Jayapura - PT Freeport selama ini belum memenuhi kewajibannya kepada pemerintah Indonesia dalam membangun kawasan Papua. Pasalnya selama ini PT Freeport tak pernah memperhitungkan sosial cost yang ditanggung masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan.
“Pernah tidak ada biaya kesehatan yang dikeluarkan warga di sekitar pertambangan ditanggung oleh negara atau perusahaan? tidak kan? Krisis sosial ekologis yang dialami bangsa ini makin memburuk. Sementara kita sibuk menggelar drama untuk membicarakan hitung-hitungan royalti, saham, dan divestasi,” ujar peneliti dari Sajogo Institute Siti Maimunah di Jakarta, Sabtu (12/12) malam.
Menurutnya, pembicaraan tentang laba ataupun perpanjangan kontrak selalu diulang-ulang, seolah-olah hal itu baru sekali terjadi. Padahal ada hal yang lebih penting daripada soal kontrak.
“Krisis ekologis itu selalu berulang dan meluas. Celakanya, seperti krisisnya sendiri (sosial ekologis) yang selalu berulang. Pembicaraan tentang laba dan untung melalui renegoisasi kontrak dan divestasi saham diulang saat kontrak-kontrak diperpanjang. Mirip siaran televisi yang memberitahukan kehebohan banjir Jakarta tiap musim hujan, seolah baru terjadi kali itu saja. Padahal, krisis tersebut menyejarah,” imbuhnya.
Maimunah mengingatkan pemerintah harus segera mengoreksi pengelolaan sumber daya alam yang saat ini lebih melayani pasar ketimbang rakyatnya sendiri.
Untuk itu ia menekankan, bahwa sebaiknya, setelah kontrak freeport habis, pemerintah berani untuk menutup pertambangan freeport hingga Indonesia mempunyai konsep yang jelas dan sudah melalui tahapan mendengarkan suara rakyat Papua.
“Sudah waktunya negara mengoreksi pengurusan kekayaan alam yang semata melayani pasar. Kalau saya pribadi, tutup dulu saja, sampai negara punya konsep mau dibagaimanakan ini. Misalnya, dengan konsultasi dengan rakyat Papua mau apa persiapan dua tahun ini. Agar kita tidak de javu lagi gitu yah. Nanti tahun 2021 ada kaya gini lagi. Asli, kita tuh seperti dipermalukan dan freeport tuh ketawa-ketawa aja di Amerika sana,” tandas Maimunah.(WOL)
“Pernah tidak ada biaya kesehatan yang dikeluarkan warga di sekitar pertambangan ditanggung oleh negara atau perusahaan? tidak kan? Krisis sosial ekologis yang dialami bangsa ini makin memburuk. Sementara kita sibuk menggelar drama untuk membicarakan hitung-hitungan royalti, saham, dan divestasi,” ujar peneliti dari Sajogo Institute Siti Maimunah di Jakarta, Sabtu (12/12) malam.
Menurutnya, pembicaraan tentang laba ataupun perpanjangan kontrak selalu diulang-ulang, seolah-olah hal itu baru sekali terjadi. Padahal ada hal yang lebih penting daripada soal kontrak.
“Krisis ekologis itu selalu berulang dan meluas. Celakanya, seperti krisisnya sendiri (sosial ekologis) yang selalu berulang. Pembicaraan tentang laba dan untung melalui renegoisasi kontrak dan divestasi saham diulang saat kontrak-kontrak diperpanjang. Mirip siaran televisi yang memberitahukan kehebohan banjir Jakarta tiap musim hujan, seolah baru terjadi kali itu saja. Padahal, krisis tersebut menyejarah,” imbuhnya.
Maimunah mengingatkan pemerintah harus segera mengoreksi pengelolaan sumber daya alam yang saat ini lebih melayani pasar ketimbang rakyatnya sendiri.
Untuk itu ia menekankan, bahwa sebaiknya, setelah kontrak freeport habis, pemerintah berani untuk menutup pertambangan freeport hingga Indonesia mempunyai konsep yang jelas dan sudah melalui tahapan mendengarkan suara rakyat Papua.
“Sudah waktunya negara mengoreksi pengurusan kekayaan alam yang semata melayani pasar. Kalau saya pribadi, tutup dulu saja, sampai negara punya konsep mau dibagaimanakan ini. Misalnya, dengan konsultasi dengan rakyat Papua mau apa persiapan dua tahun ini. Agar kita tidak de javu lagi gitu yah. Nanti tahun 2021 ada kaya gini lagi. Asli, kita tuh seperti dipermalukan dan freeport tuh ketawa-ketawa aja di Amerika sana,” tandas Maimunah.(WOL)
loading...
Post a Comment