Banda Aceh - Peringatan Hari Nusantara, Minggu (13/12) di Lampulo Banda Aceh terkesan hanya sebatas kegiatan seremonial tak bermakna. Kemasan acaranya terlihat tanpa filosofi, dan terkesan hanya pameran batu cincin dan bagi-bagi hadiah belaka.
Hal tersebut diungkapkan Sekjen Mahasiswa dan Pemuda Selatan Raya (MeuseRaYa) Delky Nofrizal Qutni.
Menurutnya, acara seremonial dengan kemasan tanpa esensi seperti ini seakan menjadi hobi Pemerintah Aceh, daripada menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
“Hal ini dikarenakan orientasi pemerintah Aceh masih kepada bagaimana persentase serapan anggaran, bukan hasil serta manfaat suatu program kepada masyarakat kecil.” Ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ironisnya lagi ujarnya, dikala masyarakat di beberapa daerah di Aceh sedang dilanda musibah banjir di wilayah barat selatan, seperti beberapa titik di Abdya, Aceh Barat, Aceh Singkil dan Aceh Selatan dengan banyaknya rumah yang terendam banjir, jembatan putus dan sebagainya, pemerintah justru terkesan lambat dan lebih disibukkan dengan kegiatan seremonial tersebut.
“Padahal miliaran rupiah tersebut jika digunakan secara efektif semestinya dapat digunakan untuk upaya mengatasi persoalan banjir di 3 titik atau lebih, misalkan untuk normalisasi sungai atau hal lainnya. Ini bukti bahwa pemerintah aceh lebih mementingkan kegiatan seremonial daripada persoalan masyarakat,” ujarnya.
Padahal, acara seremonial dengan anggaran besar, tetapi program nyata ke masyarakat justru dengan anggaran terbatas.
Padahal, anggaran besar bisa digunakan untuk pemberdayaan janda korban konflik yang belum diperhatikan, rumah duafa yang bisa diselesaikan dengan anggaran sebesar itu, ataupu berapa banyak daerah terpencil yang bisa dibangun, dan berapa banyak pengangguran yang dapat dijadikan pengusaha.
“Tapi jika bicara hal seperti itu pemerintah Aceh sering tidak tertarik. Makanya kami nilai pemerintah Aceh perlu memperbaiki I’tiqad,” ujarnya.(WOL)
Hal tersebut diungkapkan Sekjen Mahasiswa dan Pemuda Selatan Raya (MeuseRaYa) Delky Nofrizal Qutni.
Menurutnya, acara seremonial dengan kemasan tanpa esensi seperti ini seakan menjadi hobi Pemerintah Aceh, daripada menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
“Hal ini dikarenakan orientasi pemerintah Aceh masih kepada bagaimana persentase serapan anggaran, bukan hasil serta manfaat suatu program kepada masyarakat kecil.” Ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ironisnya lagi ujarnya, dikala masyarakat di beberapa daerah di Aceh sedang dilanda musibah banjir di wilayah barat selatan, seperti beberapa titik di Abdya, Aceh Barat, Aceh Singkil dan Aceh Selatan dengan banyaknya rumah yang terendam banjir, jembatan putus dan sebagainya, pemerintah justru terkesan lambat dan lebih disibukkan dengan kegiatan seremonial tersebut.
“Padahal miliaran rupiah tersebut jika digunakan secara efektif semestinya dapat digunakan untuk upaya mengatasi persoalan banjir di 3 titik atau lebih, misalkan untuk normalisasi sungai atau hal lainnya. Ini bukti bahwa pemerintah aceh lebih mementingkan kegiatan seremonial daripada persoalan masyarakat,” ujarnya.
Padahal, acara seremonial dengan anggaran besar, tetapi program nyata ke masyarakat justru dengan anggaran terbatas.
Padahal, anggaran besar bisa digunakan untuk pemberdayaan janda korban konflik yang belum diperhatikan, rumah duafa yang bisa diselesaikan dengan anggaran sebesar itu, ataupu berapa banyak daerah terpencil yang bisa dibangun, dan berapa banyak pengangguran yang dapat dijadikan pengusaha.
“Tapi jika bicara hal seperti itu pemerintah Aceh sering tidak tertarik. Makanya kami nilai pemerintah Aceh perlu memperbaiki I’tiqad,” ujarnya.(WOL)
loading...
Post a Comment