![]() |
ilustrasi kelulusan. shutterstock/ Frannyanne |
StatusAceh.Net - Lewat seorang alumni, dia percaya bab 1 sampai bab 5 bisa selesai. Tak
cuma karya ilmiah dalam bentuk kertas, penjual jasa juga memberikan
bimbingan. Ini agar mahasiswi yang menjadi kliennya seperti Wida paham
dengan karya ilmiah yang dibelinya. Konsultasi bisa dilakukan di mana
saja, mini market hingga kafe sesuai kesepakatan berdua.
"Ya cuma dibimbing pas buat aja, enggak sampai pas sidang. Kalau sebelum sidang kita baca ulang, hapalin, nanti kalau dosen nanya insyaAllah bisa," kata Wida sambil tersenyum malu.
Alasan dia menggunakan jasa pembuatan skripsi agar tak repot berpikir keras. Meski beli skripsi, tak jaminan lulus juga jika tak bisa melewati terjalnya sidang. Wida bercerita da beberapa temannya yang gagal memakai jasa para alumni.
"Kalau terima jadi langsung nanti aku yang enggak lulus, pakai jasa tapi ya harus dibaca lagi," kata Wida sambil tersenyum.
Tak hanya Wida yang menggunakan jasa pembuatan skripsi. Komarudin (29), bukan nama sebenarnya alumni universitas di Jakarta juga pernah menggunakan jalan pintas. Dia mengambil jalan pintas lantaran sudah putus asa. "Sudah nyerah, kan udah semester akhir waktu itu," kata Komarudin.
Dia mengeluarkan Rp 5 juta sampai selesai. Tak kuat membayar, si jasa pembuat skripsi menawarkan sistim angsuran. Awal memulai judul, dia harus membayar Rp 1,5 juta.
"Bayar kan tuh, habis itu dia ngasih beberapa judul. Udah ngasih judul. Terus konsultasi sama dosen disetujui, lanjut bab 1. Setelah di ACC, DP lagi Rp 500 ribu," kata dia.
Tak seperti Wida, Komarudin tidak usah repot-repot untuk bimbingan. Hanya tinggal menunggu bab per bab. "Bab 1 sudah jadi ketemu di kantornya setelah itu kan bimbingan ada revisi ya sudah ngobrol bentar revisi, kasih dosen disetujui. Lanjut bab 2, ya dia yang ngerjain," ungkap dia.
Komar mengaku tak menyangka bisa lulus dan menyandang gelar sarjana dengan beli skripsi. "Ada nyesel, tapi sudah lulus yaudah enggak apa-apa," kata dia.
Beberapa mahasiswa yang ditemui merdeka.com menganggap skripsi menakutkan lantaran mereka tidak menguasai teknik dan metode dalam penyusunan karya ilmiah. Padahal mata kuliah itu diberikan sebagai bekal dalam menyusun skripsi atau tugas akhir lainnya.
"Saya gak paham soal metode penelitian. Kayaknya ribet aja kalau mesti penelitian, jadinya mending pakai jasa," ujar mahasiswi swasta di kawasan Jakarta Selatan yang tak ingin disebutkan namanya.
Mahasiswi berambut panjang itu mengaku kini sedang menunggu Bab IV yang dikerjakan oleh kenalannya. Kenalannya itu profesinya memang membuat skripsi ilmu sosial. Tarif Rp 5 juta plus bimbingan untuk menghadapi sidang.
"Enaknya kita diajari juga sama dia. Jadi ada bimbingannya. Jadi pas sidang kita gak buta banget karena kita juga paham dengan skripsi itu meski istilahnya kita beli," ujar mahasiswa yang mengambil jurusan komunikasi itu.
Banyak mahasiswa yang memilih membeli skripsi ternyata sudah diketahui oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir. Mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip) itu pernah melemparkan wacana untuk menghapus skripsi sebagai syarat lulus jenjang Strata 1.
Wacana itu pernah dia sampaikan medio tahun 2015 lalu. Menurut Nasir, usulannya soal menghapus skripsi dilakukan untuk menghindari jual beli skripsi demi bisa lulus. Nasir meminta skripsi nantinya hanya jadi opsi saja.
"Nantinya skripsi diopsionalkan atau pilihan, karena pertimbangannya satu, menulis itu untuk S-1 apakah sudah menjadi kewajiban atau belum. Ada bentuk lain disebut independent studies, atau pembelajaran mandiri. Bisa bentuk penulisan juga, tapi bukan berbentuk skripsi," ujar Nasir, Jumat 22 Mei 2015 lalu.
Menurut Menteri Nasir, menghapus skripsi sebagai tugas akhir sudah diterapkan di beberapa kampus. Meski demikian hingga kini masih ada kampus-kampus yang tetap mewajibkan penulisan skripsi sebagai tugas akhir.
"Karena sudah ada perguruan tinggi yang menerapkan itu, UI (Universitas Indonesia) tanpa skripsi baik baik saja, jadi digantikan dengan opsionalnya, misalnya tugas yang berbentuk lain," jelas Nasir kala itu.
Para mahasiswa yang mendapat kesulitan dalam pengerjaan skripsi pun mengaku senang bila skripsi benar-benar bisa bersifat opsional. Mereka berharap skripsi bisa diganti dengan laporan magang atau laporan kuliah kerja nyata (KKN) yang dinilai lebih berdampak langsung kepada masyarakat.(merdeka.com)
"Ya cuma dibimbing pas buat aja, enggak sampai pas sidang. Kalau sebelum sidang kita baca ulang, hapalin, nanti kalau dosen nanya insyaAllah bisa," kata Wida sambil tersenyum malu.
Alasan dia menggunakan jasa pembuatan skripsi agar tak repot berpikir keras. Meski beli skripsi, tak jaminan lulus juga jika tak bisa melewati terjalnya sidang. Wida bercerita da beberapa temannya yang gagal memakai jasa para alumni.
"Kalau terima jadi langsung nanti aku yang enggak lulus, pakai jasa tapi ya harus dibaca lagi," kata Wida sambil tersenyum.
Tak hanya Wida yang menggunakan jasa pembuatan skripsi. Komarudin (29), bukan nama sebenarnya alumni universitas di Jakarta juga pernah menggunakan jalan pintas. Dia mengambil jalan pintas lantaran sudah putus asa. "Sudah nyerah, kan udah semester akhir waktu itu," kata Komarudin.
Dia mengeluarkan Rp 5 juta sampai selesai. Tak kuat membayar, si jasa pembuat skripsi menawarkan sistim angsuran. Awal memulai judul, dia harus membayar Rp 1,5 juta.
"Bayar kan tuh, habis itu dia ngasih beberapa judul. Udah ngasih judul. Terus konsultasi sama dosen disetujui, lanjut bab 1. Setelah di ACC, DP lagi Rp 500 ribu," kata dia.
Tak seperti Wida, Komarudin tidak usah repot-repot untuk bimbingan. Hanya tinggal menunggu bab per bab. "Bab 1 sudah jadi ketemu di kantornya setelah itu kan bimbingan ada revisi ya sudah ngobrol bentar revisi, kasih dosen disetujui. Lanjut bab 2, ya dia yang ngerjain," ungkap dia.
Komar mengaku tak menyangka bisa lulus dan menyandang gelar sarjana dengan beli skripsi. "Ada nyesel, tapi sudah lulus yaudah enggak apa-apa," kata dia.
Beberapa mahasiswa yang ditemui merdeka.com menganggap skripsi menakutkan lantaran mereka tidak menguasai teknik dan metode dalam penyusunan karya ilmiah. Padahal mata kuliah itu diberikan sebagai bekal dalam menyusun skripsi atau tugas akhir lainnya.
"Saya gak paham soal metode penelitian. Kayaknya ribet aja kalau mesti penelitian, jadinya mending pakai jasa," ujar mahasiswi swasta di kawasan Jakarta Selatan yang tak ingin disebutkan namanya.
Mahasiswi berambut panjang itu mengaku kini sedang menunggu Bab IV yang dikerjakan oleh kenalannya. Kenalannya itu profesinya memang membuat skripsi ilmu sosial. Tarif Rp 5 juta plus bimbingan untuk menghadapi sidang.
"Enaknya kita diajari juga sama dia. Jadi ada bimbingannya. Jadi pas sidang kita gak buta banget karena kita juga paham dengan skripsi itu meski istilahnya kita beli," ujar mahasiswa yang mengambil jurusan komunikasi itu.
Banyak mahasiswa yang memilih membeli skripsi ternyata sudah diketahui oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir. Mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip) itu pernah melemparkan wacana untuk menghapus skripsi sebagai syarat lulus jenjang Strata 1.
Wacana itu pernah dia sampaikan medio tahun 2015 lalu. Menurut Nasir, usulannya soal menghapus skripsi dilakukan untuk menghindari jual beli skripsi demi bisa lulus. Nasir meminta skripsi nantinya hanya jadi opsi saja.
"Nantinya skripsi diopsionalkan atau pilihan, karena pertimbangannya satu, menulis itu untuk S-1 apakah sudah menjadi kewajiban atau belum. Ada bentuk lain disebut independent studies, atau pembelajaran mandiri. Bisa bentuk penulisan juga, tapi bukan berbentuk skripsi," ujar Nasir, Jumat 22 Mei 2015 lalu.
Menurut Menteri Nasir, menghapus skripsi sebagai tugas akhir sudah diterapkan di beberapa kampus. Meski demikian hingga kini masih ada kampus-kampus yang tetap mewajibkan penulisan skripsi sebagai tugas akhir.
"Karena sudah ada perguruan tinggi yang menerapkan itu, UI (Universitas Indonesia) tanpa skripsi baik baik saja, jadi digantikan dengan opsionalnya, misalnya tugas yang berbentuk lain," jelas Nasir kala itu.
Para mahasiswa yang mendapat kesulitan dalam pengerjaan skripsi pun mengaku senang bila skripsi benar-benar bisa bersifat opsional. Mereka berharap skripsi bisa diganti dengan laporan magang atau laporan kuliah kerja nyata (KKN) yang dinilai lebih berdampak langsung kepada masyarakat.(merdeka.com)
loading...
Post a Comment