![]() |
Kondisi rumah kaum dhuafa di Aceh |
Banda Aceh - Kepala Humas Pemerintah Aceh, Frans Delian, mengatakan penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu prioritas utama Pemerintah Aceh, seperti yang tertuang dalam rencana pembangungan jangka menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017. “Pemerintah Aceh menyadari pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan belum berjalan optimal,” ujar dia, Selasa, 12 Januari 2016.
Frans mengatakan hal itu menanggapi pemaparan Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS). Dalam kajiannya, IDeAS memetakan tingkat kemiskinan di Aceh periode September 2015 tertinggi kedua di Sumatera setelah Bengkulu (17,16 persen). Sedangkan di Indonesia, Aceh menempati urutan ketujuh sebagai provinsi termiskin.
Persoalan pengangguran juga masih menjadi momok di Aceh. Provinsi itu menempati urutan tertinggi angka pengangguran di Indonesia, yakni sebesar 9,93 persen dari jumlah penduduknya, yang berjumlah lebih dari 5 juta jiwa.
Hasil kajian IDeAS sesuai dengan rilis awal tahun Badan Pusat Statistik Indonesia tentang Sosial Ekonomi Indonesia. Padahal Pemerintah Aceh menerima dana Otonomi Khusus (Otsus) yang melimpah.
Sejak 2008 hingga 2015, Aceh telah menerima dana Otsus senilai Rp 41,49 triliun. Dana Otsus menjadi sumber penerimaan utama bagi pembangunan Aceh, dengan rata-rata peningkatan penerimaan 11 persen per tahun. Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2015 yang berjumlah Rp 12,7 triliun, lebih dari separuhnya berasal dari dana Otsus.
Dana Otsus akan diiterima Aceh sampai 2027. Selama 20 tahun jangka waktu berlakunya dana Otsus, Aceh diperkirakan akan menerima senilau Rp 163 triliun (baca tempo.co edisi Senin, 11 Janari 2016).
Menurut Frans, beberapa langkah yang akan dilakukan adalah mereview kembali program penanggulangan kemuiskinan dalam RPJMA 2012-2017. Selain itu menyempurnakan sistem dan database untuk penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Aceh juga membangun kemitraan dengan banyak pihak untuk bersama-sama melakukan penanggulangan kemiskinan.
Frans memaparkan kondisi pada 2011, penduduk Aceh yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 19,48 persen. Secara bertahap mulai 2012 menunjukkan penurunan. Saat ini 17,11 persen, sesuai data BPS 2016.
Frans menilai kondisi Aceh sangat berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Aceh merupakan daerah yang dulunya pernah mengalami konflik berkepanjangan, Juga pernah mengalami bencana besar berupa gempa bumi dan tsunami. “Kerentanan terhadap menurunnya kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat tinggi,” ujarnya.
Kondisi geografis Aceh sangat rawan dilanda bencana alam, seperti gempa bumi, banjir bandang,dan tanah longsor. Berbagai bencana alam itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan hancur dan hilangnya faktor-faktor produksi masyarakat, yang umumnya hidup di daerah pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan nelayan.(Tempo)
Frans mengatakan hal itu menanggapi pemaparan Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS). Dalam kajiannya, IDeAS memetakan tingkat kemiskinan di Aceh periode September 2015 tertinggi kedua di Sumatera setelah Bengkulu (17,16 persen). Sedangkan di Indonesia, Aceh menempati urutan ketujuh sebagai provinsi termiskin.
Persoalan pengangguran juga masih menjadi momok di Aceh. Provinsi itu menempati urutan tertinggi angka pengangguran di Indonesia, yakni sebesar 9,93 persen dari jumlah penduduknya, yang berjumlah lebih dari 5 juta jiwa.
Hasil kajian IDeAS sesuai dengan rilis awal tahun Badan Pusat Statistik Indonesia tentang Sosial Ekonomi Indonesia. Padahal Pemerintah Aceh menerima dana Otonomi Khusus (Otsus) yang melimpah.
Sejak 2008 hingga 2015, Aceh telah menerima dana Otsus senilai Rp 41,49 triliun. Dana Otsus menjadi sumber penerimaan utama bagi pembangunan Aceh, dengan rata-rata peningkatan penerimaan 11 persen per tahun. Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2015 yang berjumlah Rp 12,7 triliun, lebih dari separuhnya berasal dari dana Otsus.
Dana Otsus akan diiterima Aceh sampai 2027. Selama 20 tahun jangka waktu berlakunya dana Otsus, Aceh diperkirakan akan menerima senilau Rp 163 triliun (baca tempo.co edisi Senin, 11 Janari 2016).
Menurut Frans, beberapa langkah yang akan dilakukan adalah mereview kembali program penanggulangan kemuiskinan dalam RPJMA 2012-2017. Selain itu menyempurnakan sistem dan database untuk penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Aceh juga membangun kemitraan dengan banyak pihak untuk bersama-sama melakukan penanggulangan kemiskinan.
Frans memaparkan kondisi pada 2011, penduduk Aceh yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 19,48 persen. Secara bertahap mulai 2012 menunjukkan penurunan. Saat ini 17,11 persen, sesuai data BPS 2016.
Frans menilai kondisi Aceh sangat berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Aceh merupakan daerah yang dulunya pernah mengalami konflik berkepanjangan, Juga pernah mengalami bencana besar berupa gempa bumi dan tsunami. “Kerentanan terhadap menurunnya kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat tinggi,” ujarnya.
Kondisi geografis Aceh sangat rawan dilanda bencana alam, seperti gempa bumi, banjir bandang,dan tanah longsor. Berbagai bencana alam itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan hancur dan hilangnya faktor-faktor produksi masyarakat, yang umumnya hidup di daerah pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan nelayan.(Tempo)
loading...
Itulah klo penguasa lapar,,,,,
ReplyDelete