![]() |
Ahmad Dani |
Lhokseumawe - Pasca penandatanganan MoU di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI), melahirkan Undang-undang untuk pemerintahan Aceh sesuai dengan apa yang telah disepakati kedua belah pihak.
"Undang-Undang baru (UUPA) yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 2006 tidak semuanya memuat poin-poin MoU Helsinki yang di dalamnya menguatkan kewenangan Aceh keseluruhan”, kata Ahmad Dani selaku pemerhati Politik di Aceh.
Menurutnya, pencabutan dua pasal UUPA yakni pasal 57 dan 60 ayat (1), (2), dan 4 UUPA terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh memang menjadi masalah. Tetapi selain itu, lebih penting lagi, merevisi UUPA dengan memasukkan semua butir MoU yang belum diakomodir.
Memang pencabutan dua pasal itu mengurangi kewenangan Aceh yaitu tentang Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang berjumlah 7 orang untuk provinsi dan dipilih oleh DPRA, 5 orang untuk Kabupaten-Kota dipilih oleh DPRK.
"Dalam praktiknya, karena penguasa parlemen adalah partai tertentu, maka pemilihan KIP Aceh dan Kabupaten-Kota banyak diwarnai oleh kepentingan partai yang mengontrol parlemen”, demikian lanjut Ahmad Dani.
Kondisi ini seperti api dalam sekam, ketika ada yang menggugat pencabutan dua pasal UUPA tentang KIP, masyarakat pun terbelah menjadi dua.
Sebagian, khususnya pendukung partai berkuasa, menolak pencabutan ini, sebab sebagian taring mereka untuk mewarnai pilkada dan pemilu, dicabut. Namun, sebagian masyarakat diam saja, bahkan cenderung apatis, sebab mereka menyimpan harapan bahwa dengan pencabutan ini, ada ruang yang lebih besar kepada rakyat Aceh secara umum untuk terlibat sebagai penyelenggara pemilihan secara professional, tanpa harus melobi kepada partai-partai yang menguasai parlemen.
"Dalam UU No. 7 tahun 2017, memang disebutkan bahwa KIP Aceh hierarki dengan KPU dan Panwaslih Aceh hierarki dengan Bawaslu," tuturnya lagi.
Ahmad Dani melanjutkan, “Kita sangat sedih ketika kewenangan Aceh yang ada di dalam UUPA dipreteli, sebagaimana kita juga sedih ketika kewenangan itu ada di tangan kita, tidak dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan Aceh secara umum, tapi dipergunakan untuk kepentingan partai atau kelompok”.
"Ini menjadi pelajaran serius kepada kita semua, untuk benar-benar menggunakan seluruh kewenangan yang masih ada untuk kepentingan rakyat banyak”, tutup Ahmad Dani.(SA/TM)
"Undang-Undang baru (UUPA) yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 2006 tidak semuanya memuat poin-poin MoU Helsinki yang di dalamnya menguatkan kewenangan Aceh keseluruhan”, kata Ahmad Dani selaku pemerhati Politik di Aceh.
Menurutnya, pencabutan dua pasal UUPA yakni pasal 57 dan 60 ayat (1), (2), dan 4 UUPA terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh memang menjadi masalah. Tetapi selain itu, lebih penting lagi, merevisi UUPA dengan memasukkan semua butir MoU yang belum diakomodir.
Memang pencabutan dua pasal itu mengurangi kewenangan Aceh yaitu tentang Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang berjumlah 7 orang untuk provinsi dan dipilih oleh DPRA, 5 orang untuk Kabupaten-Kota dipilih oleh DPRK.
"Dalam praktiknya, karena penguasa parlemen adalah partai tertentu, maka pemilihan KIP Aceh dan Kabupaten-Kota banyak diwarnai oleh kepentingan partai yang mengontrol parlemen”, demikian lanjut Ahmad Dani.
Kondisi ini seperti api dalam sekam, ketika ada yang menggugat pencabutan dua pasal UUPA tentang KIP, masyarakat pun terbelah menjadi dua.
Sebagian, khususnya pendukung partai berkuasa, menolak pencabutan ini, sebab sebagian taring mereka untuk mewarnai pilkada dan pemilu, dicabut. Namun, sebagian masyarakat diam saja, bahkan cenderung apatis, sebab mereka menyimpan harapan bahwa dengan pencabutan ini, ada ruang yang lebih besar kepada rakyat Aceh secara umum untuk terlibat sebagai penyelenggara pemilihan secara professional, tanpa harus melobi kepada partai-partai yang menguasai parlemen.
"Dalam UU No. 7 tahun 2017, memang disebutkan bahwa KIP Aceh hierarki dengan KPU dan Panwaslih Aceh hierarki dengan Bawaslu," tuturnya lagi.
Ahmad Dani melanjutkan, “Kita sangat sedih ketika kewenangan Aceh yang ada di dalam UUPA dipreteli, sebagaimana kita juga sedih ketika kewenangan itu ada di tangan kita, tidak dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan Aceh secara umum, tapi dipergunakan untuk kepentingan partai atau kelompok”.
"Ini menjadi pelajaran serius kepada kita semua, untuk benar-benar menggunakan seluruh kewenangan yang masih ada untuk kepentingan rakyat banyak”, tutup Ahmad Dani.(SA/TM)
loading...
Post a Comment