![]() |
Peringatan Tragedi Mei 1998 tahun lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Jakarta - Delapan belas tahun lalu, tanggal 18 Mei. Matahari belum tinggi saat ribuan mahasiswa tiba di kawasan Semanggi, Jakarta. Kampus Unika Atma Jaya jadi titik kumpul massa Komunitas Aksi Mahasiswa Jakarta. Mereka lantas melakukan aksi jalan kaki ke Gedung MPR/DPR.
Begitu tiba di depan gerbang Gedung Dewan, para mahasiswa membentuk barisan solid, berhadapan dengan barisan aparat di balik pagar. “Satu komando satu perlawanan,” demikian seru mereka.
Demonstran bertahan hingga tengah hari. Di bawah terik mentari, lautan massa itu tak dapat menghindari ketegangan. Sesekali terjadi aksi saling dorong. Mahasiswa berusaha memaksa masuk ke halaman kompleks DPR.
Tim negosiasi dari kelompok mahasiswa terus berupaya melobi aparat agar mereka bisa memasuki parlemen untuk mengegolkan tuntutan: turunkan Presiden Soeharto dari jabatannya, turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI.
Negosiasi berjalan alot. Tiga perwakilan mahasiswa akhirnya dipersilakan masuk untuk menyampaikan aspirasi. Namun mereka tak puas. Seluruh delegasi dari masing-masing kampus yang hadir kala itu juga meminta masuk.
Kondisi massa makin tak terjaga. Keadaan memungkinkan untuk kaos. Ketika melihat beberapa kawan mereka berhasil masuk ke halaman DPR, massa menerobos gerbang yang sedikit terbuka. Aparat tak mampu menahan mereka.
Mohammad Syafi Ali, salah satu pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota mengatakan, praktis tak ada bentrokan saat mahasiswa menjebol pertahanan polisi dan ABRI. Menurutnya, aparat terlihat gamang pascaperistiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti enam hari sebelumnya.
“Itu pertama kali mahasiswa menduduki DPR dalam jumlah besar, belasan ribu orang,” kata Savic, panggilan akrab Syafi Ali, saat ditemui CNNIndonesia.com di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (17/5).
Para mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung Dewan itu pun melanjutkan orasi mereka. Beberapa aktivis mahasiswa yang berperan sebagai dinamisator lapangan tetap meneriakkan yel-yel untuk membangkitkan semangat massa. Para pengunjuk rasa bertahan hingga menjelang petang.
Kian mencekam
Ratusan aparat berseragam loreng berdiri tegap membentuk barikade untuk menahan laju massa. Pasukan artileri medan juga bersiaga di atap gedung berbentuk kura-kura itu. Senjata laras panjang tak lagi digantungkan di punggung belakang mereka. Moncong senapan mengarah ke barisan massa mahasiswa.
Suasana berubah tegang saat sejumlah mahasiswa berinisiatif mengambil tindakan. Sebuah spanduk bertuliskan tuntutan “Bubarkan DPR/MPR” dikerek ke atas tiang bendera.
Salah satu simpul mahasiswa IKIP Jakarta, Abdullah Taruna, mengatakan tuntutan itu sah disuarakan meski di luar dugaan. “Itu bagian dari kritik kami terhadap lembaga perwakilan rakyat yang sama sekali tidak memperjuangkan rakyat,” kata dia.
Aparat pemegang komando di kawasan itu langsung memberikan aba-aba kepada pasukannya. “Krak… krak… krak…” bunyi kokang senjata terdengar dari barisan aparat yang berjaga. Peluru dari dalam magasin siap melesat ke arah para demonstran. Eksekusi tinggal menunggu perintah atasan.
Seketika suasana kian mencekam. Hampir seluruh demonstran mahasiswa mendengar suara senjata dikokang. Namun mereka tetap bertahan dalam barisan.
Abdullah yang berdiri di garis depan sempat ciut mendengar kokangan senjata tentara itu. Jantungnya berdetak kencang. Pikirannya melayang, terbayang Peristiwa Tiananmen di China, 1989, di mana ribuan mahasiswa dibantai tentara yang membubarkan aksi demonstrasi mereka.
Abdullah berdoa dalam hati, “Jika saya harus mati, semoga kematian ini tidak sia-sia. Maafkan saya, Ibu karena belum bisa membalas budimu.”
Dia mengenang kengerian saat itu. “Rasanya bentrok fisik dengan dikokang senapan lebih ngeri dikokang senapan.”
Negosiasi terus berjalan agar aparat tidak mengeluarkan tembakan. Kedua belah pihak akhirnya menyepakati aksi demonstrasi dihentikan sore itu. Sebagian besar massa aksi lalu membubarkan diri. Mereka tak ingin mengambil risiko jatuh korban. Namun ada sebagian kelompok mahasiswa yang memilih bertahan.
Bubar sore itu, bukan berarti aksi tak berlanjut. Keesokannya, mahasiswa yang bergabung ke Gedung DPR bertambah banyak. Mereka bertahan dan menginap hingga tuntutan terealisasi.
Pada 21 Mei, Soeharto mundur sebagai Presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun berkuasa. Sorak sorai dan keharuan menyelimuti para mahasiswa. BJ Habibie kemudian naik menggantikan Soeharto.
Sebagian mahasiswa meninggalkan Gedung DPR/MPR karena merasa tuntutan mereka telah tercapai. Namun Savic, Abdullah, dan kawan-kawan di kelompok mereka tetap bertahan di parlemen hingga perjuangan benar-benar terwujud.
Mereka menilai Soeharto hanya melimpahkan tanggung jawab tanpa ada proses pengadilan atas deretan kejahatannya. Pun hingga Sang Jenderal Besar menutup mata, ia tak pernah membayar kesalahannya selama memerintah Republik. (CNN Indonesia)
Begitu tiba di depan gerbang Gedung Dewan, para mahasiswa membentuk barisan solid, berhadapan dengan barisan aparat di balik pagar. “Satu komando satu perlawanan,” demikian seru mereka.
Demonstran bertahan hingga tengah hari. Di bawah terik mentari, lautan massa itu tak dapat menghindari ketegangan. Sesekali terjadi aksi saling dorong. Mahasiswa berusaha memaksa masuk ke halaman kompleks DPR.
Tim negosiasi dari kelompok mahasiswa terus berupaya melobi aparat agar mereka bisa memasuki parlemen untuk mengegolkan tuntutan: turunkan Presiden Soeharto dari jabatannya, turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI.
Negosiasi berjalan alot. Tiga perwakilan mahasiswa akhirnya dipersilakan masuk untuk menyampaikan aspirasi. Namun mereka tak puas. Seluruh delegasi dari masing-masing kampus yang hadir kala itu juga meminta masuk.
Kondisi massa makin tak terjaga. Keadaan memungkinkan untuk kaos. Ketika melihat beberapa kawan mereka berhasil masuk ke halaman DPR, massa menerobos gerbang yang sedikit terbuka. Aparat tak mampu menahan mereka.
Mohammad Syafi Ali, salah satu pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota mengatakan, praktis tak ada bentrokan saat mahasiswa menjebol pertahanan polisi dan ABRI. Menurutnya, aparat terlihat gamang pascaperistiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti enam hari sebelumnya.
“Itu pertama kali mahasiswa menduduki DPR dalam jumlah besar, belasan ribu orang,” kata Savic, panggilan akrab Syafi Ali, saat ditemui CNNIndonesia.com di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (17/5).
Para mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung Dewan itu pun melanjutkan orasi mereka. Beberapa aktivis mahasiswa yang berperan sebagai dinamisator lapangan tetap meneriakkan yel-yel untuk membangkitkan semangat massa. Para pengunjuk rasa bertahan hingga menjelang petang.
Kian mencekam
Ratusan aparat berseragam loreng berdiri tegap membentuk barikade untuk menahan laju massa. Pasukan artileri medan juga bersiaga di atap gedung berbentuk kura-kura itu. Senjata laras panjang tak lagi digantungkan di punggung belakang mereka. Moncong senapan mengarah ke barisan massa mahasiswa.
Suasana berubah tegang saat sejumlah mahasiswa berinisiatif mengambil tindakan. Sebuah spanduk bertuliskan tuntutan “Bubarkan DPR/MPR” dikerek ke atas tiang bendera.
Salah satu simpul mahasiswa IKIP Jakarta, Abdullah Taruna, mengatakan tuntutan itu sah disuarakan meski di luar dugaan. “Itu bagian dari kritik kami terhadap lembaga perwakilan rakyat yang sama sekali tidak memperjuangkan rakyat,” kata dia.
Aparat pemegang komando di kawasan itu langsung memberikan aba-aba kepada pasukannya. “Krak… krak… krak…” bunyi kokang senjata terdengar dari barisan aparat yang berjaga. Peluru dari dalam magasin siap melesat ke arah para demonstran. Eksekusi tinggal menunggu perintah atasan.
Seketika suasana kian mencekam. Hampir seluruh demonstran mahasiswa mendengar suara senjata dikokang. Namun mereka tetap bertahan dalam barisan.
Abdullah yang berdiri di garis depan sempat ciut mendengar kokangan senjata tentara itu. Jantungnya berdetak kencang. Pikirannya melayang, terbayang Peristiwa Tiananmen di China, 1989, di mana ribuan mahasiswa dibantai tentara yang membubarkan aksi demonstrasi mereka.
Abdullah berdoa dalam hati, “Jika saya harus mati, semoga kematian ini tidak sia-sia. Maafkan saya, Ibu karena belum bisa membalas budimu.”
Dia mengenang kengerian saat itu. “Rasanya bentrok fisik dengan dikokang senapan lebih ngeri dikokang senapan.”
Negosiasi terus berjalan agar aparat tidak mengeluarkan tembakan. Kedua belah pihak akhirnya menyepakati aksi demonstrasi dihentikan sore itu. Sebagian besar massa aksi lalu membubarkan diri. Mereka tak ingin mengambil risiko jatuh korban. Namun ada sebagian kelompok mahasiswa yang memilih bertahan.
Bubar sore itu, bukan berarti aksi tak berlanjut. Keesokannya, mahasiswa yang bergabung ke Gedung DPR bertambah banyak. Mereka bertahan dan menginap hingga tuntutan terealisasi.
Pada 21 Mei, Soeharto mundur sebagai Presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun berkuasa. Sorak sorai dan keharuan menyelimuti para mahasiswa. BJ Habibie kemudian naik menggantikan Soeharto.
Sebagian mahasiswa meninggalkan Gedung DPR/MPR karena merasa tuntutan mereka telah tercapai. Namun Savic, Abdullah, dan kawan-kawan di kelompok mereka tetap bertahan di parlemen hingga perjuangan benar-benar terwujud.
Mereka menilai Soeharto hanya melimpahkan tanggung jawab tanpa ada proses pengadilan atas deretan kejahatannya. Pun hingga Sang Jenderal Besar menutup mata, ia tak pernah membayar kesalahannya selama memerintah Republik. (CNN Indonesia)
loading...
Post a Comment