StatusAceh.Net - Lahirnya si buah hati sering membuat perhatian seorang perempuan berbalik, yang sebelumnya untuk suami mendadak berpindah ke anak.
Ada pertarungan dalam diri sebagian perempuan, antara menjadi ibu atau istri terbaik. Semua orang pasti berharap keduanya, akan tetapi jika dihadapkan pada situasi memilih, perempuan kerap mengambil pilihan yang salah, yakni mendahulukan anak.
Banyak perempuan yakin jika dirinya menjadi ibu yang baik, suami otomatis mengerti dan justru semakin mencintainya. Padahal, yang terjadi justru potensi renggangnya hubungan suami-istri.
Dalam setiap hubungan ada sebentuk rivalitas, baik secara tersamar atau terang-terangan, tak terkecuali suami dan anak dalam merebut perhatian figur perempuan di rumah tangga. Rivalitas suami dan anak dalam memperebutkan cinta tentu sangat terselubung; orang lebih sering malu-malu mengakuinya.
Suami sebagai penyumbang modal (biasanya) terbesar dalam biduk rumah tangga tentu ingin memperoleh keuntungan yang lebih, termasuk perhatian. Tampak terlalu berorientasi bisnis, transaksional dan tak masuk akal, tapi fenomena ini adalah fakta.
Mengapa suami harus didahulukan?
Suami yang merasa tersisih dan dilupakan karena perhatian istri kepada anak yang berlebihan akan merasa hanya dieksploitasi secara finansial untuk menghidupi keluarga. Pertama, dia akan sering uring-uringan dengan istri. Dalam situasi seperti ini, dia menganggap istri tidak mampu menjalankan fungsi dengan baik.
Tahap berikutnya, suami akan kurang perhatian kepada anak karena dinilai sebagai saingan. Akibatnya, istri akan menilai suami tidak sayang anak yang merupakan kepanjangan dirinya (the extension of self).
Pada kondisi ini, baik suami dan istri memiliki argumentasi yang kuat untuk tidak lagi sejalan. Suami punya alasan tidak pulang ke rumah atau menjalin hubungan dengan perempuan lain karena merasa tidak pernah diperhatikan. Istri berani lantang bicara kepada keluarga maupun teman bahwa suaminya tidak sayang anak dan dirinya.
Jika skenario ini berlanjut, yang dihadapi adalah perang dingin alias pisah ranjang atau ketukan palu hakim untuk memutuskan pasangan telah resmi bercerai. Jika narasi terburuk ini terjadi, yang rugi adalah semuanya: suami, istri dan tentu saja anak.
Anak-anak yang lahir dan besar di keluarga pincang seperti ini selalu menyimpan trauma. Dari luar mereka bisa tampak normal, tapi jika sudah masuk ke dalam dan mendengarkan isi hati anak-anak kurang beruntung ini, rasa hati bakal seperti teriris.
Hubungan ibu dan anak tentu sangat penting, akan tetapi tidak semendasar hubungan suami-istri. Hubungan suami-istri adalah hubungan jiwa raga yang diikat dengan menyebut AsmaNya, sementara anak “hanyalah” kelanjutan dari hubungan tersebut. Tentu pabrik lebih butuh perhatian dan perawatan daripada produk. Tanpa pabrik, tidak akan ada produk; jika pabrik berkualitas prima, produk pun akan mengikutinya.
Relasi suami-istri yang harmonis secara nyata akan berimplikasi pada pola pendidikan anak yang prima. Bagaimana mungkin, sepasang kekasih abadi bakal menyia-nyiakan buah cinta mereka?
Sebetulnya, hal ini tidak melulu untuk seorang istri; suami pun harus demikian. Ingat sabda Nabi Muhammad saw, ”Mukmin terbaik adalah yang paling unggul akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik memperlakukan istri,” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Ibn Majah).
Hanya saja, pihak yang sering terjebak pada situasi di atas adalah istri, sebab naluri kecintaan kepada anak yang luar biasa. Bagaimanapun, mengandung, menyusui dan berjibaku merawat anak saat bayi pasti menimbulkan pengalaman yang terlampau dalam. Akan tetapi, kecintaan tersebut jangan sampai berubah menjadi jebakan yang justru akan menghancurkan masa depan keluarga dan anak sekaligus.(Rimanews)
Ada pertarungan dalam diri sebagian perempuan, antara menjadi ibu atau istri terbaik. Semua orang pasti berharap keduanya, akan tetapi jika dihadapkan pada situasi memilih, perempuan kerap mengambil pilihan yang salah, yakni mendahulukan anak.
Banyak perempuan yakin jika dirinya menjadi ibu yang baik, suami otomatis mengerti dan justru semakin mencintainya. Padahal, yang terjadi justru potensi renggangnya hubungan suami-istri.
Dalam setiap hubungan ada sebentuk rivalitas, baik secara tersamar atau terang-terangan, tak terkecuali suami dan anak dalam merebut perhatian figur perempuan di rumah tangga. Rivalitas suami dan anak dalam memperebutkan cinta tentu sangat terselubung; orang lebih sering malu-malu mengakuinya.
Suami sebagai penyumbang modal (biasanya) terbesar dalam biduk rumah tangga tentu ingin memperoleh keuntungan yang lebih, termasuk perhatian. Tampak terlalu berorientasi bisnis, transaksional dan tak masuk akal, tapi fenomena ini adalah fakta.
Mengapa suami harus didahulukan?
Suami yang merasa tersisih dan dilupakan karena perhatian istri kepada anak yang berlebihan akan merasa hanya dieksploitasi secara finansial untuk menghidupi keluarga. Pertama, dia akan sering uring-uringan dengan istri. Dalam situasi seperti ini, dia menganggap istri tidak mampu menjalankan fungsi dengan baik.
Tahap berikutnya, suami akan kurang perhatian kepada anak karena dinilai sebagai saingan. Akibatnya, istri akan menilai suami tidak sayang anak yang merupakan kepanjangan dirinya (the extension of self).
Pada kondisi ini, baik suami dan istri memiliki argumentasi yang kuat untuk tidak lagi sejalan. Suami punya alasan tidak pulang ke rumah atau menjalin hubungan dengan perempuan lain karena merasa tidak pernah diperhatikan. Istri berani lantang bicara kepada keluarga maupun teman bahwa suaminya tidak sayang anak dan dirinya.
Jika skenario ini berlanjut, yang dihadapi adalah perang dingin alias pisah ranjang atau ketukan palu hakim untuk memutuskan pasangan telah resmi bercerai. Jika narasi terburuk ini terjadi, yang rugi adalah semuanya: suami, istri dan tentu saja anak.
Anak-anak yang lahir dan besar di keluarga pincang seperti ini selalu menyimpan trauma. Dari luar mereka bisa tampak normal, tapi jika sudah masuk ke dalam dan mendengarkan isi hati anak-anak kurang beruntung ini, rasa hati bakal seperti teriris.
Hubungan ibu dan anak tentu sangat penting, akan tetapi tidak semendasar hubungan suami-istri. Hubungan suami-istri adalah hubungan jiwa raga yang diikat dengan menyebut AsmaNya, sementara anak “hanyalah” kelanjutan dari hubungan tersebut. Tentu pabrik lebih butuh perhatian dan perawatan daripada produk. Tanpa pabrik, tidak akan ada produk; jika pabrik berkualitas prima, produk pun akan mengikutinya.
Relasi suami-istri yang harmonis secara nyata akan berimplikasi pada pola pendidikan anak yang prima. Bagaimana mungkin, sepasang kekasih abadi bakal menyia-nyiakan buah cinta mereka?
Sebetulnya, hal ini tidak melulu untuk seorang istri; suami pun harus demikian. Ingat sabda Nabi Muhammad saw, ”Mukmin terbaik adalah yang paling unggul akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik memperlakukan istri,” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Ibn Majah).
Hanya saja, pihak yang sering terjebak pada situasi di atas adalah istri, sebab naluri kecintaan kepada anak yang luar biasa. Bagaimanapun, mengandung, menyusui dan berjibaku merawat anak saat bayi pasti menimbulkan pengalaman yang terlampau dalam. Akan tetapi, kecintaan tersebut jangan sampai berubah menjadi jebakan yang justru akan menghancurkan masa depan keluarga dan anak sekaligus.(Rimanews)
loading...
Post a Comment