![]() |
Beberapa faksi dalam kelompok MNLF yang didirikan Nur Misuari kini bekerja sama dengan pemerintah untuk memberantas kelompok teror Abu Sayyaf. (Getty Images/David Greedy) |
StatusAceh.Net - Di selatan Filipina, konflik masih terus mengintai. Sejak merebak lebih dari enam dekade silam, damai masih menjadi angan-angan bagi sekitar 29 juta orang yang hidup di Kepulauan Mindanao. Kesenjangan, lagi-lagi jadi awal sebab-musababnya.
Medio 1950-an, sekitar satu dekade setelah Filipina merdeka, umat Muslim Mindanao masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Dahulu, di tanah itu, nenek moyang mereka hidup damai sebelum penjajah Spanyol dan Amerika Serikat yang membawa kebudayaan Kristen menjejakkan kaki.
Kemerdekaan yang dicapai Filipina dari Amerika pun, tak serta merta mengubah nasib mereka. Dalam bukunya “Muslim Rebels and Rulers”, seorang pensiunan tentara Amerika Serikat, Thomas McKenna, mengatakan bahwa semakin kuatnya cengkeraman penduduk Kristen atas sendi-sendi perekonomian membuat Muslim Filipina kian tersisih.
Melihat gelagat tak baik dari hal ini, pemerintah akhirnya menginisiasi program integrasi. Pada 1957, didirikanlah Komisi Integrasi Nasional (CNI).
Pemerintah Filipina lantas membuat program beasiswa edukasi bagi umat Muslim Filipina yang terbagi menjadi dua jenis. Proyek pertama adalah pengiriman Muslim Filipina dari selatan ke pusat kota demi mendapatkan pelajaran agar dapat berintegrasi dengan kehidupan nasional.
Selain itu, CNI juga menyediakan program beasiswa pendidikan Islam untuk memperkuat iman para Muslim Filipina. CNI bahkan dapat menerbangkan mereka ke Timur Tengah agar dapat memperdalam kajian agamanya.
Tak disangka, program integrasi ini justru malah menumbuhkan benih separatis.
Menurut McKenna, ketika tiba di pusat Kota Manila, mereka yang berniat menjalani program integrasi justru menjadi saksi begitu besarnya sentimen anti-Muslim. Tekanan kian keras setelah Ferdinand Marcos terpilih menjadi presiden pada 1965.
Diskusi politik di luar ruang kampus pun semakin gencar dilaksanakan. Hingga akhirnya amarah Muslim Filipina memuncak pada 1968.
Kala itu, Benigno Aquino yang baru saja terpilih sebagai senator bersaksi di hadapan Senat bahwa ada petugas tentara Kristen menembak mati beberapa personel Muslim di Pulau Corregidor, Manila Bay.
Tak hanya terkejut dengan berita kematian tersebut, Filipina juga gempar karena hanya segelintir orang yang mengetahui adanya tentara Muslim di daerah tersebut.
Akhirnya, terkuaklah fakta bahwa pemerintah memiliki program pelatihan militer bernama Operasi Merdeka. Pada Desember 1967, sekitar 180 peserta pelatihan ditransfer ke Pulau Corregidor.
Pulau bersejarah tempat pertempuran sengit antara Jenderal Douglas McArthur dan Jepang pada Perang Dunia II ini pun menjadi situs proyek rahasia baru dengan kode Jabidah.
Medio 1950-an, sekitar satu dekade setelah Filipina merdeka, umat Muslim Mindanao masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Dahulu, di tanah itu, nenek moyang mereka hidup damai sebelum penjajah Spanyol dan Amerika Serikat yang membawa kebudayaan Kristen menjejakkan kaki.
Kemerdekaan yang dicapai Filipina dari Amerika pun, tak serta merta mengubah nasib mereka. Dalam bukunya “Muslim Rebels and Rulers”, seorang pensiunan tentara Amerika Serikat, Thomas McKenna, mengatakan bahwa semakin kuatnya cengkeraman penduduk Kristen atas sendi-sendi perekonomian membuat Muslim Filipina kian tersisih.
Melihat gelagat tak baik dari hal ini, pemerintah akhirnya menginisiasi program integrasi. Pada 1957, didirikanlah Komisi Integrasi Nasional (CNI).
Pemerintah Filipina lantas membuat program beasiswa edukasi bagi umat Muslim Filipina yang terbagi menjadi dua jenis. Proyek pertama adalah pengiriman Muslim Filipina dari selatan ke pusat kota demi mendapatkan pelajaran agar dapat berintegrasi dengan kehidupan nasional.
Selain itu, CNI juga menyediakan program beasiswa pendidikan Islam untuk memperkuat iman para Muslim Filipina. CNI bahkan dapat menerbangkan mereka ke Timur Tengah agar dapat memperdalam kajian agamanya.
Tak disangka, program integrasi ini justru malah menumbuhkan benih separatis.
Menurut McKenna, ketika tiba di pusat Kota Manila, mereka yang berniat menjalani program integrasi justru menjadi saksi begitu besarnya sentimen anti-Muslim. Tekanan kian keras setelah Ferdinand Marcos terpilih menjadi presiden pada 1965.
Diskusi politik di luar ruang kampus pun semakin gencar dilaksanakan. Hingga akhirnya amarah Muslim Filipina memuncak pada 1968.
Kala itu, Benigno Aquino yang baru saja terpilih sebagai senator bersaksi di hadapan Senat bahwa ada petugas tentara Kristen menembak mati beberapa personel Muslim di Pulau Corregidor, Manila Bay.
Tak hanya terkejut dengan berita kematian tersebut, Filipina juga gempar karena hanya segelintir orang yang mengetahui adanya tentara Muslim di daerah tersebut.
Akhirnya, terkuaklah fakta bahwa pemerintah memiliki program pelatihan militer bernama Operasi Merdeka. Pada Desember 1967, sekitar 180 peserta pelatihan ditransfer ke Pulau Corregidor.
Pulau bersejarah tempat pertempuran sengit antara Jenderal Douglas McArthur dan Jepang pada Perang Dunia II ini pun menjadi situs proyek rahasia baru dengan kode Jabidah.
![]() |
MNLF didirikan oleh Nur Misuari dan menjadi cikal bakal kelompok separatis di Filipina. (Dok. Wikimedia) |
McKenna mengatakan bahwa para peserta pelatihan tersebut melontarkan protes atas perlakuan terhadap mereka selama di Pulau Corregidor. Mereka meminta izin untuk kembali ke kampung halaman.
Namun sayangnya, setidaknya 14 di antara mereka dieksekusi mati tanpa proses peradilan yang jelas.
Alasan pemerintah membentuk Operasi Merdeka hingga kini tak juga terkuak.
“Interpretasi paling sering dilontarkan adalah bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari pemerintahan Marcos untuk menginvasi daerah Sabah, Malaysia, yang terletak di Pulau Kalimantan,” tulis McKenna dalam bukunya.
Pembantaian Jabidah ini semakin menyulut emosi para pelajar Muslim di Manila. Sepanjang 1968, ruas-ruas jalan Manila dipenuhi demonstran Muslim yang menyerukan protes terhadap Pembantaian Jabidah.
Berbagai aksi protes menjadi akar gerakan separatis selanjutnya.
Adalah Nur Misuari, seorang keturunan Tausug dari Sulu. Terlahir dari keluarga sangat miskin, Misuari mengikuti program beasiswa CNI untuk belajar di University of the Philippines.
Setelah lulus, ia mengajar dan menjadi salah satu penggagas Liga Muslim Nasionalis (MNL). Misuari pun menjadi editor harian resmi MNL, Philippine Muslim News.
Dalam salah satu editorialnya, Misuari menulis, "Separatisme adalah proses yang mahal dan menyakitkan dan beberapa orang biasa siap untuk membayar harganya. Namun, dunia ini sudah menjadi saksi waktu dan lagi-lagi membagi negara menjadi lebih kecil. Pembagian politik tidak sepenuhnya ada dalam kontrol tangan manusia, juga bukan produk dari kesemena-menaan mereka. Ini adalah hasil dari kondisi aktual di mana manusia menemukan dirinya sendiri. Ini adalah hasil dari sistem."
Para intelektual separatis kemudian tak mau disebut Muslim Philippinos atau warga Muslim Filipina. Mereka memproklamirkan diri sebagai Moro, sebutan kuno Spanyol bagi umat Muslim.
"Moro not Filipino." Slogan tersebut menggaung di berbagai pelosok Filipina. Kaum Moro bertekad untuk merdeka dari Filipina di bawah bendera Bangsamoro.
Tulisan editorial Misuari juga ternyata menorehkan kesan dalam sanubari para pemuda Muslim Filipina. "Ia (Misuari) menginspirasi mereka dengan pemahaman pemberontakan bersenjata," kata penulis yang pernah meraih Padma Bhushan Award, T.J.S. George, dalam bukunya, "Revolt in Mindanao".
Operasi Merdeka juga membuka pikiran Misuari untuk memerdekakan diri. Jalan pun sudah dibuka dengan menjamurnya akar gerakan separatis seperti Mindanao Independence Movement (MIM) pimpinan mantan Wali Kota Cotabato, Datu Udtug. MIM ditengarai menggagas kamp pelatihan militan yang nantinya diikuti oleh Misuari.
"Keinginannya tercermin di dalamnya dan tempat telah dibuka oleh formasi MIM yang memudahkan Misuari untuk membentuk skema praktik jelas, yaitu pembentukan pasukan gerilyawan dengan pelatih profesional," tulis George.
Misuari lalu menjadi salah satu tokoh sentral dalam gerakan separatis di selatan Filipina dengan mendirikan Moro National Liberation Front (MNLF). Dalam perjalanannya, MNLF menjadi cikal bakal terbentuknya banyak kelompok lain, seperti MILF, BIFF, dan Abu Sayyaf. Kini kelompok militan di Filipina bahkan menjadi pendukung grup teror paling berbahaya di dunia, ISIS. Abu Sayyaf, yang merupakan kelompok sempalan MNLF, menyatakan berbaiat kepada ISIS sejak 2014. Sementara itu, Ansar Khalifah Philippine (AKP) telah mendeklarasikan akan membangun khilafah ISIS di Asia Tenggara.
Namun sayangnya, setidaknya 14 di antara mereka dieksekusi mati tanpa proses peradilan yang jelas.
Alasan pemerintah membentuk Operasi Merdeka hingga kini tak juga terkuak.
“Interpretasi paling sering dilontarkan adalah bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari pemerintahan Marcos untuk menginvasi daerah Sabah, Malaysia, yang terletak di Pulau Kalimantan,” tulis McKenna dalam bukunya.
Pembantaian Jabidah ini semakin menyulut emosi para pelajar Muslim di Manila. Sepanjang 1968, ruas-ruas jalan Manila dipenuhi demonstran Muslim yang menyerukan protes terhadap Pembantaian Jabidah.
Berbagai aksi protes menjadi akar gerakan separatis selanjutnya.
Adalah Nur Misuari, seorang keturunan Tausug dari Sulu. Terlahir dari keluarga sangat miskin, Misuari mengikuti program beasiswa CNI untuk belajar di University of the Philippines.
Setelah lulus, ia mengajar dan menjadi salah satu penggagas Liga Muslim Nasionalis (MNL). Misuari pun menjadi editor harian resmi MNL, Philippine Muslim News.
Dalam salah satu editorialnya, Misuari menulis, "Separatisme adalah proses yang mahal dan menyakitkan dan beberapa orang biasa siap untuk membayar harganya. Namun, dunia ini sudah menjadi saksi waktu dan lagi-lagi membagi negara menjadi lebih kecil. Pembagian politik tidak sepenuhnya ada dalam kontrol tangan manusia, juga bukan produk dari kesemena-menaan mereka. Ini adalah hasil dari kondisi aktual di mana manusia menemukan dirinya sendiri. Ini adalah hasil dari sistem."
Para intelektual separatis kemudian tak mau disebut Muslim Philippinos atau warga Muslim Filipina. Mereka memproklamirkan diri sebagai Moro, sebutan kuno Spanyol bagi umat Muslim.
"Moro not Filipino." Slogan tersebut menggaung di berbagai pelosok Filipina. Kaum Moro bertekad untuk merdeka dari Filipina di bawah bendera Bangsamoro.
Tulisan editorial Misuari juga ternyata menorehkan kesan dalam sanubari para pemuda Muslim Filipina. "Ia (Misuari) menginspirasi mereka dengan pemahaman pemberontakan bersenjata," kata penulis yang pernah meraih Padma Bhushan Award, T.J.S. George, dalam bukunya, "Revolt in Mindanao".
Operasi Merdeka juga membuka pikiran Misuari untuk memerdekakan diri. Jalan pun sudah dibuka dengan menjamurnya akar gerakan separatis seperti Mindanao Independence Movement (MIM) pimpinan mantan Wali Kota Cotabato, Datu Udtug. MIM ditengarai menggagas kamp pelatihan militan yang nantinya diikuti oleh Misuari.
"Keinginannya tercermin di dalamnya dan tempat telah dibuka oleh formasi MIM yang memudahkan Misuari untuk membentuk skema praktik jelas, yaitu pembentukan pasukan gerilyawan dengan pelatih profesional," tulis George.
Misuari lalu menjadi salah satu tokoh sentral dalam gerakan separatis di selatan Filipina dengan mendirikan Moro National Liberation Front (MNLF). Dalam perjalanannya, MNLF menjadi cikal bakal terbentuknya banyak kelompok lain, seperti MILF, BIFF, dan Abu Sayyaf. Kini kelompok militan di Filipina bahkan menjadi pendukung grup teror paling berbahaya di dunia, ISIS. Abu Sayyaf, yang merupakan kelompok sempalan MNLF, menyatakan berbaiat kepada ISIS sejak 2014. Sementara itu, Ansar Khalifah Philippine (AKP) telah mendeklarasikan akan membangun khilafah ISIS di Asia Tenggara.
Sumber: CNN INDONESIA
loading...
Post a Comment