran
 dan naskah kuno Aceh itu bisa sampai ke Narathiwat? Apakah para santri 
dari Narathiwat saat itu datang belajar ke Aceh dan membawa pulang Quran
 dan naskah kuno dari Aceh? Atau ulama-ulama dari Narathiwat bertemu 
ulama-ulama Aceh di Mekkah saat mereka belajar di sana dan menerima 
Alquran dari ulama Aceh lalu membawa pulang ke Narathiwat? Atau apakah 
para santri dari Aceh pada saat itu belajar ke Narathiwat dan 
meninggalkan Quran yang mereka bawa dari Aceh di Narathiwat? Masih 
banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk menjawab bagaimana 
kejayaan peradaban Islam dari Aceh menyebar sampai ke selatan Thailand. 
Semua ini harus dilakukan melalui penelitian mendalam dan seyogianya 
oleh para peneliti dari Aceh, bukan peneliti Barat seperti selama ini.
Oleh karena itu, alangkah bijaksananya jika Pemerintah Aceh memberikan 
beasiswa kepada mahasiswa Aceh yang ingin melanjutkan S2-S3 dan tertarik
 meneliti kejayaaan Aceh masa lalu. Dengan demikian, akan lahir ahli 
mengenai Aceh dari tanah Aceh sendiri. Merekalah yang akan menggantikan 
posisi James T Siegel, Anthony Reid, Mark Durie, dan Lance Castle, di 
kancah internasional. Insya Allah. [email penulis: yyunardi@yahoo.com]
Dikutip: citizenreporterworld 
