Banda Aceh - Aceh untuk pertama kali mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia terhadap hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Aceh (LKPA) tahun 2015. Sebelumnya sejumlah pemerintah kabupaten/kota di Aceh juga mendapatkan opini yang sama dan pertama dari BPK RI yaitu Aceh Utara, Simeuleu, Aceh Selatan dan Abdya. Di samping itu ada juga kabupaten/kota di Aceh yang sudah beberapa kali dan berturut-turut meraih opini WTP tersebut.
MaTA berpendapat bahwa pemberian WTP oleh BPK RI kepada pemerintah baik pusat maupun daerah bukan berarti daerah tersebut bebas dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi. WTP diberikan apabila pemerintah dianggap telah menyajikan laporan keuangan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi dengan benar atau tertib administrasi. Yang menjadi penilaian BPK RI adalah kesesuaian standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan pada Undang-Undang serta efektifitas pengendalian intern. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan pasal 16 ayat (1) UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Jadi dalam melakukan audit, BPK RI sama sekali tidak berorientasi untuk menemukan ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. Kondisi ini harus dipahami dengan benar oleh publik sehingga tidak salah dalam membuat kesimpulan terhadap capaian suatu daerah ketika sudah meraih opini WTP.
Memang untuk mendapatkan opini WTP tersebut semua pihak telah bahu-membahu melakukan perubahan khususnya dalam konteks pelaporan keuangan daerah. Menurut MaTA, yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah mesti amanah dalam mengelola uang rakyat sehingga tidak ada yang diselewengkan dan dikorupsi. Karena laporan keuangan itu sendiri dapat dengan mudah direkayasa apalagi oleh oknum-oknum yang dapat dibayar dan membayar.
Menurut penelusuran MaTA, sejumlah daerah di Indonesia yang mendapatkan Opini WTP dari BPK justru kemudian kepala daerahnya tersandung kasus korupsi. Potret ini sebagaimana terjadi di Riau, Palembang, Bangkalan dan Tegal. Ada juga lembaga kementerian yang bernasib sama seperti Kementerian Agama, Kemenpora dan Kementerian ESDM yang mendapatkan opini WTP dari BPK justru menterinya kemudian terjerat kasus korupsi. Sebenarnya hal yang sama juga patut diduga terjadi di Aceh.
Hanya saja persoalannya adalah karena di Aceh aparat penegak hukum khususnya KPK belum berani untuk unjuk gigi. Padahal beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah telah mempersilakan KPK untuk mengawasi Aceh agar bebas dari karupsi. MaTA berharap, tidak ada istilah lex specialis untuk memberantas korupsi di Aceh.[Rill]
MaTA berpendapat bahwa pemberian WTP oleh BPK RI kepada pemerintah baik pusat maupun daerah bukan berarti daerah tersebut bebas dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi. WTP diberikan apabila pemerintah dianggap telah menyajikan laporan keuangan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi dengan benar atau tertib administrasi. Yang menjadi penilaian BPK RI adalah kesesuaian standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan pada Undang-Undang serta efektifitas pengendalian intern. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan pasal 16 ayat (1) UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Jadi dalam melakukan audit, BPK RI sama sekali tidak berorientasi untuk menemukan ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. Kondisi ini harus dipahami dengan benar oleh publik sehingga tidak salah dalam membuat kesimpulan terhadap capaian suatu daerah ketika sudah meraih opini WTP.
Memang untuk mendapatkan opini WTP tersebut semua pihak telah bahu-membahu melakukan perubahan khususnya dalam konteks pelaporan keuangan daerah. Menurut MaTA, yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah mesti amanah dalam mengelola uang rakyat sehingga tidak ada yang diselewengkan dan dikorupsi. Karena laporan keuangan itu sendiri dapat dengan mudah direkayasa apalagi oleh oknum-oknum yang dapat dibayar dan membayar.
Menurut penelusuran MaTA, sejumlah daerah di Indonesia yang mendapatkan Opini WTP dari BPK justru kemudian kepala daerahnya tersandung kasus korupsi. Potret ini sebagaimana terjadi di Riau, Palembang, Bangkalan dan Tegal. Ada juga lembaga kementerian yang bernasib sama seperti Kementerian Agama, Kemenpora dan Kementerian ESDM yang mendapatkan opini WTP dari BPK justru menterinya kemudian terjerat kasus korupsi. Sebenarnya hal yang sama juga patut diduga terjadi di Aceh.
Hanya saja persoalannya adalah karena di Aceh aparat penegak hukum khususnya KPK belum berani untuk unjuk gigi. Padahal beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah telah mempersilakan KPK untuk mengawasi Aceh agar bebas dari karupsi. MaTA berharap, tidak ada istilah lex specialis untuk memberantas korupsi di Aceh.[Rill]
loading...
Post a Comment